Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Kisah TKW Hidup di Tengah Gejolak Politik di Hong Kong

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Kisah TKW Hidup di Tengah Gejolak Politik di Hong Kong
Iklan

Pada hari bebas Jochel biasanya melangkahkan kaki menuju salah satu taman terbuka di Hong Kong untuk bertemu teman sebaya atau menelpon keluarga di Indonesia. Tapi musim panas ini, kebiasaannya itu bisa menjadi riskan, menyusul aksi protes berbalas tembakan gas air mata yang terjadi sejak beberapa bulan silam.

Perempuan berusia 35 tahun itu adalah satu dari 370.000 buruh domestik yang membuat Hong Kong tetap berfungsi seperti normal.

Baca Juga:

Kebanyakan berasal dari Indonesia dan Filipina. Mereka dibayar murah dan sering harus hidup dalam ruang sempit. Satu-satunya hari bebas yang mereka miliki, yakni hari Minggu, kini menjadi ajang pertikaian jalanan antara demonstran dan polisi.

"Mata saya sempat sakit sekali," kata Jochel ketika pertamakali mendapati diri terjebak di antara demonstran saat berpiknik dengan teman di Victoria Park. "Ini tzidak baik. Warga Hong Kong juga menderita," imbuhnya sembari berkisah dia diselamatkan oleh demonstran saat tersambar asap dari gas air mata.

Keamanan Pribadi

Biasanya buruh domestik di Hong Kong mendapat upah sebesar HK$4,630 atau sekitar Rp. 8,3 juta per bulan dan harus tinggal bersama majikan di apartemen kota yang sempit. Pada hari bebas, TKW asal Indonesia biasanya berpelesir ke distrik Causeway Bay atau berjalan lintas alam menyusuri trek-trek di pinggir kota.

Baca Juga:

"Kalau kami pergi terlalu jauh, kami takut tidak bisa pulang lagi," kata Sandy, salah seorang TKW. "Kami harus sudah ada di rumah pada pukul 9 atau 10 malam."

"Kami berusaha menjauh demi keamanan sendiri," imbuhnya lagi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meski situasi yang tidak lagi kondunsif, kebanyakan TKW mengaku akan tetap bertahan di Hong Kong. "Majikan kami masih butuh kami dan kami masih membutuhkan pekerjaan ini," kata Sandy yang mengirimkan uang secara bulanan kepada orangtua di tanah air.

Nasib naas misalnya dialami Veby Indah, seorang jurnalis yang menderita kebutaan permanen pada salah satu matanya setelah ditembak polisi menggunakan peluru karet. Dia bekerja untuk Suara, situs berita Hong Kong dalam bahasa Indonesia yang ramai dibaca TKI.

Sensor Diri

Tidak sedikit yang ingin memrotes penembakan tersebut, namun memilih diam. "Saya takut dapat masalah," kata Marsanah yang sudah bekerja di Hong Kong sejak tiga tahun. Dia mengaku banyak rekan TKW yang takut kehilangan pekerjaan atau izin tinggal jika ikut bersuara.

"Jika Anda ketahuan ikut bergabung dengan apapun yang terkait protes di Hong Kong, ada kemungkinan besar kami tidak bisa lagi bekerja di sini," kata Eni Lestari, Direktur Jejaring Pekerja Migran Indonesia. Awalnya Eni berniat menggalang massa memrotes penembakan Veby, namun terpaksa dibatalkan.

Mereka akhirnya memilih berdemonstrasi di depan gedung kedutaan Indonesia untuk mendesak pemerintah Hong Kong menyeret pelaku penembakan ke pengadilan. Kepolisian Hong Kong sejauh ini menolak membocorkan identitas petugas yang menembak Indah. "Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak cukup," kata seorang TKW bernama Sringatin. "Hanya meminta kita agar berdoa dan tetap tenang itu tidak cukup," imbuhnya.

rzn/vlz

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada