Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Jadi Atlet Anggar di Jerman, Buka Wawasan daripada Sekadar Kuliah

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Jadi Atlet Anggar di Jerman, Buka Wawasan daripada Sekadar Kuliah
Iklan

Ariani Syafitri Rahadian lahir di Padang, Sumatera Barat. Sejak kecil sudah ingin tahu, bagaimana rasanya jika tinggal di negara lain, bertemu dengan orang-orang yang berbeda, dan berada di lingkungan yang berbeda.

Ketika di SMA, Ariani, yang panggilan akrabnya Arin, membaca informasi, bahwa untuk berkuliah di Jerman tidak dipungut bayaran. Selain itu, ketika dia masih SMA jurusan bioteknologi molekuler belum banyak ditawarkan di Indonesia. Akhirnya dia menyampaikan keinginannya kepada orang tua. “Awalnya ga boleh,“ kata Arin sambil tertawa.

Baca Juga:

Namun, pada akhirnya orang tuanya setuju, sehingga tahun 2012 dia bertolak ke Jerman. Awalnya belajar bahasa Jerman, kemudian pendidikan di Studienkolleg selama setahun, di mana dia belajar serangkaian kursus persiapan untuk berkuliah di universitas Jerman. Kemudian dia mulai berkuliah di Universitas Heidelberg.

Ketika diwawancara, Arin sedang beristirahat dari pekerjaannya di laboratorium Institut Zentrum für Molekulare Biologie der Universität Heidelberg (ZMBH) tempat dia melaksanakan studinya di bidang bioteknologi molekuler untuk mendapat gelar master. Sekarang, Arin sedang menulis tesis. Gelar S1 juga dia peroleh di Jerman, juga di Universitas Heidelberg dan dalam bidang yang sama.

Dia bercerita, dulu datang ke Jerman memang untuk berkuliah. Sejak SMA dia memang sudah punya keinginan untuk menjadi ilmuwan. Sekarang, setelah bermukim beberapa tahun di Jerman, keinginan itu juga belum berubah. “Soalnya masih penasaran sih,“ kata Arin tentang rasa ingin tahunnya di bidang yang sedang ia geluti sekarang.

Baca Juga:

“Kalau biologi kan luas, tapi kalau bioteknologi molekuler, yang diteliti lebih kecil lagi daripada sel,“ papar Arin. Dia mengambil contoh tes PCR untuk COVID-19. Teknologi yang digunakan untuk tes tersebut adalah teknologi molekuler.

Jadi dia berencana untuk melanjutkan ke S3, tetapi jika peluang itu tidak langsung diperoleh, dia akan mencoba mencari pekerjaan pula. Dia mengungkap, jika mendapat pekerjaan di bidang industri, dengan gelar master orang juga bisa mendapat pekerjaan. Misalnya di perusahaan farmasi atau perusahaan diagnostik.

“Tetapi untuk bekerja di Jerman, memang butuh sampai S3, sih,“ begitu dijelaskan Arin. Dia menambahkan, kalau punya gelar S3 dan ingin bekerja di bidang akademis, orang nantinya akan mengajar. Namun, jika ingin beralih ke industri, orang misalnya bisa menjadi kepala proyek. “Bisa ke mana-mana sih sebenarnya.“

Arin bercerita, untuk tesisnya, dia sedang melaksanakan riset untuk menjawab pertanyaan mendasar. “Jadi bagaimana sih sel itu membelah? Apa komponen-komponennya? Kemudian bagaimana strukturnya?“ Itu semua dilihat juga dengan mikroskop elektron. Kemudian dilihat bagaimana strukturnya di berbagai organisme, antara lain juga pada manusia. “Dan dibandingkan, apa yang menyebabkan berbeda, dan mengapa berbeda? Juga apa persamaannya? Dari fungsinya atau strukturnya?“

Mendapat pekerjaan di tengah pandemi

Arin bercerita ketika pandemi COVID-19 baru merebak, dia kebetulan baru mulai mencari pekerjaan sampingan untuk mendukung studinya dari segi finansial. “Susah kan waktu itu, karena semuanya pada tutup.“ Arin mengatakan, dulu dia pernah bekerja di cafe milik kampusnya, tetapi akibat pandemi, cafe itu terpaksa tutup, sehingga dia harus mencari pekerjaan lain.

Kebetulan dia bisa mendapat pekerjaan untuk mengerjakan diagnostik sampel-sampel PCR. Dia bercerita, dulu memang banyak sampel yang datang, tapi sekarang sudah lebih santai. Karena dia bekerja part time, saat masa kuliah dia hanya bekerja 20 jam seminggu.

Saat ibur, dia boleh bekerja penuh 40 jam seminggu, misalnya di tahun 2020. Selain mendapat pekerjaan di bidang yang tepat dengan kuliahnya, Arin melihat keuntungan lain dalam bekerja mengecek sampel corona. Yaitu dia bisa melihat bagaimana berfungsinya industri diagnostik.

Arin mengungkapkan jika bekerja di laboratorium, pekerjaan cenderung manual, karena sampel untuk diteliti tidak banyak. Sedangkan sampel COVID-19 jumlahnya bisa sangat banyak. “Kalau lagi rame, sampel yang datang bisa 10.000 per hari,“ tutur Arin.

Dia dulu berpikir, semua sampel harus diperiksa dengan cara manual. Namun, ternyata tidak. Pemeriksaan juga menggunakan sejenis robot, kata Arin, dan itu mempermudah pekerjaan manusia. Jadi itu juga kesempatan bagi dia untuk melihat bagaimana teknologi berfungsi dalam industri diagnostik.

Ia menjelaskan, kadang ada orang yang menelpon tempat kerjanya dan membutuhkan jawaban dari tes PCR apakah dia tertular COVID-19 atau tidak. Jadi pada saat itu Arin juga belajar untuk menangani stres, dan jadi lebih mengenal dirinya sendiri. Ditambah lagi, dia mendapat pengalaman cara berbicara yang tepat dengan klien yang sedang menunggu jawaban tes PCR.

Orang biasa tidak boleh menelpon dan menanyakan hasil pemeriksaan, kata Arin. Biasanya customer yang dilayani adalah rumah sakit. Hasil pemeriksaan akan disampaikan dokter spesialis laboratorium ke pihak yang bertanya, misalnya layanan pelanggan, setelah dikonfirmasi terlebih dahulu oleh dokternya. Tapi kadang ada situasi darurat, misalnya di akhir pekan atau di malam hari, di mana hasil pemeriksaan diberitahukan kepada pihak yang bertanya, tanpa melalui prosedur yang normal.

Mulai menggeluti olahraga anggar

Sejak masih di Indonesia, Arin sudah penasaran dengan olahraga anggar, antara lain karena tidak populer di Indonesia. Selain itu, dia merasa baju dan perangkat yang digunakan menarik. “Nah di kampus kebetulan ada, termasuk dalam ‘Unisport‘ [ekstra kurikuler olahraga yang ditawarkan di universitas]“ kata Arin.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jadi dia mulai mencoba-coba, dan ternyata seru, kata Arin. Dia sempat pula jadi sukarelawan dalam kejuaraan dunia anggar, dan ikut mengurus di bagian tiket. Saat itulah dia bertemu dengan atlet dari Indonesia. Tepatnya ketika dia diminta untuk membantu karena atlet Indonesia itu tidak bisa berbicara bahasa Inggris.

Atlet itulah yang mendorong Arin untuk melanjutkan dan memperdalam olahraga anggar. Setelah kembali ke Heidelberg, dia mencari klub anggar di kota itu, dan dengan serius memperdalam olahraga anggar. Selain karena memang didorong niat yang lebih besar, ketika itu Arin juga hampir menyelesaikan kuliah di tahap S1.

Di sisi lain, Arin khawatir interaksi dengan teman-teman Jerman akan semakin berkurang dan bahasa Jerman semakin tidak digunakan, karena skripsi yang dia tulis menggunakan bahasa Inggris, demikian pula pekerjaan di laboratorium. Di samping itu, dia ingin melakukan sesuatu untuk pengembangan diri. Lewat olahraga anggar, Arin juga mendapat kenalan baru, mencoba hal baru yang sebelumnya sama sekali tidak terpikir untuk dicoba.

Dia bercerita, ketika di SMA dia sudah mulai giat berolahraga. Ketika itu yang digelutinya adalah cabang olahraga bulu tangkis. “Tadinya mengantar adik. Tapi akhirnya dia males, eh, saya yang nyangkut,“ tutur Arin sambil tertawa. Namun di Jerman, bulu tangkis bukan olahraga yang populer. Jadi dia merasa ikut bermain bulu tangkis hanya seperti “main-main doang.“ Tidak ada perkembangannya.

Kebetulan, klub anggar Heidelberg termasuk bagus. Mereka memiliki beberapa pelatih yang bagus pula. “Jadi saya merasa ada perkembangannya. Masih ada sesuatu yang bisa dipelajari,“ begitu dijelaskan Arin.

Arin yang kidal bercerita, jika menghadapi lawan yang menggunakan tangan kanan tidak sulit, karena sudah terbiasa. Tetapi saat latihan, lawan kadang merasa bingung menghadapi Arin, karena gerakannya berbeda. Jika dia harus menghadapi lawan yang kidal dia juga kadang bingung, karena pemain anggar kidal memang jarang.

Arin mengingat dulu waktu kecil kerap diejek teman sekolah, bahkan dimarahi guru karena kidal. Namun, orang tuanya tidak pernah mempermasalahkan bahwa dia kidal. Ketika mulai bermain bulu tangkis, bahkan pelatihnya merasa senang bisa melatih pemain yang kidal. “Beliau yang bikin saya sadar, kalau jadi kidal itu bukan kekurangan, tapi bisa dipakai jadi kelebihan.“ Jadi sekarang Arin tidak merasa sedih karena berbeda dengan orang lain, malah merasa makin bersyukur.

Dia menceritakan juga, sekarang dia sering ikut kejuaraan anggar. Misalnya yang diselenggarakan akhir pekan 23-24 April lalu di kota Leipzig, Jerman. Arin menjelaskan, dulu dia ikut kejuaraan antar universitas, tapi setelah mendapat dorongan dari rekan-rekan dan pelatihnya, dia memberanikan diri ikut kejuaraan atlet anggar.

Dia misalnya pernah ikut kejuaraan di Korea Selatan dan bahkan sempat ikut kejuaraan pra Pekan Olahraga Nasional (PON). “Jadinya ke mana-mana, juga kenal banyak orang,“ tutur Arin. Dia bercerita, atlet-atlet lain juga mendorong dia untuk mencoba ikut berbagai turnamen internasional, dan berusaha untuk mendapat lisensi. Karena untuk bisa ikut turnamen anggar di Jerman, misalnya, butuh lisensi untuk Jerman. Sedangkan untuk bisa ikut turnamen internasional, butuh lisensi khusus pula.

Menanggapi tantangan hidup di Jerman

Dari segi bahasa, Arin tidak menghadapi tantangan besar. Dia bercerita, kuliah untuk mendapat gelar S1 sepenuhnya dalam bahasa Jerman. Sekarang, di jenjang S2, ada mata kuliah yang menggunakan bahasa Inggris. Namun, bahasa Jerman tetap dominan.

Setelah tinggal 10 tahun di Jerman, Arin tidak merasa menemukan kesulitan besar untuk berasimilasi dalam masyarakat Jerman. Tetapi, ke kota manapun dia pergi, dia selalu berusaha mencari orang Indonesia. Karena biar bagaimanapun, dia merasa dengan orang Indonesia dia lebih bisa berkomunikasi dan saling mengerti, antara lain juga karena faktor bahasa.

Dalam hal kuliah, saat ini tantangan yang dihadapi Arin adalah masalah riset untuk tesisnya. Yaitu misalnya, eksperimen gagal atau tidak sesuai perkiraan. “Jadi harus mikir lagi, kan. Kenapa nih, apa yang terjadi, apa yang harus dilakukan?“ Tapi, menurut Arin, oleh karena itu dia jadi belajar. Jika menghadapi kesulitan sama berikutnya, dia tahu apa yang harus dikerjakan.

Ketika harus melamar untuk magang Arin merasa khawatir, karena merasa belum mengerjakan apa-apa, dan belum bisa apa-apa. Tetapi karena memang harus magang jika ingin menyelesaikan kuliah S1, dia tetap berusaha. Tapi dia mengaku tidak tahu harus menulis apa saat akan melamar. “Soalnya kita kan ga pernah diajarin untuk mengatakan, ‘aku tuh bisa ini dan ini.‘ Kita lebih sering diajarkan untuk lebih merendah, gitu.“ Padahal sesungguhnya, jika bisa mengatakan apa saja kemampuan kita, itu juga membantu saat mencari tempat magang.

Dia bercerita, orang Jerman terbuka, jika dia mengatakan dia belum mengerti sesuatu. Sedangkan di Indonesia, menurut Arin, orang kadang mengatakan sudah mengerti, padahal belum, sehingga akhirnya tidak berani bertanya. “Kita sepertinya tidak terbiasa untuk mengatakan, ‘saya tidak mengerti atau saya tidak tahu‘. Kayaknya takut sekali bilang begitu.“ Di Jerman, jika orang tidak mengatakan belum mengerti, maka dianggap sudah mengerti. Jika mengatakan belum mengerti, mereka bersedia mengajarkan lagi, dan senang jika kita akhirnya mengerti.

Saran Arin untuk mereka yang ingin berkulitah di Jerman: harus berani mencoba. Kalau berani mencoba, pasti ada saja jalannya. (ml)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada