Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Polemik Cuti Menstruasi: Berkah atau Kutukan?

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Polemik Cuti Menstruasi: Berkah atau Kutukan?
Iklan

"Saya ingat sedang mengajar di kelas, ketika saya merasakan sakit yang sangat besar sampai-sampai saya menangis. Dan saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Tentu saja, saya saat itu pergi keluar," tutur Judy Birch, mengisahkan episode menstruasi akut yang dia alami setiap bulan.

Birch kini mengelola lembaga bantuan perempuan pengidap dismenore alias menstruasi akut di Inggris. Kondisi ini terdokumentasi memicu pendarahaan, kejang otot, rasa lelah, mual dan bahkan diare.

Baca Juga:

Menurut sebuah riset di Amerika Serikat, hingga 91 persen perempuan di usia subur mengalami dismenore. Adapun perempuan, yang mengaku mengalami rasa sakit luar biasa akibat menstruasi, berjumlah sekitar 29 persen.

Sementara bagi 20 persen perempuan, rasa sakit akibat dismenore bahkan menghalangi aktivitas sehari-hari, lapor American Academy of Family Physicians.

Bagaimana perempuan menanggulangi rasa sakit?

Baca Juga:

"Saya kesulitan melewati masa ini," kisah Birch, "tidak mampu berkonsentrasi, tidak bisa fokus. Tubuh saya sama sekali tidak berfungsi normal," imbuhnya.

Di sejumlah negara, perempuan berhak mengambil cuti kerja selama datang bulan. Namun kebijakan "cuti menstruasi" ini dianggap kontroversial, karena dituduh turut menyuburkan stigma dan diskriminasi. Kendati begitu, Spanyol sedang bersiap menjadi negara pertama di Eropa yang mengadopsi hak cuti bagi pengidap dismenore.

Tiga hari per bulan

Rancangan Undang-undang Kesehatan di Spanyol antara lain memberikan hak bagi pekerja perempuan untuk mengambil cuti menstruasi selama tiga hari setiap bulan. Meski belum ada rincian yang jelas, RUU tersebut diperkirakan bakal mewajibkan pengidap dismenore menyerahkan surat keterangan medis kepada tempat kerja.

Toni Morillas, Direktur Institut Perempuan Spanyol, mengatakan kontroversi seputar hak cuti menstruasi berasal stigma lama yang masih bertahan. "Di negara ini, kami kesulitan mengakui bahwa menstruasi adalah sebuah proses psikologis yang memiliki haknya sendiri." Dia merujuk pada data teranyar, bahwa satu dari dua perempuan mengalami rasa sakit akut saat menstruasi.

Proposal tersebut merupakan bagian dari RUU Kesehatan yang secara umum memperkuat hak perempuan, antara lain untuk aborsi dan kebebasan menggugurkan kandungan tanpa izin orang tua bagi perempuan di usia 16 dan 17 tahun. RUU itu juga menghapus pajak bagi produk-produk menstruasi, seperti pembalut.

Asia Timur unggul dalam hak menstruasi

Saat ini hanya Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Indonesia dan Zambia yang memiliki kerangka hukum bagi perempuan untuk mengambil cuti menstruasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Veve Hipitiew, Direktur Kiroyan Partners di Indonesia, sendirinya harus menggunakan cuti menstruasi sebagai kepala perusahaan. Dia mengaku acap menggunakan hak tersebut karena mengalami sakit luar biasa di bagian perut saat datang bulan. "Saya tidak bisa duduk normal. Saya tidak bisa bekerja jika harus duduk di depan meja atau bekerja dengan laptop selama delapan atau sembilan jam sehari."

Meski menurutnya kebijakan memberikan cuti menstruasi "sangat membantu" pekerja perempuan, "masih ada stigma atau diskriminasi terkait hak ini, karena orang berpikir perempuan hanya malas, mereka cuma tidak ingin bekerja."

Hal ini terutama rentan terjadi pada buruh perempuan di pabrik, imbuhnya, di mana tingkat produktivitas erat bergantung pada jumlah jam kerja. Bagi mereka, cuti menstruasi bisa jadi baru berupa teori, ketimbang praktek, kata Veve.

Pengakuan bagi perempuan

Fenomena di Jepang, yang menjamin cuti menstruasi sejak 1947, membenarkan asumsi tersebut. Menurut survey teranyar Nikkei Asia, kurang dari 10 persen perempuan mengambil cuti menstruasi, ketika 48 persen mengaku membutuhkan hari libur ketika datang bulan. Studi tersebut mencatat, perempuan cendrung enggan mengambil cuti jika berhadapan dengan bos laki-laki, atau karena pekerja perempuan lain tidak menggunakan haknya itu.

Hal serupa juga bisa diamati di Eropa dengan hak cuti yang tergolong longgar. Di Belanda misalnya, sebuah survey dengan 30.000 responen perempuan dari 2019 silam menyebut sekitar 14 persen mengambil cuti menstruasi, tapi hanya 20 persen yang mengabarkan alasan sesungguhnya.

Sebuah studi ilmiah dari 2020 menyimpulkan, cuti menstruasi turut memicu dampak negatif karena "memperkuat pandangan dan perilaku seksis, berkontribusi terhadap stigma seputar menstruasi dan menyuburkan prasangka antargender. Hal ini berdampak negatif terhadap ketimpangan gender dan memperkuat praktik medikalisasi menstruasi."

Prasangka negatif terhadap pengidap menstruasi akut biasanya berpusat pada kerentanan serta rendahnya produktivitas. Adapun medikalisasi menstruasi menempatkan kondisi tersebut sebagai penyakit "yang harus diobati." Menurut studi tersebut, menstruasi akut juga bisa dialami individu nonbiner atau transgender.

Dalam pengalaman Judy Birch, banyak perempuan di Inggris yang masih mendapat "teguran jika mereka mengambul cuti bulanan." Dalam sejumlah kasus, cuti menstruasi bisa berujung pada pemecatan. Padahal, hak cuti selama tiga hari yang dicontohkan pemerintah Spanyol sekalipun tidak cukup. "Jika Anda merasakan sakit yang luar biasa setiap bulan, tiga hari bukan jumlah yang berarti."

Adapun bagi Veve Hiptiew, cuti menstruasi "merupakan simbol pengakuan dan dukungan bagi perempun." Menurutnya langkah semacam itu akan menguntungkan perusahaan karena memudahkan karyawan untuk bekerja maksimal. "Tempat kerja atau perusahaan harus mengizinkan perempuan bekerja dan saat yang sama, memainkan peranan sosia, serta perannya sebagai perempuan dan ibu." (rzn/vlz)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada