Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Alabama - Telepon seluler dan tablet kian canggih. Namun, aplikasinya masih terbatas karena prosesor yang ada tak sekuat komputer desktop atau laptop. Sistem server cloud pun dipakai untuk menyokong keterbatasan sumber daya pada gawai.
Masalahnya, para pengguna gawai harus berkomunikasi dengan internet secara konstan untuk mengakses server cloud. Mereka juga diwajibkan mengunggah seluruh data pribadi ke server cloud lokal atau publik tanpa tahu di mana sebenarnya seluruh informasi itu disimpan.
Ragib Hasan dan Rasib Khan, peneliti dari Universitas Alabama di Birmingham, Amerika Serikat, membuat sistem personal cloud yang ringkas dalam jaket. Sistem ini lebih sederhana dan murah bagi para pengguna untuk mengakses komputasi cloud yang bisa dibawa ke mana-mana. Sistem ini menyatukan semua komputasi gawai dalam satu perangkat cerdas.
Menurut Hasan, selama ini orang harus membeli perangkat, seperti jam pintar, ponsel pintar, alat pemantau aktivitas olahraga, serta kacamata pintar secara terpisah. Dana yang dihabiskan bisa mencapai Rp 40 juta.
“Kenapa kita tidak membangun sistem yang bisa mendukung semua itu? Ongkosnya akan sangat murah,” tutur asisten profesor bidang komputer dan informasi itu, seperti ditulis laman universitas.
Hasan dan Khan membangun sistem personal cloud ini dengan menggunakan 10 Raspberry Pi, sirkuit komputer papan tunggal murah seukuran kartu kredit, jaket musim dingin tua, tiga power bank, dan layar sentuh kecil.
Dengan prosesor yang lebih lambat ketimbang laptop, sebagian besar ponsel memiliki keterbatasan untuk menjalankan sejumlah tipe aplikasi. Harga gawai dengan teknologi terbaru jelas lebih mahal. Adapun purwarupa jaket cloud ini memiliki RAM sebesar 10 gigabita, lebih kuat ketimbang ponsel yang mencapai 1-3 gigabita. Menurut Hasan, jaket cloud menjadi perangkat cerdas utama ketika gawai-gawai lain “dimatikan”. “Semuanya akan menyatu,” kata dia.
Khan menyatakan jaket cloud ini dapat membantu para pengguna gawai dan perangkat mobile lainnya untuk beradaptasi dengan kebutuhan yang ada. Sistem cloud dalam jaket dapat digunakan sebagai dasar pengoperasian aplikasi. “Daripada memodifikasi atau meningkatkan kapasitas hardware, model ini menyediakan platform agar para pengembang bisa membuat apa pun di dalamnya,” tutur Khan.
Dengan jaket cloud ini, para pengguna tak membutuhkan perangkat dengan prosesor kompleks dan kuat. Mereka bisa menghubungkan perangkat cerdas dengan Bluetooth atau Wi-Fi, lalu mengoperasikannya lewat layar pada jaket. Seluruh fungsi komputasi dikirimkan langsung ke sistem cloud pribadi ini. Sistem cloud dalam jaket tersebut juga menjamin kerahasiaan data pribadi karena tak ada yang diunggah ke server publik.
Jika 10 orang mengenakan jaket cloud secara bersamaan, mereka dapat menciptakan sistem hyper-cloud dengan komputasi yang lebih kuat. “Jaket ini bisa menjadi pemancar mikro. Kemampuannya bisa dibagikan dalam jaringan privat dengan perangkat lain menggunakan Wi-Fi atau Bluetooth,” ujarnya.
Sistem cloud pribadi juga bisa dipasang pada barang yang digunakan sehari-hari, seperti tas kantor, ransel, atau tas jinjing. Hasan dan Khan yakin sistem ini dapat memberikan solusi dalam berbagai kondisi, termasuk komunikasi dan penyebaran informasi saat ada bencana. Interaksi para prajurit di medan perang pun lebih lancar.
Ketika harus mengevakuasi korban bencana, tim penyelamat bisa menggunakan sistem cloud ini. Dengan menghubungkannya ke Google Glass atau kacamata inframerah, mereka yang memiliki akses ke sistem cloud bisa mengetahui apa pun yang dilihat pengguna perangkat pada waktu bersamaan.
Hasan menyatakan mereka akan mengembangkan sistem serupa untuk dipasang pada baju pasien. Selama ini, pasien yang tubuhnya dipasangi alat pemantau detak jantung, tekanan darah, dan fungsi organ vital lain akan sulit bergerak atau beraktivitas.
Sistem pemantau itu bisa dialihkan ke sensor dalam rompi yang bisa dipasang di luar gaun pasien. “Akan ada juga sistem cloud dengan versi yang lebih kecil dalam baju pasien untuk mengumpulkan informasi, seperti suhu tubuh.”
UAB | SCIENCEDAILY | NEWSWISE | GABRIEL WAHYU TITIYOGA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini