Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Aplikasi Kencan Online Kian Populer Saat Pandemi, Waspada Jebakan Cinta Palsu

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Aplikasi Kencan Online Kian Populer Saat Pandemi, Waspada Jebakan Cinta Palsu
Iklan

Fenomena film dokumenter berjudul The Tinder Swindler yang belakangan tayang di sebuah layanan streaming telah membuka mata banyak orang. Film dokumenter itu bercerita tentang perempuan yang bertemu dengan pria 'terlihat kaya, sempurna dan peduli' tapi berujung penipuan besar-besaran.

Tak dipungkiri, sederet aplikasi kencan daring seperti Tinder, OK Cupid, atau Bumble memang menawarkan ide mencari pasangan dengan cara yang lebih praktis. Hanya saja, di mana pun selalu ada risiko love scamming atau modus penipuan dengan memanfaatkan orang yang tengah mencari pasangan di aplikasi kencan daring.

Baca Juga:

Sekar Afrisia, 34, seorang karyawan swasta di Jakarta, juga pernah mengalaminya.

Di 2016 lalu, jari-jemari Sekar lincah menari di sebuah aplikasi kencan yang ada di ponselnya. Matanya sibuk menyisir satu per satu pria yang menarik perhatian. Dia berhenti saat melihat foto pria bernama James dari Prancis. "Match!" Keduanya langsung bercengkerama lewat pesan chat.

James mengaku sebagai pria rantau yang baru dicampakkan mantan kekasihnya yang tinggal di Jakarta. Sekar juga baru putus dengan mantan kekasihnya, orang Prancis. Mereka lantas merasa senasib.

Baca Juga:

Sekar dan James akhirnya merencanakan kopi darat di sebuah tempat makan di Thamrin, Jakarta Pusat. Mengaku tak paham Jakarta karena belum lama tiba di kota itu, James meminta Sekar untuk menjemputnya dari sebuah kos di Rawamangun ke tempat pertemuan.

"Dia bilang kalau dia luntang-lantung di Jakarta, tidak ada uang. Kalau ketemuan pun dia selalu minta antar-jemput dan enggak pernah bayar makanannya, aku yang bayar," kata Sekar kepada DW Indonesia.

Kisah klasik curhat soal uang

Sekar saat itu tak curiga lantaran James mengungkapkan dirinya sebagai pria yang 'mendedikasikan' hidup untuk berlibur keliling dunia sehingga tak lagi bekerja. Tapi beberapa minggu usai kenalan, James mulai makin gencar bercerita soal masalah keuangan. Hal ini membuat Sekar merasa iba meski mereka hanya berteman.

"Dia minta transfer uang untuk keperluan hidupnya dia. Aku transfer Rp6,5 juta. Dia janji mau ganti. Pinjaman kedua, karena urusan visanya yang sudah mau habis, minta transfer Rp5 juta," katanya.

"Karena VOA (Visa on Arrival) sudah habis, dia harus keluar Indonesia baru bisa masuk lagi. Dia ke Malaysia. Lalu kontak aku dan minta tolong buat booking tiket pesawat Malaysia ke Indonesia, ditambah pinjam uang untuk biaya hidup di Malaysia juga." Padahal merujuk laman resmi Kementerian Luar Negeri, visa semacam ini bisa diperpanjang satu kali selama 30 hari tanpa harus keluar dari Indonesia.

Sekar tak mau ambil pusing, dia hanya ingin uangnya kembali saat pria itu kembali ke Jakarta. Sampai Jakarta, James menghilang. Sekar kelimpungan. Kejadian ini berlangsung tahun 2016, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun Sekar menanti uangnya kembali. Hampir mengikhlaskan uangnya, muka James muncul lewat mutual friends Facebook.

Tapi dia sudah punya nama baru, juga pacar baru.

Dengan bantuan seorang teman, Sekar pun menghubungi kekasih 'James' dan menceritakan kisahnya pada si kekasih baru. Tentu, kekasih baru James tak percaya. James juga berkelit. Namun kedoknya terbongkar setelah ia pergi dan membawa beberapa barang berharga milik kekasih barunya itu.

Jebakan di ujung jari

Ibarat sudah jatuh dan tertimpa tangga, para korban penipuan aplikasi kencan juga menghadapi masalah lain: perundungan di media sosial. Para korban dianggap bodoh, terlalu polos, naif, dan perempuan pengincar harta semata. Menyadari risiko ini, Sekar pun hanya bercerita kepada beberapa teman dekat tentang penipuan yang ia alami.

Psikolog anak dan keluarga Mira Amir mengungkapkan bahwa para korban yang tertipu di kencan daring pada umumnya bukanlah karena mereka bodoh, polos, atau pengincar harta. Sebaliknya, ada alasan psikologis yang lebih dalam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Banyak orang yang butuh diperhatikan, kalau bisa menemukan orang yang bisa memvalidasi perasaan mereka dan emosinya, dia merasa diterima dan dihargai. Ini yang dimanfaatkan oleh penipu-penipu itu," ungkap Mira kepada DW Indonesia.

"Hal basic yang dibutuhkan itu kenyataannya susah didapatkan banyak orang, termasuk dari keluarga sendiri. Sementara penipu ini yang bisa menyimak, memvalidasi emosi, lama-lama korban merasa nyaman."

Sifat sering tidak enakan, tidak tegaan, gampang kasihan, kurang kritis, permisif, dan tidak bisa tegas, juga jadi alasan banyak orang tertipu, ujar Mira

Menambahkan Mira, psikolog forensik klinis Kasandra Putranto mengungkapkan biasanya orang mudah tertipu karena banyaknya pengguna aplikasi kencan daring yang melakukan catfishing yakni jenis penipuan pada jejaring sosial menggunakan identitas palsu untuk menipu korban. Catfishing sering digunakan untuk penipuan yang bernuansa romantis pada situs kencan daring.

Aplikasi kencan daring naik daun selama pandemi

Psikolog Kasandra Putranto mengungkapkan bahwa pandemi memang membuat banyak orang beralih ke kencan daring.

"Pandemi yang berlangsung selama 2 tahun terakhir sangat membatasi kesempatan milenial untuk berinteraksi dan bersosialisasi. Banyak kegiatan yang dulu lazim dilakukan menjadi tidak dapat dilakukan, sementara kebutuhan berinteraksi dan bersosialisasi tetap tinggi, maka pencarian teman online menjadi pilihan," katanya.

Masa pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung dua tahun membuat aktivitas di aplikasi kencan daring kian meningkat. Lembaga riset internasional Statista Research menyebut Tinder sebagai aplikasi kencan paling populer sedunia pada tahun 2021, disusul Badoo dan Bumble.

Sementara laporan Future of Dating dari Tinder menyebutkan bahwa hari Minggu pertama setelah tahun baru dan saat perayaan Valentine adalah beberapa waktu paling sibuk di Tinder untuk swiping atau memilih pasangan kencan di aplikasi. Berkenalan dengan seseorang pada awal tahun memang masih menjadi salah satu resolusi populer pada tahun baru.

Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa 2020 adalah tahun tersibuk dalam sejarah aplikasi ini. Pada 29 Maret 2020, swipe Tinder mencapai 3 miliar per hari atau 130 kali lipat lebih banyak dari jumlah setahun terakhir.

Namun Kasandra dan Mira mengakui pengguna aplikasi kencan daring, secara umum, kini tidak lagi sekadar untuk cari jodoh. Pengguna aplikasi kencan daring punya tujuan yang berbeda-beda, ada yang sebatas mencari teman berbicara, ataupun benar-benar ingin menemukan jodoh, atau untuk tujuan lain, termasuk melakukan penipuan.

Tetap aman saat cari jodoh

Mengutip Tinder di laman web mereka, aplikasi kencan memang mempermudah seseorang untuk bisa saling terhubung. Namun sebagaimana sifat internet, ini juga menciptakan peluang bagi para penipu. Pada tahun 2020 di Amerika Serikat saja, penipuan berkedok romansa berhasil menggondol uang sebesar 300 juta dolar AS atau kurang lebih senilai Rp4,3 triliun.

Ada beberapa ciri calon penipuan yang bisa diamati, misalnya buru-buru meminta calon korban untuk pindah ke platform chat, menghindari ajakan kopi darat dengan berbagai alasan di detik-detik akhir, gencar bertanya informasi pribadi, membesar-besarkan masalah keuangannya, atau bahkan tampil terlalu sempurna.

Para pengguna memang dituntut untuk waspada terhadap penipuan semacam ini. Pengguna harus menjaga kerahasiaan data pribadi seperti alamat rumah pribadi atau akun bank. Jika sampai dimintai uang, tidak ada salahnya untuk langsung tekan tombol laporkan atau blokir. Cara ini juga akan membantu pengguna lainnya untuk berhati-hati pada orang tertentu di aplikasi kencan daring. (ae)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada