Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Militer Sudan Kudeta Pemerintahan Transisi

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Militer Sudan Kudeta Pemerintahan Transisi
Iklan

Eskalasi konflik antara sipil dan militer di Sudan memuncak pada Senin (25/10), ketika sekelompok serdadu menahan Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan setidaknya lima anggota kabinet, serta menduduki stasiun televisi dan radio nasional.

Beberapa saat kemudian, kantor perdana menteri menerbitkan keterangan pers yang menuduh militer sengaja mengobarkan kerusuhan di timur Sudan, sebagai alasan untuk menjatuhkan pemerintahan sipil.

Baca Juga:

"Sekelompok orang bersenjata menahan beberapa politisi dan pemimpin pemerintahan di rumahnya masing-masing,” kata seorang sumber di pemerintah Sudan kepada AFP.

Saat ini sambungan internet terputus di seluruh penjuru negeri. Serdadu terlihat menutup sejumlah ruas jalan di ibu kota Khartoum, lapor kantor berita Prancis tersebut.

Asosiasi Profesional Sudan yang giat menggalang revolusi pada 2019 silam, mengatakan penangkapan pejabat sipil oleh militer merupakan sebuah "kudeta” dan mendesak warga melakukan "pembangkangan sipil” terhadap pemerintahan junta.

Baca Juga:

Suasana sudah bergolak sejak beberapa pekan terakhir di Khartoum. Demonstran pro-militer dan pro-demokrasi saling adu kuat di jalan-jalan kota. Minggu (24/10), warga memblokir pelabuhan untuk menuntut intervensi militer demi menyudahi lingkaran korupsi dan kemiskinan. Tuntutan mereka dijawab oleh kelompok lain yang mengkhawatirkan kudeta.

Perkembangan di Khartoum terjadi hanya dua hari setelah faksi-faksi politik mewanti-wanti terhadap "kudeta” yang sedang "merangkak” di Sudan. Jumpa pers itu sendiri sempat nyaris dihadang sekelompok demonstran pro-militer.

Kudeta lewat bantuan sipil

Transformasi politik sejak kejatuhan bekas Presiden Omar al-Bashirdi Sudan sering diwarnai perpecahan. Pejabat sipil dan militer yang membentuk pemerintahan transisi kerap saling bersitegang. Padahal, mereka sedianya bertugas mengantar Sudan menuju pemerintahan sipil di bawah sistem demokrasi.

Keseimbangan antara dua kekuatan politik mulai bergeser ketika kelompok sipil terbesar, Kekuatan untuk Kemerdekaan dan Perubahan (FFC), terbelah menjadi dua faksi yang saling bermusuhan.

"Krisis ini adalah buatan sendiri,” kata Ketua Umum FCC, Yasser Arman, Sabtu (23/10). "Dan ia menjelma menjadi kudeta yang merangkak pelan-pelan.” Pada Senin, Arman dikabarkan ikut diciduk aparat berseragam militer.

Konflik yang awalnya hanya membias, berubah menjadi perpecahan setelah kudeta yang gagal pada 21 September silam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Buntutnya pekan lalu, puluhan ribu pendukung pro-demokrasi melakukan mars di Khartoum menuntut transfer kekuasaan kepada sipil. Demonstrasi itu merupakan tandingan terhadap aksi blokade yang dilakukan kelompok pro-militer terhadap Istana Kepresidenan, dan menutut kembalinya "kekuasaan militer” di Sudan.

Hamdok sebelumnya pernah menggambarkan perpecahan di tubuh pemerintahan transisi sebagai "krisis yang paling parah dan berbahaya” yang dihadapi Sudan pasca al-Bashir.

AS ancam tarik bantuan

Sabtu kemarin, Utusan Khusus AS untuk Tanduk Afrika, Jeffrey Feltman, sebenarnya berhasil memediasi Hamdok dengan Jendral Abdel Fattah al-Burhan dan komandan pasukan khusus, Mohamed Hamdan Daglo.

Sesuai pertemuan, Kedutaan Besar AS di Khartoum menulis betapa "Feltman menegaskan dukungan AS bagi transisi demokratis menuju kekuasaan sipil, sesuai dengan keinginan warga Sudan.

Penangkapan paksa terhadap pemimpin sipil di Sudan dianggap "tidak bisa diterima” oleh Utusan Khusus PBB untuk Sudan. Menurutnya aksi tersebut "ilegal” dan menuntut "aparat keamanan membebaskan” para sandera.

"Saya sangat khawatir terhadap terjadinya aksi kudeta dan upaya menghentikan transisi politik di Sudan. Penangkapan terhadap perdana menteri, pejabat pemerintahan dan politisi tidak bisa diterima,” kata Bolker Perthes.

Hal serupa diungkapan Jeffrey Feltman. "Seperti yang sudah saya katakan berulang-ulang, setiap perubahan paksa terhadap pemerintahan transisi akan mengancam bantuan AS,” kata dia.

Pada Senin, Kementerian Informasi di Khartoum mengajak warga agar turun ke jalan untuk menentang aksi militer. "Kami mengundang semua orang untuk terus berjalan sampai upaya kudeta ini diatasi.”

rzn/as (afp,ap)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada