Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Pemerintah Usulkan RUU BPIP, Pengamat: Penting untuk BPIP

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Pemerintah Usulkan RUU BPIP, Pengamat: Penting untuk BPIP
Iklan

Pemerintah secara resmi menarik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan menggantinya dengan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Pemerintah telah memberikan draf RUU BPIP kepada DPR melalui Menko Polhukam Mahfud MD pada Kamis (16/07) pekan lalu.

Didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Mahfud mengatakan RUU ini sebagai bentuk sumbang saran pemerintah dalam menyikapi polemik RUU HIP di masyarakat.

Baca Juga:

"Rancangan undang-undang ini memang dulu merespons perkembangan masyarakat tentang ideologi Pancasila," kata Mahfud dalam konferensi pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (16/07)

Beda substansi

Dalam draf yang diterima DW Indonesia, RUU BPIP berisikan substansi yang berbeda dengan RUU HIP. RUU BPIP memuat ketentuan tentang tugas, fungsi, wewenang, dan struktur kelembagaan BPIP. Sementara pasal-pasal kontroversial seperti penafsiran filsafat dan sejarah Pancasila sudah tidak ada lagi. Dalam konsideran, juga sudah terdapat TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pelarangan PKI dan Ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.

Namun, pembahasan RUU BPIP masih belum akan dilaksanakan dalam waktu dekat mengingat DPR sudah memasuki masa reses. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pada Jumat (17/07), ada beberapa mekanisme yang perlu dilalui terlebih dahulu untuk mengganti pembahasan RUU HIP menjadi RUU BPIP yang terdiri dari 7 bab dan 7 pasal ini.

Baca Juga:

“Setelah mekanisme itu dilakukan dan sudah diganti, kita tidak akan membahas sebelum kita minta pendapat masyarakat. Kami, akan buka sekian belas pasal itu untuk kemudian silakan masyarakat memberikan masukan, apalagi substansinya sudah berbeda dengan HIP,” terang Dasco.

Berpayung hukum UU

Menanggapi digantinya RUU HIP dengan RUU BPIP, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo, mengatakan RUU BPIP penting untuk memperkuat posisi BPIP. Sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku, landasan hukum BPIP saat ini adalah Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Hal ini juga dinilai wajar karena terdapat sejumlah lembaga pemerintahan non-kementerian lainnya yang berpayung hukum UU.

“Mengingat betapa pentingnya pembinaan ideologi Pancasila, maka sangat penting BPIP mendapatkan payung hukum selevel UU,” jelas Karyono kepada DW Indonesia, Senin (20/07).

“Dengan berpayung hukum UU, program penguatan Pancasila tidak akan berganti atau bahkan hilang akibat pergantian rezim. Penguatan Pancasila sebagai dasar negara akhirnya tidak tergantung pada siapa yang sedang berkuasa, karena telah memiliki landasan hukum yang permanen, yakni UU,” lanjutnya.

Karyono berpendapat kinerja BPIP dalam melaksanakan tugas pembinaan ideologi Pancasila sudah cukup baik dengan mensosialisasikan program pembinaan nilai-nilai Pancasila di kalangan masyarakat dan di sejumlah institusi negara dan pemerintahan. BPIP dinilai mengisi kekosongan peran negara dalam pengamalan dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila sejak program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dibubarkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meski begitu, Karyono menyampaikan bahwa BPIP saat ini masih fokus pada “aspek internalisasi penataan kelembagaan dan penyusunan program serta perumusan materi silabus pendidikan dan latihan (Diklat) Pembinaan Ideologi Pancasila.” Sejumlah tantangan pun harus mampu dijawab oleh badan yang baru dibentuk pada 28 Februari 2018 lalu ini.

“Tantangan lain yang dihadapi BPIP adalah menyajikan metode pengamalan dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila yang sesuai dengan perkembangan zaman seperti halnya kemajuan teknologi yang membawa perubahan perilaku,” papar Karyono.

Mengamalkan Pancasila dalam kehidupan

Anggota BPIP Romo Benny Susetyo mengatakan bahwa saat ini BPIP terus menyempurnakan peta jalan pembinaan Pancasila dengan kondisi terkini agar pembinaan berjalan dengan lebih efektif. Senada dengan Karyono, era digitalisasi dinilai jadi tantangan tersendiri. Ia menjelaskan bahwa BPIP terus melakukan pembinaan Pancasila melalui ruang-ruang publik.

“Karena yang dihadapi saat ini generasi baru, generasi digtalisasi. Dan hampir 120 juta orang generasi baru yang butuh metodologi dan cara-cara baru,” jelas Romo Benny kepada DW Indonesia, Senin (20/07).

Dalam menarik simpati generasi muda untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila, Romo Benny mengatakan perlu dilakukan pendekatan yang bersifat aplikatif dan memberi arti. Menurutnya, cara-cara doktrinal tidak lagi sesuai di kondisi seperti sekarang ini.

“Kita mendorong ruang publik itu diisi orang-orang yang memberikan persprektif bahwa Pancasila itu tindakan bagaimana mereka mencintai bangsa negaranya dengan memberikan seesuatu yang terbaik lewat prestasi mereka, lewat kontribusi mereka terhadap sesamanya. Begitu juga membuat Pancasila dihidupi dengan jiwa-jiwa sosial nasionalisme dalam bentuk yang konkret,” ujarnya.

Lebih lanjut Romo Benny menjelaskan bahwa sejatinya Pancasila selalu dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengamalkan Pancasila, menurutnya mampu meningkatkan rasa cinta dan bangga sebagai bangsa Indonesia.

“Ketuhanan yang Maha Esa. Kalau kita mencitai Tuhan berati kita itu tidak akan mungkin menghina sesamanya. (Mengamalkan) sila kedua, maka kebohongan, ujaran kebencian itu tidak akan ada karena orang saling mencintai, sudah tertanam. Kalau orang mencintai sesamanya tidak akan ada konflik SARA karena persatuan nasionalisme itu segalanya. Di situ modal dasarnya, musyawarah mufakat, keadilan sejati,” pungkas Romo Benny.

rap/as (dari berbagai sumber)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada