Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wark Walters, penyiar radio di Georgia, AS, menggugat OpenAI, pembuat ChatGPT, atas kasus pencemaran nama.
Kasus hukum pertama terhadap kecerdasan artifisial ini menjadi perdebatan panjang para pakar hukum.
AI tak punya kemampuan mencemarkan nama, juga sebagai subyek hukum.
Untuk pertama kalinya di dunia, sebuah gugatan pencemaran nama diajukan kepada teknologi Artificial Intelligence (AI). Gugatan ini diajukan Mark Walters kepada OpenAI, perusahaan pemilik ChatGPT, di Georgia, Amerika Serikat, pada 5 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mark mengajukan gugatan ini setelah seorang jurnalis bernama Fred Riehl menggunakan ChatGPT pada 4 Mei 2023 untuk mencari rangkuman dari kasus The Second Amendment Foundation v. Robert Ferguson, tentang kebebasan sipil dari organisasi The Second Amendment Foundation. Hasil instruksi atas rangkuman kasus tersebut justru memunculkan nama Mark Walters, seorang penyiar radio di Georgia, dengan informasi bahwa Mark menggelapkan sejumlah dana dari The Second Amendment Foundation.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Mark, semua informasi yang melibatkan namanya tersebut salah, dan ia menganggap informasi yang ditampilkan merupakan “halusinasi AI”.
Ini bukan pertama kalinya ChatGPT menuai kontroversi dan kritik perihal keakuratan informasi yang diolahnya. Pada April lalu, Brian Hood, seorang politikus Australia, berencana melayangkan gugatan kepada ChatGPT setelah namanya dicantumkan sebagai salah satu terdakwa dalam kasus penyuapan Australia’s Reserve Bank pada 2011. Brian memang terlibat dalam kasus tersebut, tapi dia sebagai whistleblower.
Pada bulan yang sama, Jonathan Turley, seorang dosen hukum di George Washington University Law School, AS, mendapati dirinya dituduh melakukan pelecehan seksual kepada mahasiswinya dalam sebuah perjalanan studi ke Alaska. Informasi tersebut merupakan olahan ChatGPT yang juga mencantumkan bahwa kasusnya dimuat dalam sebuah artikel di The Washington Post. Faktanya, Jonathan tidak pernah mengadakan studi lapangan ke Alaska dan artikel di The Washington Post yang dimaksudkan tidak pernah ada.
Rentetan kontroversi ketidakakuratan informasi yang diolah ChatGPT memang hanya tinggal menunggu waktu sampai akhirnya benar-benar ada gugatan hukum terhadap teknologi mutakhir ini.
Gugatan terhadap AI oleh Mark Walters ini memunculkan diskusi-diskusi penting terkait dengan netralitas teknologi dan pertanggungjawaban hukum oleh teknologi AI. Apakah mungkin AI sebagai sebuah teknologi bisa dianggap sebagai sebuah teknologi yang netral, atau justru memiliki nilai-nilai tertentu yang dipengaruhi penciptanya?
Pengguna mengakses Chat GPT. PEXELS
AI dan Netralitas Teknologi
Kontroversi tentang teknologi AI dalam ChatGPT memang telah lama diperdebatkan sejak perilisannya kepada publik pada akhir tahun lalu. Sebagian besar masyarakat memandang AI membawa pengaruh negatif karena masalah privasi atau penyalahgunaannya oleh mahasiswa. Tapi tidak sedikit yang menganggap ChatGPT dapat digunakan secara maksimal untuk kebutuhan dan tujuan yang positif.
Arthur Cockfield dan Jason Pridmore, dosen hukum dan sosiologi di Queens University, Kanada, berargumen bahwa teknologi bisa dipandang dari dua sisi.
Pertama, dari sudut pandang instrumentalis, yakni ketika teknologi hanyalah alat. Artinya, teknologi bersifat netral, sampai penggunanya menggunakan teknologi tersebut untuk tujuan tertentu.
Kedua, dari sudut pandang substantif, yakni bahwa teknologi tidaklah netral. Sejak diciptakan, teknologi sudah memiliki nilai sosial, politik, atau ekonomi karena proses penciptaannya mengikuti nilai yang dianut penciptanya.
Gagasan Cockfield dan Pridmore tersebut berujung pada sintesis kedua sudut pandang tersebut atas penggunaan teknologi. Namun, pada konteks teknologi, AI sekarang tak lagi sekadar alat bantu, tapi juga sudah bertindak selayaknya manusia. Netralitas atas teknologi AI perlu diuji, khususnya apakah AI bisa bertindak selayaknya subyek hukum tersendiri.
Entitas buatan memang bisa berlaku sebagai subyek hukum tersendiri, sebagaimana badan hukum. Asas personalitas hukum, yang menjelaskan pihak yang dapat bertindak dan menjadi subyek hukum atas hak dan kewajiban hukum, sejauh ini hanya mengenali subyek hukum murni (individu) dan badan hukum (korporasi).
Pada kasus Sunday Times v. UK, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa memutuskan bahwa pelarangan publikasi artikel kepada koran The Sunday Times pada 1972 melanggar hak media tersebut. Artinya, The Sunday Times sebagai badan hukum yang memiliki hak di mata hukum.
Pertanyaan lanjutannya adalah: apakah AI sebaiknya menjadi subyek hukum tersendiri karena karakteristik personifikasi hukumnya yang unik, atau dilekatkan kepada subyek hukum yang sudah ada?
Mengingat adanya keterbatasan dalam hal pertanggungjawaban hukum yang tentu akan melekat pada pembuat teknologi, menjadikan AI sebagai subyek hukum tersendiri adalah oversimplikasi atas masalah pertanggungjawaban hukum dari sebuah penyalahgunaan teknologi, setidaknya untuk sekarang.
Atas dasar tersebut, AI belum bisa sepenuhnya dipandang sebagai sebuah teknologi yang netral. AI bekerja dengan algoritma yang dipengaruhi oleh bias, perspektif, dan budaya dari para penciptanya.
Ilustrasi Chat GPT. PEXELS
Mungkinkah AI Melakukan Pencemaran Nama?
Informasi yang diolah ChatGPT dalam kasus Mark Walters jelas merupakan informasi yang tidak akurat. Namun, dalam klaim bahwa informasi tersebut telah mencemarkan reputasi Mark Walters, kelalaian OpenAI—sebagai pemilik ChatGPT—atas kekeliruan informasi yang dirilis tetap merupakan salah satu hal yang perlu dibuktikan kebenarannya dalam gugatan pencemaran nama.
Hal ini juga memperkuat fakta bahwa AI tidak bisa berdiri sendiri sebagai subyek hukum.
Fakta bahwa ChatGPT terkadang mengolah dan merilis informasi yang keliru juga belum tentu menjadi dasar yang kuat dalam gugatan, kecuali terbukti ada kesengajaan dari OpenAI untuk merilis informasi tentang Mark Walters tersebut.
Selain itu, prinsip kerugian atau kerusakan yang nyata (actual malice), seperti kehilangan pekerjaan atau bangkrut, belum terbukti apakah memang dialami oleh Mark Walters.
Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa untuk saat ini AI tidak punya kapabilitas untuk mencemarkan nama, pun sebagai subyek hukum tersendiri. Namun bukan berarti AI tidak perlu diregulasi, mengingat banyak negara telah memulainya.
AI pada Konteks Indonesia
Kasus pencemaran nama di Indonesia juga merupakan isu hukum yang krusial dalam beberapa tahun terakhir, khususnya sejak Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lahir.
Meskipun di Indonesia sejauh ini belum ada gugatan atas pencemaran nama yang dilakukan oleh AI dan tampaknya tidak ada landasan hukum yang mengaturnya, ada satu ketentuan dalam UU ITE yang mungkin bisa relevan. Pasal 27 Ayat 3 UU ITE berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Ketidakjelasan makna dari frasa “membuat dapat diaksesnya” tersebut menciptakan ambiguitas dalam penerapannya.
Ambiguitas tersebut bukan tidak mungkin akan memunculkan gugatan “salah alamat” kepada AI. Padahal, sebagaimana yang sudah dibahas di atas, AI tidak bisa menjadi subyek hukum tersendiri karena statusnya yang lebih tepat sebagai agen elektronik. Pertanggungjawaban AI masih berada pada subyek hukum orang atau badan hukum yang menaunginya.
Secara keseluruhan, perdebatan mengenai tanggung jawab hukum AI masih menjadi isu yang kompleks, terutama jika menyangkut privasi dan keamanan data serta diskriminasi dan bias.
Diperlukan peran dan kolaborasi banyak stakeholder untuk memastikan teknologi AI digunakan dengan bertanggung jawab agar penggunaannya dapat memberikan manfaat secara luas bagi kemajuan manusia dan perbaikan lingkungan.
---
Artikel ini ditulis oleh Eka Nugraha Putra, lektor ilmu hukum di O.P. Jindal Global University, India. Terbit pertama kali di The Conversation.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo