Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Kebayoran Baru dulu dan sekarang: Kisah perumahan Peruri, rumah Jengki, hingga CSW

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan

Kebayoran Baru, salah-satu kawasan permukiman dan pusat bisnis di selatan Jakarta, adalah kota satelit pertama di Indonesia.

Dibangun pada akhir 1940-an, Kebayoran Baru disiapkan sebagai kota berfasilitas lengkap, mulai perumahan, pendidikan, tempat hiburan, taman, hingga kompleks pekuburan.

Baca Juga:

Saat ini, berbagai fasilitas umum itu masih bisa dijumpai jejak-jejaknya, meskipun wajah lamanya banyak yang berubah, seiring perubahan pesat di ibu kota.

Itulah sebabnya, sebagian bangunan dan lanskap yang dulu menjadi ciri Kebayoran Baru, sekarang telah berganti wajah dan fungsi.

Namun demikian, masih ada struktur bangunan lama yang tersisa, dan kini ada upaya dari sejumlah orang dan para pihak yang peduli guna melestarikannya.

Baca Juga:

Seperti apa wajah Kebayoran Baru pada awal pembangunannya, dan bagaimana keadaannya sekarang?

Mengapa upaya pelestarian bangunan lama dan bersejarah di kawasan itu dianggap penting?

Pada April lalu, saya mewawancarai tiga orang yang memiliki kepedulian atas kawasan itu. Sesuai latar belakang profesinya, mereka memiliki "cara sendiri" untuk terlibat di dalamnya.

Saya juga mendatangi bekas kompleks perumahan Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), tidak jauh dari Blok M, yang telah 'disulap' menjadi pusat jajanan M Bloc Space.

Baca juga:

Mengapa 'kota satelit' Kebayoran Baru dibangun?

Di awal pembangunannya, pada akhir 1940-an, kawasan Kebayoran Baru terletak 'di luar' Jakarta.

Lokasinya berjarak sekitar 4,5km dari batas selatan ibu kota Jakarta - kini di sekitar Dukuh Atas, di dekat Stasiun KRL Sudirman.

Awalnya, proyek kota satelit Kebayoran Baru disiapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1948, lalu dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia.

Dibangun di atas lahan sekitar 730 hektar, Kebayoran Baru dirancang sebagai kota berfasilitas lengkap.

"Saat itu kota Jakarta kekurangan lahan untuk perumahan rakyat. Mereka merencanakannya sebagai kota yang lengkap," kata Nadia Purwestri, pimpinan Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), Selasa (26/04).

PDA pernah melakukan penelitian dan mendokumentasikan bangunan-bangunan lama di Kebayoran Baru.

Dari peta perencanaan Kebayoran Baru, pemerintah - menggandeng swasta - menyiapkan berbagai model perumahan, mulai lahan untuk instansi pemerintah (kelas rumah kecil, sedang, besar), perusahaan swasta, hingga perkantoran pemerintah.

Baca juga:

"Ada pula lahan yang disiapkan untuk pasar, tempat hiburan, keagamaan, taman, hingga kompleks pekuburan," ungkap Nadia.

Disebutkan, proyek pembangunan ini dibidani oleh perusahaan swasta bernama Yayasan Pemugaran Pusat atau Centrale Stichting Wederopbouw (CSW).

Dalam konsepnya, kota Satelit pertama di Indonesia itu dibuat dengan sistem blok, dari Blok A hingga Blok S, kata Ade Purnama, pendiri komunitas Sahabat Museum.

"Blok M dan A mungkin sudah banyak dikenal, tapi banyak juga yang tidak begitu populer, seperti Blok B, Blok C. Nah, Blok E itu Pasar Mayestik sekarang," paparnya.

Baca juga:

Seperti apa wajah Kebayoran Baru sekarang?

Seiring perubahan pesat di ibu kota Jakarta, wajah kota satelit Kebayoran Baru, kini, sudah banyak berubah.

Walaupun tidak memiliki data secara persis, Nadia Purwestri, pimpinan Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), menduga bangunan 'asli' di kawasan itu tinggal "antara 5% dan 30% yang tersisa".

"Karena begitu masifnya pembangunan di kawasan itu, dan Kebayoran Baru sudah masuk di tengah kota Jakarta, sebagai kawasan yang menjadi perlintasan," papar Nadia.

Sebagai kawasan perlintasan, Nadia memberikan contoh, kawasan Kebayoran Baru 'dilintasi' jalan layang, jalur MRT serta jalur layang busway.

"Kalau menurut saya, itu yang merusak Kebayoran Baru," ujarnya.

Baca juga:

Ade Darmawan, pendiri komunitas Sahabat Museum, mencontohkan Pasar Blok A yang "sudah dihancurkan" untuk kepentingan pembangunan stasiun MRT di kawasan itu.

Masyarakat juga tidak akan pernah tahu seperti apa wujud fisik bangunan kantor pusat CSW (Centrale Stichting Wederopbouw) alias Yayasan Pemugaran Pusat - perusahaan swasta yang membidani proyek pembangunan kota satelit Kebayoran Baru.

"Lokasi kantor CSW itu sekarang berada di Sekretariat ASEAN sampai ke Kantor Wali Kota Jaksel," ungkap Ade Purnama, pendiri komunitas Sahabat Museum, Kamis (14/04).

Rumah 'Jengki', bangunan lama yang tersisa di Kebayoran Baru

Tentu saja, ada bangunan lama peninggalan kota satelit Kebayoran Baru yang saat ini masih dapat dinikmati.

"Masih bisa ditemukan, walaupun lokasinya berjauhan, tersebar," kata Nadia Purwestri.

"Antara lain, rumah Jengki yang sangat ikonik itu."

Baca juga:

Rumah Jengki, yang menjadi tren pada 1950-an, masih dapat dijumpai, antara lain, di Jalan Martimbang, Jakarta.

Dalam film "Tiga Dara" (diproduksi 1956) dan foto-foto lama, masyarakat dapat melihat wujud asli bangunan berarsitektur Jengki.

"Walaupun sudah beberapa diubah, tetapi kita bisa melihat gaya arsitekturnya," ujarnya.

Ade Purnama, yang menggelar acara Plesiran Tempo Doeloe, Kebajoran bikinan CSW secara virtual pada Maret lalu, menyebut rumah Jengki sebagai ciri khas Kebayoran Baru.

"Jadi, Kebayoran Baru masih meninggalkan sejumlah artefak sejarah, di antaranya rumah-rumah Jengki itu," ujarnya.

Selain di Jalan Martimbang, rumah berarsitektur Jengki masih dapat dilihat di Jalan Pakubuwono VI, serta Jalan Wijaya 13, Jaksel.

Rumah 'asli' di Jalan Melawai dan Jalan Hasanuddin

Jejak masa lalu Kebayoran Baru, menurut Ade, juga dapat dilihat dari sebuah bangunan yang salah-satu sisinya kini menjadi rumah makan cepat saji Kentucky Fried Chicken di Jalan Melawai.

Di Jalan Hasanuddin, tidak jauh dari Terminal Blok M, Jaksel, masih berdiri bangunan lama, walaupun di kanan-kirinya sudah berubah wujud.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Lokasinya tidak jauh dari rumah makan McDonalds," ungkap Ade.

Di sinilah, menurutnya, masyarakat masih bisa menikmati "situs-situs bersejarah" di Kebayoran Baru "yang bisa dieksplor dan digali sejarahnya".

Peninggalan kota satelit' Kebayoran Baru lainnya adalah Masjid Al-Azhar, Gereja Katolik Santa Perawan Maria Ratu, Gereja Baptis, serta Gereja Santo Yohanes Penginjil.

"Yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kebayoran Baru belum banyak, tetapi [sebagian bangunan] sudah masuk ke dalam daftar obyek diduga cagar budaya," kata Nadia Purwestri.

Di antaranya yang sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya adalah masjid Al-Azhar dan Gereja Santo Yohanes Penginjil.

'Menyulap' perumahan Perum Peruri di Blok M

Sudah ada upaya untuk menyelamatkan bangunan lama dan bersejarah di Kebayoran Baru, salah-satunya di bekas perumahan Peruri di Blok M.

Tiga tahun lalu, Perum Peruri (BUMN) menggandeng sejumlah pihak untuk 'menghidupkan kembali' bekas perumahan itu yang lebih dari 24 tahun dibiarkan kosong.

Diubah menjadi ruang publik, bekas perumahan itu kini menjadi salah-satu lokasi yang diminati anak muda untuk berkumpul di waktu senggang.

M Bloc Space, begitu nama tempatnya, mampu mengubah fungsi bangunan rumah menjadi restoran, kafe atau aktivitas bisnis lainnya, dengan tetap mempertahankan bentuk asli bangunan.

"[Perubahan fungsi pada] M Bloc itu cukup ideal, karena tidak mengubah wajah perumahan Peruri secara masif," kata Nadia Purwestri, arsitek yang juga pimpinan Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA) dalam wawancara dengan BBC News Indonesia.

Ade Purnama, pendiri komunitas Sahabat Museum, juga mengapresiasi langkah Peruri dalam merevitalisasi bekas perumahan karyawannya itu.

"Aksi yang positif dan berhasil [di M Bloc Space]. Saya berharap pada bangunan lain [di Kebayoan Baru atau tempat lainnya] itu bisa dikonservasi dan direstorasi, tanpa menghilangkan nilai historisnya," kata Ade.

Dia menyebut perubahan fungsi bekas perumahan Peruri itu sebagai upaya menyelamatkan bangunan bersejarah, tetapi tanpa meninggalkan "tuntutan zaman".


'Saya dulu tinggal di sini... tidur di sini' - Kisah di balik perubahan perumahan Peruri menjadi restoran 'Kedai Tjikini'

Suatu hari, Dharmawan Handonowarih, pimpinan Kedai Tjikini di M Bloc Space, kedatangan tamu istimewa.

Sang tamu merasa takjub saat melihat ke dalam restoran milik Dharmawan.

Rupanya mereka adalah keluarga yang dulu pernah menempati rumah itu. Sang tamu adalah keluarga pegawai Peruri.

"Saya dulu tinggal di sini. Saya tidur di sini dulu..." ujar bekas penghuni, seperti ditirukan Dharmawan. "Mereka senang, karena [rumahnya] tidak diancurin."

Dharmawan mengenang hal itu sambil mengajak saya ke lantai dua restorannya. Kami naik tangga yang tegel dan pagar besinya masih 'asli'.

"Akhirnya kita melakukan beberapa penyesuaian. Yang semula sebuah rumah, kita ubah dengan fungsi baru sebagai restoran. Semua ada penyesuaian," jelasnya kepada BBC News Indonesia.

Ada beberapa penyesuaian lainnya yang dilakukan Dharmawan. Misalnya, membongkar keramik dan mengganti dengan tegel yang mirip dengan rumah tahun 1950-an.

Lainnya, Dharmawan mengecat ulang dinding, pintu, dan jendela, yang sedapat mungkin diupayakan menyerupai rumah aslinya.

Namun di sisi lain, pria bekas wartawan ini mempertahankan beberapa sudut dari interior rumah itu.

"Misalnya lubang angin berukuran besar ini, saya yakin seperti ini bangunan aslinya," ujarnya.

Hal itu dia tekankan, karena pihak pengelola M Bloc Space telah memberikan rambu-rambu perubahan seperti apa yang diperbolehkan.

"Misalnya saja tampak depan, tangga dan pagarnya, tidak boleh diubah," katanya.

Dharmawan adalah tipikal sosok yang memiliki kepedulian atas pelestarian bangunan lama - selain ketertarikannya pada dunia makanan tradisional Indonesia.

Sebelum ditawari pengelola M Bloc Space untuk membuka restoran di sana, Dharmawan memiliki pengalaman saat menyulap bangunan lama di Jalan Cikini Raya menjadi sebuah restoran.

"Seperti semangat di Cikini, kami mencoba untuk menghidupkan kembali sebuah rumah [milik Peruri di Blok M) tahun '50-an," ungkapnya.

Kini, tiga tahun kemudian, Dharmawan mengaku "cukup puas" setelah secara totalitas menyulap rumah Peruri menjadi sebuah restoran, tanpa mengubah secara masif bangunannya.

Di sinilah, dia kemudian mengenalkan istilah "keseimbangan", ketika saya bertanya tentang tuntutan pelestarian bangunan lama bersejarah dan keniscayaan sebuah perubahan.

"[Bangunan lama tertentu] Harus dijaga, tanpa harus dia menjadi museum yang mati, jadi barang antik, yang hanya dipandang sebagai romantisme. Dia harus bisa hidup juga..." tandasnya.

Ketika jarum jam mendekati pukul tujuh malam, konsumen Kedai Tjikini terlihat makin banyak.

Saya kemudian membayangkan saat rumah-rumah di kompleks perumahan pegawai Peruri itu dibiarkan kosong puluhan tahun.


'Tak kenal, maka tak sayang... kenali dan cintai kotamu'

Tidak sedikit yang menyesalkan pembongkaran dan perusakan bangunan lama dan kemungkinan bersejarah di Kebayoran Baru.

Bagi Nadia Purwestri, salah-satu cara yang bisa dilakukan agar masyarakat peduli adalah dengan mengenalkan sejarah sebuah kota.

"Ada pepatah 'tak kenal maka tak sayang'. Nah, demikian juga untuk urusan pelestarian.

"Jadi kalau masyarakat tidak mengenal sejarah kotanya, tidak mengenal di mana dia tinggal, maka masyarakat itu tidak akan mau melestarikan apa yang ada di kota tersebut," kata Nadia.

Karenanya, pihaknya berusaha untuk memperkenalkan sejarah kota maupun sejarah bagian-bagian kota - seperti Kebayoran Baru - ke masyarakat.

"Dengan info seperti itu, mereka [warga] menjadi berfikir 'wah, sayang juga kalau misalnya wajah kota satelit pertama yang ada di sini tiba-tiba sudah berganti," jelasnya.

Pada Maret 2022 lalu, Nadia menjadi pembicara dalam acara Plesiran Tempo Doeloe: Kebajoran bikinan CSW secara virtual yang digelar oleh Komunitas Sahabat Museum.

Ade Purnama, pimpinan Sahabat Museum, mengatakan, acara itu digelar agar "generasi muda supaya lebih mengenal dan mencintai kotanya, serta lebih memiliki rasa memiliki terhadap kotanya..."

----

Sebagian besar foto di atas dimuat atas izin dari pemiliknya, Nadia Purwestri (Pusat Dokumentasi Arsitektur) dan Ade Purnama(Komunitas Sahabat Museum).

Foto-foto tersebut ditayangkan saat acara 'Plesiran Tempo Doeloe: Kebajoran bikinan CSW, Maret 2022, oleh Komunitas Sahabat Museum.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada