Bukalapak, platform e-commerce yang telah berdiri sejak 2010, memutuskan untuk menghentikan layanan penjualan produk fisik mulai Februari 2025. Platform tersebut berencana untuk fokus pada penjualan produk virtual, seperti pulsa prabayar, paket data, token listrik, dan layanan pembayaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persaingan e-commerce di Indonesia sangat kompetitif mengingat nilai kotor penjualan barang (GMV) yang terus tumbuh. GMV menunjukkan nilai barang yang dijual melalui pasar pelanggan ke pelanggan. Riset Google, Temasek, dan Bain & Company menyebut bahwa nilai GMV sektor e-commerce Indonesia pada 2024 diperkirakan mencapai $65 miliar, terbesar di Asia Tenggara. Nilai tersebut tumbuh 10,17 persen dari $59 miliar di 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukalapak pun kalah kompetitif dari beberapa e-commerce lainnya. Riset TMO Group menunjukkan bahwa jumlah kunjungan ke situs Bukalapak per Februari 2024 sebesar 4,2 juta per bulan. Angka tersebut kalah jauh dibandingkan dengan Shopee dan Tokopedia, dua e-commerce teratas di Indonesia, yang mencatatkan jumlah kunjungan sebesar 227,6 juta per bulan dan 95,6 juta per bulan.
Tak hanya itu, jumlah pengunduh aplikasi Bukalapak di ponsel berbasis Android tertinggal jauh dibanding para kompetitornya. Hasil riset yang sama menemukan bahwa jumlah unduhan aplikasi Bukalapak di Google Playstore hanya sekitar 228 ribu per bulan, tertinggi kelima setelah Shopee, Tokopedia, Lazada, dan Blibli. Jumlah unduhan aplikasi Bukalapak pun hanya 10 persen dari angka unduhan aplikasi Lazada, yang menempati peringkat ketiga.
Head of Media and Communication Bukalapak Dimas Bayu menjelaskan bahwa keputusan menghentikan layanan penjualan produk fisik dilakukan demi mencapai pendapatan sebelum bunga, pajak, penyusutan, dan amortisasi (EBITDA) yang positif. Penjualan produk fisik melalui platform Bukalapak berkontribusi hanya sekitar 3 persen terhadap total pendapatan perusahaan.
Berdasarkan laporan triwulan perusahaan, Bukalapak mencatatkan EBITDA yang telah disesuaikan minus Rp 193 miliar pada triwulan ketiga 2024. Angka itu relatif membaik dibanding capaian tahun sebelumnya sebesar minus Rp 429 miliar pada triwulan yang sama.
Kinerja buruk Bukalapak pun turut berpengaruh pada harganya di pasar saham. Saat pertama kali melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), harga saham perusahaan ditawarkan sebesar Rp 1.100 per lembar. Namun, per 14 Januari 2025, harganya pada penutupan pasar hanya Rp 117, anjlok 89 persen dibandingkan hari pertama penjualan.

Faisal Javier