Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Seberapa Serius Upaya Eropa untuk Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan?

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Seberapa Serius Upaya Eropa untuk Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan?
Iklan

Belum lama ini, Konvensi Istanbul dibayangi oleh beberapa perlawanan pemerintah, termasuk dari Turki, yang pada Maret lalu mengumumkan mundur dari perjanjian yang disepakati 10 tahun lalu itu.

Meski menuai pemberontakan, sejumlah kemajuan telah dicapai.

Apa yang telah dicapai?

Baca Juga:

Selain Turki, 44 negara telah menandatangani perjanjian itu. Para ahli dan aktivis mengatakan salah satu pencapaian terbesar Konvensi Istanbul adalah banyak negara, seperti Jerman, Swedia, Denmark, Kroasia, dan Yunani, yang telah mengubah definisi hukum pemerkosaan sesuai kesepakatan.

"Pemerintah Yunani saat itu benar-benar mengakui bahwa Konvensi Istanbul adalah tempat mereka ingin menerapkan undang-undang domestik ini dan membawanya ke standar itu," kata Anna Blus, seorang peneliti di Amnesty International, kepada DW.

Sebelumnya, sebagian besar negara Eropa tidak mendefinisikan seks tanpa persetujuan sebagai pemerkosaan. Sebaliknya, banyak negara membutuhkan tindakan kekerasan, ancaman, atau intimidasi - yang berarti jaksa kerap kali harus mengurangi dakwaan pelaku ke kejahatan yang lebih ringan, yaitu pelecehan seksual dengan harapan mendapatkan hukuman.

Baca Juga:

Sejak 2018, Spanyol mengumumkan rencana untuk mengubah hukumnya agar lebih sejalan dengan definisi pemerkosaan atas dasar persetujuan. Belanda juga diharapkan melakukan hal serupa.

Reformasi hukum itu juga didorong oleh gerakan #MeToo, seiring dengan meningkatnya tuntutan perlindungan terhadap korban pelecehan seksual. "Pastinya, menurut saya jika tidak ada gerakan #MeToo, kami tidak akan ada di sini,” kata Blus, merujuk pada beberapa negara yang telah mereformasi undang-undang sejak gerakan itu dimulai.

Hillary Margolis, peneliti senior di Human Rights Watch, juga mencatat bahwa perjanjian tersebut telah membantu memberlakukan undang-undang yang mengkriminalisasi jenis-jenis pelecehan, seperti kawin paksa anak di bawah umur, mutilasi alat kelamin perempuan, dan penguntitan.

Keuntungan lainnya adalah beberapa negara meningkatkan layanan untuk menjangkau korban kekerasan dalam rumah tangga. "Finlandia misalnya, saluran bantuan 24/7 bagi korban KDRT," kata Blus.

Perjanjian 'Bintang Utara'

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perjanjian tersebut lebih menonjol dari kesepakatan lainnya, kata Margolis dari Human Rights Watch. Meski tujuannya adalah untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, para pendukung tidak pernah membayangkan bahwa perjanjian itu berhasil mencapai hajatnya dalam satu dekade.

"Konvensi itu sendiri dalam beberapa hal sangat aspiratif. Untuk mencapai semua itu akan sangat luar biasa - ini semacam Bintang Utara yang membimbing kita dan mendorong pemerintah ke depan."

Mengapa ada penolakan terhadap perjanjian itu?

Belum lama ini beberapa negara bergabung dengan Turki dalam menyuarakan perlawanannya. Polandia juga telah mengumumkan rencana untuk keluar dari konvensi tersebut, sebuah langkah yang menarik banyak kaum konservatif.

Kenapa? Dalam beberapa tahun terakhir, Konvensi Istanbul telah dibayangi informasi salah yang dipolitisasi, seperti promosi pernikahan gay atau membela hak-hak LGBT + lainnya. Terlepas dari itu, perjanjian tersebut hanya membahas upaya mengakhiri kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan.

"Informasi bahwa perjanjian ini, misalnya, mempromosikan pernikahan homoseksual, itu tidaklah benar," kata Daniel Höltgen, Juru Bicara Sekretaris Jenderal Dewan Eropa, kepada DW.

Aktivis seperti Blus dan Margolis berharap lebih banyak negara akan bergabung dalam perjanjian tersebut. "Konvensi itu tentang menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Itu tujuan satu-satunya. Tidak ada ideologi di belakangnya, tidak ada agama di belakangnya, tidak ada pandangan politik di belakangnya," kata Margolis.

"Ini murni untuk meningkatkan perlindungan bagi semua wanita dan anak perempuan." (ha/vlz)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada