Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Digital

Peneliti Berkeley Earth Perkirakan Suhu Panas Tahun Ini Lebih Tinggi dari 2023

Menurut data C3S Uni Eropa, sejak tahun lalu hingga Juni 2024 suhu panas bumi sekitar 1,64 derajat Celsius di atas rata-rata suhu pra-industri.

19 Juli 2024 | 11.22 WIB

Pejalan kaki menggunakan payung di bawah sengatan matahari di Tokyo, Jepang, 9 Juli 2024. Jepang diterjang gelombang panas dengan cakupan lebih luas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Suhu mencapai rekor tertinggi mendekati 40 derajat celsius, terjadi pada Senin (8/7/2024), di Tokyo dan di wilayah selatan Wakayama. REUTERS/Issei Kato
Perbesar
Pejalan kaki menggunakan payung di bawah sengatan matahari di Tokyo, Jepang, 9 Juli 2024. Jepang diterjang gelombang panas dengan cakupan lebih luas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Suhu mencapai rekor tertinggi mendekati 40 derajat celsius, terjadi pada Senin (8/7/2024), di Tokyo dan di wilayah selatan Wakayama. REUTERS/Issei Kato

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Tahun 2024 adalah tahun di mana merkuri meningkat dan rekor iklim semakin terpecahkan. Menurut sayap pemantauan perubahan iklim Copernicus Climate Change Service (C3S) Uni Eropa, bulan lalu adalah bulan Juni terpanas yang pernah kita alami.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dalam berita yang dilansir Earth.com, sekarang ini sudah 13 bulan berturut-turut — sejak Juni 2023 hingga Juli – dengan suhu panas setiap bulan lebih tinggi dibandingkan bulan-bulan serupa pada tahun-tahun sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aktivitas manusia dan fenomena cuaca alam, seperti El Niño, mendorong suhu ke tingkat yang lebih tinggi. Kemungkinan suhu tahun 2024 akan lebih tinggi dari tahun sebelumnya, nampaknya sangat mungkin terjadi.

“Saya sekarang memperkirakan bahwa ada sekitar 95% kemungkinan bahwa tahun 2024 mengalahkan tahun 2023 sebagai tahun terpanas sejak pencatatan suhu permukaan global dimulai pada pertengahan tahun 1800-an,” kata Zeke Hausfather, seorang ilmuwan peneliti di organisasi nirlaba Amerika, Berkeley Earth.

Bulan Juni lalu, lebih dari 1.000 orang tidak dapat bertahan dari panas ekstrem selama ibadah haji. Korban akibat cuaca panas dilaporkan juga terjadi di New Delhi, yang terkenal dengan gelombang panasnya yang tiada henti.

Friederike Otto, ilmuwan iklim di Grantham Institute di Imperial College London, setuju dengan pandangan Hausfather. Namun ia menekankan bahwa kita tidak bisa berbuat banyak terhadap fenomena alam seperti El Nino, tapi bisa menghentikan pembakaran minyak, gas, dan batu bara.

Hausfather mengatakan, meskipun El Nino telah mendorong peningkatan suhu rata-rata global, dunia saat ini berada dalam kondisi netral. Kondisi La Nina yang lebih dingin diperkirakan akan terjadi menjelang akhir tahun.

Data dari C3S, yang berasal dari tahun 1940, melalui referensi silang dengan data lainnya, menunjukkan bahwa bulan lalu menjadi bulan Juni terpanas, jika ditelusuri kembali ke periode pra-industri tahun 1850-1900.

Emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil merupakan penyebab utama perubahan iklim. Meskipun ada komitmen global untuk mengendalikan ancaman pemanasan ini, upaya kolektif negara-negara belum berhasil mengurangi emisi tersebut, yang menyebabkan suhu terus meningkat selama beberapa dekade.

Pada tahun lalu hingga Juni 2024, C3S mencatat suhu rata-rata dunia merupakan suhu tertinggi yang pernah tercatat pada periode tersebut, yakni sekitar 1,64 derajat Celsius di atas rata-rata suhu pra-industri.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus