Sukarno adalah sosok yang berpikiran jauh ke depan. Di usia Indonesia yang masih hijau, ia rajin menghimbau rakyatnya untuk tanggap akan perkembangan sains dan teknologi dunia, khususnya luar angkasa. Ia ingin orang-orang Indonesia tidak berpuas diri dengan sandang, papan dan pangan secukupnya.
Baginya, luar angkasa dan segala misterinya adalah bahtera pengetahuan yang harus orang-orang Indonesia ikut jelajahi pula. Di masanya, isu luar angkasa adalah wacana kompetisi (Space Race), dan Sukarno ingin orang-orang Indonesia tergugah untuk menebalkan mental revolusionernya.
Ketika berpidato di Bandung pada 25 Januari 1960 pada pembukaan Musyawarah Nasional untuk Perdamaian, Sukarno menyebutkan lima tahapan revolusi dunia, yakni revolusi agama, komersial, industri, atom, dan terakhir, revolusi luar angkasa, yang tengah terjadi saat itu. Bahkan dalam pidatonya tentang Maulid Nabi di Demak, Sukarno masih sempat-sempatnya menyinggung Amerika yang dikatakannya berencana menguasai Bulan untuk mengancam Uni Soviet dan mengendalikan dunia. Rencana yang secara tak langsung adalah ancaman, dan tantangan, bagi kedaulatan Indonesia.
Kini, memang masalah-masalah keantariksaan tidak selalu diberitakan dalam konteks konflik atau militer semata seperti di masa lalu. Ia telah menjadi bagian dari sektor bisnis publik dengan kemunculan perusahaan-perusahaan semacam SpaceX dan Blue Origin, yang tidak hanya memproduksi mesin-mesin antariksa namun juga berambisi untuk mengirim manusia ke luar angkasa, bahkan bulan, secepatnya menyaingi lembaga-lembaga antariksa resmi pemerintah. Space Race jilid II kini tengah berlangsung, dan tentu Indonesia harus terlibat di dalamnya mengingat besarnya kegunaan sains dan teknologi antariksa bagi kepentingan negara.
Karena itu, rasanya penting untuk menemukan dan mempelajari kembali akar semangat keantariksaaan Indonesia di masa lalu. Dan dalam hal ini, Sukarno kembali menjadi tokoh utamanya.
Keantariksaan Untuk Persatuan
Konfrontasi Indonesia-Malaysia tahun 1960-an adalah konflik internasional yang menggelisahkan, tidak hanya bagi kedua negara, namun juga bagi negara-negara lain jika terjadi terlampau berlarut-larut. Karenanya, suatu hari, Sukarno memanggil duta besar Australia untuk Indonesia, Keith Shann, bersantap pagi di istana sembari menawarkan Australia menjadi juru damai dalam konflik tersebut. Sang duta besar yang terkejut mendengarnya tiba-tiba dikejutkan kembali oleh pertanyaan penutup Sukarno yang tidak nyambung, namun pasti terpikirkan oleh semua laki-laki flamboyan yang peka terhadap sains dan teknologi di zamannya:
"Tuan Duta Besar, apakah terpikir oleh Anda masalah-masalah terkait melakukan hubungan seksual di kapsul luar angkasa dalam keadaan tanpa bobot?”, ujar Sukarno, seperti ditulis oleh Shann sendiri dalam koran The Canberra Times, 6 November 1983.
Shann mengaku tidak tahu, yang dibalas Sukarno dengan memberitahukan hasil pemikirannya untuk memecahkan masalah tersebut, yang menurut Shann "agak tak pantas untuk ditulis di koran”. Shann pun melaporkan percakapan tersebut kepada Perdana Menteri Robert Menzies, yang dibalas atasannya tersebut dengan candaan; jika Shann berhenti melaporkan kejenakaan Sukarno, ia akan dipecat.
Kita harus ingat bahwa saat itu dunia sedang dilanda euforia penjelajahan luar angkasa. Amerika Serikat dan Uni Soviet silih berganti melaporkan kesuksesan astronot-astronot dan kosmonot-kosmonot mereka kepada dunia.Tentu saja hal-hal seperti ini sampai di telinga Sukarno. Serba-serbi aktivitas manusia di luar angkasa menjadi gosip dan perbincangan orang-orang awam maupun politik, namun bahkan sampai sekarang belum ada laporan resmi mengenai aktivitas seks di luar angkasa, sehingga membuat kita semakin penasaran dengan solusi macam apa yang dipikirkan Sukarno tersebut.
Isu luar angkasa memang menjadi modal bergaul Sukarno dalam arena politik internasional. Ia mendekati Presiden Amerika, John F. Kennedy, dengan mengirimkan telegram ucapan selamat kepada rakyat Amerika atas kesuksesan astronotnya, John Glenn, yang berhasil mengorbit Bumi pada 1962, menyusul pencapaian serupa dari dua kosmonot Soviet, Yuri Gagarin dan Gherman Titov setahun sebelumnya. Selain itu, dalam kunjungannya ke Moskow pada 1962, Sukarno menunjukkan antusiasmenya terhadap kemajuan teknologi luar angkasa Soviet, dan bahkan memberikan penghargaan kepada Yuri Gagarin.
Selanjutnya, pada medio 1962-1963, Sukarno bahkan berhasil mengundang empat kosmonot Soviet, yakni Gherman Titov, Adrian Nikolayev, Valentina Tereshkova, dan Valeriy Bikovskiy datang ke Indonesia. Kehadiran mereka di Jakarta, Bogor, Bandung, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Solo, Madiun dan Bali selalu disambut meriah oleh masyarakat setempat. Penerjemah yang mendampingi kosmonot-kosmonot tersebut, Alexey Drugov, mengatakan bahwa resepsi penyambutan yang diadakan Sukarno di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, saat itu begitu spektakuler.
Hal ini jugalah yang menginspirasi mahasiswa-mahasiswa Indonesia, khususnya di Institut Teknologi Bandung dan Universitas Gadjah Mada untuk menekuni luar angkasa. Mahasiswa-mahasiswa teknik ITB dan UGM melakukan eksperimen-eksperimen peluncuran roket. Mereka kemudian dilibatkan dalam serangkaian proyek-proyek roket pemerintah beberapa tahun kemudian seperti Proyek Prima (1964) dan Proyek S (1965). Tidak lupa pula didirikan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) sejak 1963 untuk memusatkan aspirasi dan wacana keantariksaan Indonesia saat itu.
Sukarno memang serius ingin menempatkan Indonesia dalam peta penjelajahan luar angkasa. Misalnya, sebagaimana dilaporkan Antara pada 3 Desember 1965, yang tercatat dalam Daily Report, Foreign Radio Broadcasts, edisi 231-235 terbitan Central Intelligence Agency (CIA), Sukarno menginstruksikan jajarannya untuk mempersiapkan misi astronot Indonesia pada 1968.
Rencananya, pada 1966 Indonesia berharap untuk mengirim dahulu dua orang utan ke luar angkasa sebagai eksperimen. Entah darimana pendanaannya, kemungkinan besar Sukarno akan mengandalkan manuver politiknya untuk meminang bantuan teknis dari Amerika atau Soviet mengingat perekonomian Indonesia saat itu tengah buruk.
Sayangnya, aspirasi-aspirasi Sukarno menguap begitu saja setelah Peristiwa 1965, dan di masa-masa setelahnya perkembangan keantariksaan Indonesia cenderung stagnan dibandingkan dengan periode 1960-an. Meskipun ada perkembangan di sana-sini, seperti peluncuran serangkaian satelit Palapa pada 1976.
Keantariksaan Indonesia Kini
Kabar baiknya, kini Indonesia sudah memiliki payung hukum keantariksaan, yakni Undang-undang No. 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan. Harapannya, pijakan Indonesia ke depannya dalam hal pembangunan keantariksaan akan lebih berdaya guna. Bahkan, ada sebutan bahwa Indonesia kini tengah memasuki era baru keantariksaannya, ditandai dengan dibangunnya Observatorium Nasional Timau di Nusa Tenggara Timur, yang digadang-gadang sebagai yang terbesar di Asia Tenggara.
Pembangunan stasiun antariksa LAPAN yang baru sebagai tempat peluncuran satelit-satelit Indonesia ke depan, rencananya antara di Biak, Papua, atau di Morotai, Maluku Utara, juga tengah direncanakan.
Tanggal pengesahan undang-undang tersebut, yakni 6 Agustus, kini juga ditetapkan LAPAN sebagai Hari Keantariksaan Nasional, dengan kampanye ‘Malam Langit Gelap', yakni mematikan lampu selama satu jam di malam hari, sebagai implementasinya.
Tujuannya, agar kita dapat menyaksikan keindahan langit malam yang selama ini tertutup oleh polusi cahaya. Tataplah bintang-bintang, mungkin pada akhirnya kita akan diselimuti sensasi yang sama, yang dahulu membuat Sukarno begitu antusias mengajak Indonesia mengenal luar angkasa dan menebalkan rasa bangga dan syukur kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Penulis @RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.