Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Filipina Hadapi Dilema Pengesahan Aturan Perceraian

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Filipina Hadapi Dilema Pengesahan Aturan Perceraian
Iklan

Perceraian masih ilegal bagi sebagian besar penduduk Filipina, meskipun ada undang-undang khusus yang memberi hak kepada minoritas uslim di negara itu untuk mengakhiri pernikahan mereka secara hukum. Namun, mayoritas Kristen di Filipina masih sangat dipengaruhi oleh Gereja Katolik dan aturan yang dipegang Vatikan, satu-satunya negara lain di dunia yang masih melarang perceraian.

Namun, pada Mei lalu Dewan Perwakilan Rakyat Filipina mengesahkan Absolute Divorce Act atau Undang-undang Perceraian Multak, sebuah undang-undang yang secara signifikan dapat mengubah posisi hukum negara terkait pembubaran pernikahan. RUU ini memperluas opsi yang sudah ada seperti pembatalan, pemisahan hukum, dan ketidakmampuan psikologis.

Baca juga:

Jika disahkan, undang-undang ini akan mengizinkan pasangan untuk mengajukan gugatan cerai jika mereka telah berpisah selama setidaknya lima tahun dan rekonsiliasi dianggap mustahil, atau jika mereka telah berpisah secara hukum selama lebih dari dua tahun. Aturan hukum tersebut juga memasukkan pembatalan yang sudah diakui dalam kasus pembatalan dan pemisahan hukum, seperti penelantaran dan perselingkuhan.

Uskup Katolik memperingatkan tentang 'gelombang perceraian'

Meskipun begitu, RUU itu tidak akan memperkenalkan perceraian tanpa kesalahan, dan kecuali dalam kasus di mana pasangan atau anak berada dalam bahaya, maka akan diberlakukan masa tunggu selama 60 hari untuk memberikan kesempatan terakhir bagi pasangan untuk berdamai.

"Para pembuat undang-undang harus menyadari bahwa ini adalah kebijakan sipil yang tidak mengganggu keyakinan pribadi atau dinamika keluarga," kata aktivis AJ Alfafara dari Divorce Pilipinas Coalition kepada DW.

Baca juga:

"Sebaliknya, aturan ini memberikan opsi penting bagi banyak orang Filipina yang telah hidup terpisah selama bertahun-tahun, tetapi tidak memiliki pengakuan hukum atas status mereka," tambahnya.

Namun, langkah berikutnya ada di tangan Senat, yang sejak Juni masih belum mengambil keputusan terkait RUU tersebut. Konferensi Waligereja Katolik Filipina mendesak agar berhati-hati, memperingatkan tentang bahaya "gelombang perceraian" pada Juli lalu.

Tantangan bagi Warga Filipina yang ingin bercerai

Saat ini, warga Filipina yang ingin mengakhiri pernikahan mereka memiliki opsi yang sangat terbatas. Perpisahana secara hukum memungkinkan pasangan untuk hidup terpisah, tetapi tidak membubarkan pernikahan, sementara pembatalan sering kali sangat mahal dan membutuhkan bukti bahwa pernikahan tidak sah sejak awal. Opsi ini tidak dapat diakses oleh banyak warga Filipina sehingga mereka terjebak dalam hubungan yang disfungsional atau bahkan berbahaya.

Ada juga tekanan sosial yang kuat untuk mempertahankan pernikahan di kalangan mayoritas Kristen di Filipina, yang mencakup hampir 88% dari populasi.

Namun, dukungan terhadap perceraian tampaknya semakin meningkat. Survei yang dilakukan pada bulan Maret oleh Social Weather Stations menunjukkan bahwa 50% warga dewasa Filipina mendukung legalisasi perceraian, sementara 31% menolaknya.

Survei lain yang dilakukan bersama media berbasis gereja menunjukkan bahwa hanya 34% responden mendukung perceraian karena "perbedaan yang tidak dapat didamaikan," tetapi lebih dari setengah responden menyetujui perceraian dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Perceraian di luar negeri kini diakui di Filipina

Para pendukung undang-undang ini sebagian besar fokus pada bagaimana hal itu dapat memberi perempuan jalan keluar hukum dari hubungan yang penuh kekerasan.

Beberapa aktivis berpendapat bahwa momentum untuk melegalkan perceraian semakin kuat bulan lalu ketika Mahkamah Agung Filipina memutuskan bahwa negara harus mengakui dekrit perceraian asing. Putusan ini berlaku bagi kasus di mana warga negara Filipina menikah dengan orang asing dan perceraian dilakukan di luar negeri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Pengadilan memutuskan bahwa jenis perceraian, apakah administratif atau yudisial, tidak masalah. Selama perceraian itu sah menurut hukum nasional pasangan asing, itu akan diakui di Filipina untuk pasangan Filipina," kata para hakim dalam putusan mereka.

Apakah Senat mendukung aturan baru soal perceraian?

Opini terbagi mengenai apakah putusan Mahkamah Agung ini akan memengaruhi keputusan Senat terkait RUU perceraian. Jeofrey Abalos, seorang demografer di Australian National University, percaya bahwa putusan tersebut akan memiliki "sedikit efek" karena hanya sekitar 1% dari pernikahan yang terdaftar di Filipina melibatkan warga negara asing.

"Situasi segmen kecil warga Filipina yang mendapatkan perceraian di luar negeri sangat berbeda dengan keadaan banyak warga Filipina yang ingin secara hukum mengakhiri pernikahan mereka, jadi putusan ini mungkin tidak sepenuhnya berdampak," kata Abalos kepada DW.

Di sisi lain, Alfafara berpendapat bahwa putusan tersebut membuka jalan untuk pemahaman yang lebih luas tentang pembubaran pernikahan.

"Ketiadaan hak perceraian melanggar hak asasi manusia dasar, sebagaimana diuraikan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia," katanya.

Nasib RUU ini sekarang tergantung pada keputusan Senat. RUU serupa ditolak pada 2018, dan saat ini komposisi Senat mencakup banyak senator Katolik atau Kristen konservatif yang secara terbuka menentang gagasan perceraian.

Kehabisan waktu

Nasib RUU perceraian masih belum jelas, terutama dengan pemilihan paruh waktu, saat semua 317 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan setengah dari 24 kursi di Senat akan diperebutkan.

Jika Senat tidak mengesahkan RUU ini sebelum pemilu, maka RUU tersebut akan kedaluwarsa dan Dewan Perwakilan Rakyat yang baru terpilih harus memulai proses legislatif dari awal lagi.

"Mengingat pemilu paruh waktu yang semakin dekat, waktu yang tersisa sangat sedikit bagi RUU ini untuk menyelesaikan proses legislatif," kata Athena Charanne Presto, seorang sosiolog dan dosen senior di Universitas Filipina Diliman, kepada DW.

Meski demikian, Alfafara tetap optimistis. Dia percaya bahwa RUU ini telah melangkah lebih jauh dibandingkan upaya-upaya sebelumnya untuk melegalkan perceraian di Filipina, dan meskipun ada rintangan, dukungan publik yang semakin besar bisa membuat perbedaan di tahun-tahun mendatang.

Diadaptasi dari artikel DW Inggris

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada