Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Lupakan Cara Kilat, Kurangi Berat Badan dengan Cara Sehat

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Lupakan Cara Kilat, Kurangi Berat Badan dengan Cara Sehat
Iklan

“Waktu remaja, tidak ada kawan pria yang melirik saya. Sebab saya gendut. Yang ada malah teman-teman cowok sering mengolok-olok saya. Stres rasanya sampai tak konsentrasi belajar. Malas berkaca karena frustrasi. Oleh sebab itu saat SMA saya mulai diet gila-gilaan, tak mau makan. Kalau pun makan, saya muntahkan lagi, biar kurus,“ ujar Martha yang mengaku tertekan karena tidak pernah merasa cantik, kecuali jika tubuhnya sangat langsing. Tahun 2010, saat menginjak usia 20 tahun, berat badan Martha Rudini yang tadinya 70 kilo gram hanya tersisa 42 kilo gram dengan tinggi badan 160 cm. Dokter mengatakan Martha mengalami anoreksia, di mana bagian perutnya bahkan mengalami kekurangan pasokan darah.

Bertahun-tahun lamanya ia sering jatuh sakit, di antaranya asam lambung dan anemia. Kuliahnya terganggu dan baru-baru ini Martha lulus sebagai sarjana ekonomi dan mulai mencari kerja. “Lima tahun lamanya saya menderita, sampai akhirnya ibu saya stroke dan saya pun menyesal.” Ia berusaha bangkit mengumpulkan rasa percaya dirinya.

Baca Juga:

Lima tahun belakangan ia menjalani terapi nutrisi dan psikologis. Kini berat badanya sudah 55 kilo gram dan ia mulai percaya diri. “Dukungan dari orang-orang terdekat sangat penting dalam proses penyembuhan saya dari ‘kegilaan diet‘," ungkap perempuan yang bermukim di Bogor, Jawa Barat ini.

Sementara itu di sudut Kota Brüssel, Belgia, seorang perempuan lain berbagi kisah tak jauh beda. Trauma dihina gendut oleh kawan-kawannya, sejak remaja ia sibuk dengan diet. “Problem berat badan saya alami dari masih kecil, waktu tinggal di Selandia Baru, terus di sana kan makan coklat, susu, segala macam terus jadi membengkak sampai saat ini. Dari kecil, dari umur 8 tahun saja sudah kena body shaming. Jadi ingginnya diet, diet saja, karena merasa tidak cantik,“ curhat Rima yang pada usia 12 tahun pindah ke Jakarta dari Selandia Baru.

“Segala macam diet sudah dilakukan, apalagi terutama waktu remaja, mulai dari diet Atkins, diet GM, segala macam sampai ke dokter kurus yang dulu lagi ngetop banget tuh. Di Jakarta ada yang pakai akupuntur, semua yang namanya dokter sampai ke suster yang kasih suntik vitamin C katanya bisa bikin kurus, segalanya sudah dilakukan tanpa ada hasil. Yang akupuntur berhasil turun sekitar 20 kilo tapi begitu berhenti naik lagi,“ kata Rima dengan jengkel. Tidak ada solusi yang permanen dari beragam diet yang dilakukannya.

Mengalami gangguan kesehatan

Baca Juga:

Rima bercerita dia sering mengonsumsi obat-obatan untuk diet hingga lambungnya bermasalah, “Jadi kini saya harus hidup dengan obat. Ini gara-gara kebanyakan segala macam obat terus sempat dehidrasi, sampai rambut rontok, terlalu banyak mengeluarkan cairan dalam waktu yang cepat itu juga bermasalah sampai sempat ginjal saya juga ada masalah,“ ujar perempuan yang kini memasuki usia kepala empat itu.

Tahun 2001, Rima pindah ke Belgia. Ia sempat mengalami masalah kolesterol dan darah tinggi. Berat badannya juga sampai naik sampai 120 kilo, "Jadi memang sakit, terus ke dokter dan dari dokter bilang: 'Kamu harus turun berat badan dan dari berat kamu segini, kamu punya resiko untuk kematian dini itu tinggi' Lalu dokter menawarkannya operasi gastric banding," papar Rima. Gastric banding adalah metode proses pemasangan cincin atau gelang silikon yang dapat diatur pada bagian atas lambung. Pasien yang dipasangi gelang atau cincin silikon itu bisa merasa cepat kenyang dan dengan demikian porsi makan pun berkurang. Namun setelah operasi itu, bukan berarti penderitaan Rima lenyap. “Memang turun drastis dari 120 kilo gram sampai 68 kilo gram, jadi hampir setengah berat badan turun, tapi ada komplikasi sedikit dengan cincinnya, berapa kali harus dioperasi kembali karena erosi, turun dari tempatnya yang seharusnya,” tutur Rima.

Lelah dengan segala cara diet, akhirnya delapan tahun silam Rima Fauzi mengambil sebuah keputusan untuk hidupnya. “Saya belajar mnerima diri saya apa adanya. Saya tidak mau lagi membahayakan Kesehatan dengan cara cepat untuk kurus. Akhirnya saya mengatur pola makan sendiri. Atur pola makan jadi makannya lebih yang sehat ya tak makan goreng-gorengan lagi. Juga berolahraga ya. Delapan tahun yang lalu itu, ke fitness center hampir tiap hari jadi sampai sekarang jadi terbawa dengan gaya hidup yang seperti itu. Makannya juga lebih bervariasi. Lebih banyak sayur, minum air dan sebagainya dan sekarang juga yoga. Yoga itu sangat membantu,” demikian tips yang disampaikan Rima.

Yang paling utama olahraga

Seorang dokter asal Indonesia yang bekerja di Jerman, Irwanto Sudaryo menyebutkan alasan yang paling sering mendorong orang menguruskan berat badan adalah ketidakpuasan atas keadaan seseorang. Menurutnya tak sedikit orang melakukan penurunan berat badan secepat mungkin dengan cara apapun. Padahal, jika mengalami kelebihan berat badan, yang perlu diutamakan adalah olahraga, jadi bukan beragam jenis diet cara kilat. ”Bahkan orang yang sakit maag pun dianjurkan untuk displin berolahraga,” tandasnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untuk mengoptimalkan program penurunan berat badan secara sehat, ia menganjurkan penghitungan kalori dengan keburuhan individu masing-masing: “Kalori biasanya dihitung sesuai dengan kebutuhan dasar seseorang per hari, dan dibagi dalam beberapa porsi makan per hari,” jelas Irwanto. “Setelah itu baru tentukan jenis makanan apa dan berapa jumlahnya dan bagaimana kombinasinya agar asupan gizinya tetap seimbang."

Dokter yang bekerja di Rumah Sakit Bernwald di Hildesheim ini juga menganjurkan bagi ynag menjalani diat, untuk tidak melakukannya secara ekstrem: “Yang biasanya membuat orang harus dirawat di rumah sakit itu adalah yang membataskan pada sejenis diet secara ekstrem, misalnya diet garam. Ada yang datang ke rumah sakit dengan gejala seperti orang lumpuh kaena semua ototnya lemas.”

Untuk bisa tetap menjaga berat badan namun tetap sehat, ia menganjurkan pentingnya konsultasi dengan ahli gizi. “Misalnya atlet profesional, mereka biasanya punya ahli gizi sendiri dan tujuannya jelas, supaya mereka tetap fit dan tidak kelebihan berat badan,” pungkas pria yang sejak tahun 2012 bermukim di Jerman ini.

Ganti pola hidup dengan lebih sehat

Dokter Debi Frina Simanjuntak yang juga bekerja di sebuah rumah sakit di Jerman mengingatkan, mereka yang mengalami banyak kelebihan berat badan, berpotensi mengalami gangguan hati dan jantung. Selain itu juga berat bagi kerja lutut yang sepanjang hari menjadi tumpuan tubuh. ”Mereka juga rentan diabetes tipe 2, karena produksi insulin yang dihasilkan pankreas tidak cukup buat mengubah glukosa menjadi glikogen.”

Namun senada dengan Irwanto, Debi menganjurkan agar orang-orang yang ingin mengurangi berat badan melakukan konsultasi dengan pakar gizi: “Makanlah makanan yang mudah diserap oleh usus. Banyak kerja tubuh untuk melepaskan insulin dan mengubah glukosa yang kita makan menjadi glikogen untuk disimpan di dalam sel-sel tubuh seperti otot, hati dan lemak,” paparnya.

Debi mewanti-wanti bahwa mereka yang ingin menurunkan berat badan, sebaiknya lebih memperhatikan pola hidup: “Diet-diet yang temporer tidak akan bertahan lama, lebih baik atur asupan kalori yang masuk ke tubuh, makan makanan yang berserat tinggi dan kalori rendah, dan kurangi karbohidrat. Jangan lupa hindari junkfood dan minuman soda yang banyak gula.“

Berolahraga paling tidak selama setengah jam atau satu jam sehari menurut kedua dokter di Jerman ini sangat baik dalam membantu proses penurunan berat badan dengan cara yang sehat.

Di luar masalah kesehatan, bagaimana sikap masyarakat untuk tidak merundung penampilan orang, termasuk orang yang kelebihan atau kekurangan berat, menurut feminis Uly Siregar, juga patut diperhatikan. Kebiasan mengolok-olok penampilan harus dihentikan.“Sejatinya manusia memang lebih gampang menilai hal-hal yang kasatmata daripada bersusah payah mengenal dan menggali lebih dalam apa yang tak terlihat oleh mata. Namun tak ada justifikasi bagi kaum laki-laki untuk menyerang urusan penampilan fisik perempuan, mereduksi nilai seorang perempuan hanya dari bentuk hidung, warna kulit, berat badan, atau apapun yang menyangkut soal fisik,” ujar Uly. “Semua perempuan itu cantik, mereka semua ‘ratu’ dengan keunikannya masing-masing,” pungkas Rima Fauzi yang kini jauh lebih memperhatikan kesehatannya ketimbang penampilannya.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada