Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Bencana Ganda yang Dihadapi Indonesia: Karhutla dan COVID-19

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Bencana Ganda yang Dihadapi Indonesia: Karhutla dan COVID-19
Iklan

Sebuah laporan terbaru yang dirilis oleh Greenpeace Asia Tenggara, pada Kamis (10/09) menyajikan sejumlah bukti kuat yang menunjukkan tingkat keparahan infeksi COVID-19 dapat meningkat secara signifikan akibat paparan polusi udara dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Laporan berjudul 'Burning Up' merupakan sebuah hasil penelitian yang memakan waktu selama enam bulan dan mencakup peninjauan lebih dari 200 makalah, termasuk makalah yang secara khusus membahas dampak kebakaran hutan di Indonesia selama dua dekade.

Baca Juga:

Kepada DW, perwakilan dari Greenpeace Indonesia, Igor O’neill, menyebut laporan ‘Burning Up’ juga mengungkapkan tentang beberapa provinsi di Indonesia yang memiliki dampak terparah karhutla.

“Sumatra (Riau, Jambi, dan Sumatra Selatan) dan Kalimantan (Barat, Tengah, dan Selatan) telah menjadi wilayah yang terkena dampak paling parah akibat asap dari kebakaran hutan yang berulang. Implikasinya kini adalah kebakaran yang terjadi di masa lalu menjadi penyebab kerusakan jangka panjang,” kata Igor.

Selama puluhan tahun, asap kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan krisis kesehatan masyarakat yang besar. Kini krisis tersebut diperparah dengan adanya penyebaran virus SARS-CoV-2. Asap kebakaran hutan dapat menyebabkan sistem kekebalan tubuh menurun sehingga rentan terhadap berbagai infeksi dan penyakit. Risiko yang dihadapi masyarakat saat terpapar asap karhutla dan COVID-19 sekaligus akan kian fatal.

Baca Juga:

Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat (AS) oleh para peneliti dari Universitas Harvard dan penelitian lain yang mencakup 355 kota di Belanda, menemukan bahwa sedikit saja peningkatan polusi udara sudah cukup meningkatkan kerentanan tingkat kematian akibat COVID-19.

Salah satu alasannya karena sel paru-paru yang terpapar polusi udara menghasilkan lebih banyak reseptor atau 'pintu' yang disebut ACE2. Bila diibaratkan, virus corona menginfeksi sel dengan menggunakan 'paku' sebagai 'kunci' untuk membuka 'pintu' ini.

Selain itu, penelitian yang dilakukan awal tahun ini di Cina juga menemukan bahwa paparan polusi udara secara signifikan memiliki dampakyang lebih buruk terhadap penderita COVID-19.

Selama krisis kebakaran sebelumnya, polusi udara yang parah telah memaksa penduduk Kalimantan dan Sumatra untuk berlindung di tempat penampungan yang penuh sesak. Apabila kejadian tersebut dialami masyarakat di daerah rawan karhutla saat ini, maka orang-orang yang terpaksa dievakuasi dalam kondisi berdekatan, dipastikan akan berisiko tinggi tertular SARS-CoV-2.

Risiko karhutla dan COVID-19 pada generasi berikutnya

Tidak berhenti pada dampak karhutla dan COVID-19 yang dapat meningkatkan risiko kematian, laporan ‘Burning Up’ juga menyoroti risiko yang dihadapi generasi-generasi berikutnya akibat karhutla yang berulang kali terjadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anak-anak yang terpapar asap karena tinggal di daerah rawan karhutla seperti Sumatra atau Kalimantan pada sekitar tahun 1997 dan diperiksa kesehatannya di tahun berikutnya, menunjukkan angka tamat sekolah yang lebih rendah, skor yang lebih rendah dalam tes kognitif, dan pertumbuhan fisik yang lebih lambat daripada anak-anak yang tidak terpapar asap.

Tinggi dan berat badan anak yang lebih rendah untuk kelompok usianya merupakan indikator kesehatan yang buruk. Data hasil penelitian ini sangat memprihatinkan, mengingat temuan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang menjelaskan bahwa kesehatan yang buruk di kalangan anak-anak miskin menjadi penyebab Indonesia tercatat sebagai negara dengan salah satu angka kematian tertinggi di dunia akibat Covid-19. Sebanyak 51 kematian dilaporkan di bulan Juli dan naik dua kali lipat di bulan berikutnya.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Rusmadya Maharuddin mengatakan, “kebakaran yang terjadi akibat perusakan hutan dan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp, menyebabkan kematian dan penderitaan yang tiada gunanya. Kita tahu bahwa COVID-19 bisa mematikan bagi orang-orang yang memiliki penyakit bawaan, tetapi setelah bertahun-tahun menghirup asap ini, rasanya seakan kita berperang dengan satu tangan terikat di belakang punggung. Studi menunjukkan asap kebakaran hutan membahayakan kesehatan anak-anak di Indonesia dan sekarang dokter anak mengatakan bahwa kesehatan yang buruk adalah penyebab negara yang memiliki tingkat kematian COVID-19 tertinggi di antara anak-anak.”

Tuntutan kepada pemerintah

Mencegah dampak buruk terhadap kesehatan akibat karhutla bukan masalah yang sederhana. Beberapa di antara langkah yang harus dilakukan adalah menghentikan deforestasi untuk perkebunan industri, membasahi kembali lahan gambut yang kering dan rusak, serta merestorasi dengan hutan alam yang tahan api.

“Hal yang paling cepat yang dapat dilakukan pemerintah saat ini adalah melindungi hukum lingkungan yang ada, agar tidak dilemahkan melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ucap Igor.

Desakan kepada Presiden Joko Widodo untuk mencegah kebakaran kerap diulang.

Namun Greenpeace menilai pemerintah pusat dan daerah secara konsisten memilih untuk tidak menegakkan hukum atau memberdayakan Badan Restorasi Gambut Indonesia (BRG) yang ditugaskan untuk merestorasi dua juta hektar lahan gambut.

Tugas BRG akan berakhir pada akhir tahun 2020. Dengan hanya beberapa bulan tersisa di tahun ini, masih belum ada indikasi apakah mandatnya akan diperpanjang oleh Presiden Jokowi, atau apakah akan melimpahkan fungsinya ke kementerian yang ada? Tidak ada yang tahu.

(ha/pkp)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada