Hingga saat ini dokumen Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang asli belum ditemukan, sejak Supersemar itu ditulis 55 tahun silam oleh mantan Presiden Soekarno. Paling tidak ada tiga hal yang turut menambah teka-teki Supersemar, selain raibnya dokumen asli surat maha penting dalam sepenggal sejarah Indonesia yang saat itu baru berumur 21 tahun.
Pertama, kehadiran pasukan liar saat Sidang Kabinet Dwikora di Istana Merdeka yang dipimpin Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966, kedua, isi serta proses keluarnya Supersemar dan yang terakhir adalah hasil Supersemar yang menimbulkan korban jiwa di sejumlah daerah pasca pembubaran PKI. Kehadiran pasukan liar inilah yang menimbulkan ketegangan dan kepanikan pada diri Soekarno sehingga ia memutuskan menyingkir ke Istana Bogor meski sidang kabinet masih berlangsung.
Isi Supersemar Versi M. Yusuf
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) hanya mempunyai salinan dokumen Supersemar. Itupun tidak asli dan ada tiga versi dokumen yakni dari Sekretariat Negara, Pusat Penerangan Angkatan Darat TNI dan Akademi Kebangsaan. Tetapi penulis biografi M. Yusuf -saksi mata lahirnya Supersemar- Atmadji Sumarkidjo mengaku melihat Supersemar.
Dalam buku Jenderal M. Yusuf “Panglima Para Prajurit” yang terbit tahun 2002, Atmadji menulis, saat M. Yusuf masih menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan tahun 1991, M. Yusuf pernah menunjukkan sebuah fotokopi mengenai Supersemar kepada Atmadji Sumarkidjo. Salinannya sendiri tidak begitu jelas, terdiri dari dua halaman dan ada tanda tangan Presiden. “Kau lihat ini, ini bunyi Surat Perintah yang asli!” kata M. Yusuf kepada Atmadji Sumarkidjo.
Saya menghubungi Atmadji Sumarkidjo, sang penulis biografi M. Yusuf yang saat ini menjadi staf khusus seorang menteri dan bertanya tentang Supersemar yang dilihatnya. Atmadji bercerita, fotokopi Supersemar yang ada pada M. Yusuf itu adalah fotokopi hasil foto langsung jadi dengan menggunakan kamera Polaroid yang diambil Kol. Inf. Aloysious Sugiyanto. Aloysious memotret saat Supersemar dibawa ke Markas KOSTRAD malam 11 Maret 1966. Pada tahun 1966, Aloysious Sugiyanto adalah staf Kol. Ali Moertopo (1966-1970), orang nomor dua di Operasi Khusus.
Atmadji menambahkan, menurut M. Yusuf, salinan Supersemar itu disimpan oleh Kol. Sutjipto, SH setelah dipotret oleh Aloysius Sugiyanto. Saat itu tidak ada yang terpikir untuk menyimpan Supersemar karena merasa yang penting Supersemar sudah ada, selain waktu sudah pukul 03.00 dini hari ketika momen tersebut berlangsung. Pada tahun 1966, Kol. Sutjipto adalah Ketua G-5 Komando Operasi Tertinggi (KOTI) lalu menjadi Menteri Pertanian tahun 1968. Lantas di mana hasil potret Aloysious itu? Aslinya Pak Sugiyanto (Aloysious) sudah tidak ingat lagi, kata Atmadji kepada saya.
Isi Supersemar ditulis oleh Atmadji Sumarkidjo pada halaman 184 biografi M. Yusuf sebagai berikut:
III. Memutuskan/Memerintahkan:
Kepada Letnan Djendral Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat
Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:
Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terdjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannya Pemerintahan dan djalannya Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima Panglima Angkatan lain dengan sebaik-baiknja. Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung djawabnya seperti tersebut di atas.Presiden Soekarno menuliskan namanya “Sukarno” dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 itu tetapi tidak ada tanda tangan. Selama ini publik menyimpulkan Supersemar adalah tiket ekspres bagi Soeharto untuk duduk di kursi kekuasaan tertinggi di Indonesia. Berbekal Supersemar, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia dan akibatnya orang-orang yang menjadi anggota, simpatisan PKI dan warga biasa menjadi korban Orde Baru.
Jika salinan yang terdapat dalam buku biografi M. Yusuf itu adalah versi asli Supersemar maka isinya bukan pengalihan kekuasaan tetapi terbatas pada peran Soeharto sebagai penerima perintah untuk menjamin keamanan dan kestabilan pemerintahan. Otoritas dan kewenangan tetap berada di tangan Presiden Soekarno, bukan pindah ke Soeharto.
Interpretasi Kebablasan Atas Supersemar
Peristiwa yang melatarbelakangi Supersemar adalah terjadinya Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan 6 perwira tinggi Angkatan Darat, Kapten Pierre Tendean dan Ade Irma Suryani, anak Panglima TNI Jendral AH Nasution. Pasca G30S, masyarakat membakar kampus Res Publica yang diduga berkaitan dengan PKI, kantor media Cina, markas PKI hingga demonstrasi mahasiswa yang melahirkan Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat, termasuk membubarkan PKI.
Presiden Soekarno yang tak bisa mengendalikan keadaan memutuskan Letjen Soeharto sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkokamtib) pada Desember 1965. Dengan demikian dari Desember 1965 hingga awal Maret 1966 sesungguhnya Soeharto sudah memegang kendali atas situasi keamanan dan ketertiban di Indonesia, tanpa perlu adanya surat perintah.
Dalam buku biografinya, M. Yusuf menolak untuk setuju bila dikatakan mereka bertiga (Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M.Yusuf dan Brigjen Amirmachmud) datang menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor untuk “menekan” Presiden Soekarno agar menyetujui pemberian kewenangan khusus kepada Men/Pangad Soeharto (halaman 178). M. Yusuf mengakui sikap mereka bertiga adalah “mendesak” Presiden dengan dasar dan argumentasi yang masuk akal. Setelah akhirnya Presiden Soekarno setuju dengan konsep pemberian kewenangan kepada Men/Pangad Soeharto, maka mereka langsung membuat konsep bentuk perintah atau komando tersebut yang bentuk kata-katanya masih dicari-cari yang tepat. Kata-kata “mengambil semua tindakan yang dianggap perlu” sebagai terjemahan dari “pemberian kewenangan” yang idenya memang dibawa dari Jakarta.
Dari penjelasan dalam buku biografi M. Yusuf ini jelas ada perbedaan interpretasi antara Soekarno dan ketiga jenderal tersebut. Bagi Soekarno, Soeharto hanya diberi perintah untuk mengambil semua tindakan yang dianggap perlu sehingga tidak akan membuatnya kehilangan kursi kekuasaan. Sebaliknya, bagi ketiga jenderal itu, mengambil semua tindakan yang perlu adalah terjemahan dari pemberian kewenangan (halaman 180). Bahkan M. Yusuf mengaku mereka sengaja menghindari mendiskusikan apa batas dari “kewenangan” yang diberikan kepada Soeharto itu (halaman 178). Jadi ada “kesengajaan” untuk membuka ruang interpretasi yang luas pada isi Supersemar.
Momen Penandatanganan Supersemar
Menurut Sejarah Nasional Indonesia Volume 6 halaman 413-414, saat menandatangani Supersemar, Soekarno ditemani oleh Dr. Soebandrio, Dr. J. Leimena dan Dr. Chaerul Saleh. Sesuai kesimpulan, ketiga perwira tinggi (Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M.Yusuf dan Brigjen Amirmachmud) bersama Brigjen Sabur, Komandan Resimen Cakrabirawa diminta untuk membuat konsep surat perintah kepada Soeharto. Setelah dibahas bersama akhirnya Soekarno menandatangani Supersemar.
Tetapi menurut M. Yusuf, ketiga Wakil Perdana Menteri (Waperdam) yang menyusul Soekarno usai sidang kabinet, Dr. Soebandrio, Dr. J. Leimena dan Chairul Saleh baru dipanggil Presiden setelah terjadi pembahasan isi Surat Perintah.
Setelah semua masuk, Soekarno memberi penjelasan singkat. Menurut buku M. Yusuf, pada dialog tahap kedua yang dihadiri tiga Waperdam dan tiga jenderal dibahas versi final yaitu konsep surat perintah pemberian kewenangan kepada Men/Pangad. Setelah konsep itu disetujui baru diberikan kepada Brigjen Sabur untuk diketik bersih. Sebelum Presiden menandatangani, Presiden menengok kepada mereka bertiga (ketiga jenderal) dan menanyakan, “Ini semua sudah benar?” Serentak mereka bertiga berkata, “Itulah yang terbaik.” M. Yusuf melihat jam tangannya saat Bung Karno tanda tangan Supersemar pada pukul 20.55 WIB.
Dari dua buku rujukan, tidak satupun yang menyebut adanya ancaman seperti yang muncul dalam pemberitaan Agustus 1998. Saat itu Letda Soekardjo Wilardjo membuat pengakuan bahwa Supersemar ditandatangani oleh Presiden Soekarno di bawah todongan pistol yang dilakukan Mayjen Basuki Rahmat dan Maraden Panggabean. M. Yusuf juga menegaskan tidak ada Maraden Panggabean dalam pertemuan di Bogor.
Versi Pertama Penandatanganan Supersemar
Selain rujukan versi saksi mata M.Yusuf dan buku Sejarah Nasional terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1984 yang dikutip dalam tulisan ini, masih ada rujukan paling awal dari kisah Supersemar. Buku “The Fall of Sukarno” atau “Jatuhnya Sukarno”, ditulis wartawan Tarzie Vittachi dan terbit pada tahun 1967, rentang waktunya sangat dekat dengan peristiwa G30S dan Supersemar. Pada halaman 172-173, Tarzie Vittachi menulis: Dalam kenyataannya, ketiga jenderal telah membawa sebuah ultimatum dari Jenderal Suharto. Bila Presiden telah menolaknya, akan ada “unjuk kekuatan” yang besar oleh Angkatan Darat pada hari berikutnya, dan ia akan diharuskan untuk menyerahkan diri dan beresiko pembuangan atau penghukuman. Akan tetapi, ancaman yang paling efektif adalah ia akan dihina di muka umum bila ia tidak menyetujuinya. Bagi seorang pria dengan ego seperti Sukarno, ini akan menjadi nasib yang jauh, jauh lebih buruk daripada kematian.
Yang sesungguhnya terjadi adalah ketika para jenderal mengemukakan masa-masa sangat buruk, Sukarno bertanya dengan sedih apa yang dapat dilakukan. Tanggapan Andi Yusuf (Andi Muhammad Yusuf) adalah: “Hanya Suharto yang dapat mengendalikan situasi.” Presiden bertanya: “Bagaimanakah ia dapat melakukannya?” Yusuf menjawab, “Ia dapat bila Anda memberikan padanya otoritas untuk bertindak atas nama Anda.” Surat Perintah yang telah dibuat oleh Komandan Angkatan Darat kemudian dikeluarkan dan Sukarno menyadari permainan telah dimulai. Saat ia akan menandatanganinya, Subandrio meminta untuk melihat dokumen tersebut, membacanya dan berkomentar: “Tetapi ini berarti menyerahkan semua kekuasaan kepada Suharto!” Presiden dengan ringkas: “Setuju,” dan menandatangani surat perintah eksekutif yang memberikan kekuasan kepada Jenderal Suharto untuk bertindak atas nama Presiden agar menegakkan kembali hukum dan ketertiban di Indonesia.
Menurut M. Yusuf, Angkatan Darat pada 12 Maret 1966 merancang show of force satuan-satuan ABRI sebagai dukungan psikologis pembubaran PKI. Men/Pangad Soeharto setuju dengan rencana itu dan meminta Kemal Idris dan Sarwo Edhie melakukan eksekusinya. Bisa jadi show of force ini sebetulnya yang dimaksud Tarzie Vittachi sebagai unjuk kekuatan yang akan digunakan jika Supersemar gagal.
Jatuhnya Soekarno
Dari proses munculnya Supersemar, tidak heran Tarzie Vittachi memberi judul pada bukunya “The Fall of Sukarno”. Soekarno “jatuh” setelah Supersemar dikeluarkan. Tarzie menulis pada halaman 176: Pada tanggal 13 Maret Sultan Yogyakarta dipanggil ke Istana. Sukarno bertanya padanya: “Apakah Anda berpikir bahwa Suharto melampaui otoritas yang diberikan padanya ketika ia membubarkan PKI?” “Bagaimana maksud Bapak?” tanya Sultan. “Surat Perintah yang saya berikan padanya mencakup hanya masalah-masalah teknis—memakai posisinya sebagai Komandan Angkatan Darat untuk menenangkan situasi di dalam negeri. Keputusan-keputusan politik masih hak prerogatif saya. Keputusan untuk membubarkan PKI adalah suatu keputusan politik. Saya belum menyerahkan tempat saya sebagai Presiden kepada Suharto. Ia menerima otoritas ini dari saya. Ada lebih banyak otoritas pada sumber yang dari mana ia menerima otoritasnya.”
Sultan membelokkan pendekatan ini dengan sangat halus: “Bung, apakah Anda telah memberitahukan hal ini kepada Suharto?” Itu mengakhiri pembicaraan. Pada halaman 177, Tarzie menjelaskan, Di markas besar Angkatan Darat, Suharto mengangkat bahunya dan berkomentar kepada para koleganya: “Saya tidak pandai menanggapi kritik. Saya diberikan sebuah pekerjaan untuk diselesaikan dan saya akan melakukannya. Saya diharapkan membawa ketertiban di negeri ini dan saya akan memakai semua cara, baik teknis maupun politik, untuk melaksanakan tugas tersebut.”
Soeharto mengeksekusi Supersemar dengan cepat. Lewat tengah malam tanggal 11 Maret, Soeharto membubarkan dan melarang PKI. Lalu tanggal 18 Maret terbit Kepres No 5/1966 yang menahan 15 menteri yang terlibat G30S. Logikanya setelah PKI dibubarkan, simpatisannya ditahan dan keamanan sudah terkendali maka pemegang Supersemar tidak dibutuhkan lagi. Tetapi MPRS justru mengukuhkan Supersemar sebagai Tap. No, IX/MPRS/1966 dalam sidang 20 Juni hingga 5 Juli 1966 sehingga Presiden Soekarno tidak bisa mencabutnya. Tanpa kuasa, akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Pengumuman Presiden mengenai penyerahan pemerintahan kepada Soeharto sebagai Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Cuma butuh waktu kurang dari satu tahun bagi Soeharto untuk mengambil alih posisi Soekarno hingga akhirnya berkuasa selama 32 tahun. Meski akhirnya Reformasi berhasil menumbangkan Soeharto, perpindahan Orde Lama ke Orde Baru bisa disimpulkan sebagai transisi terpaksa yang masih membutuhkan pengungkapan kebenaran, agar sejarah menjadi lorong masa lalu yang membawa terang untuk masa depan.
@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.