Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

"Bagaikan Barang Di Etalase"

Penurunan suku bunga di awal thn 1978 belum banyak peranannya dalam menentukan tingkat biaya keseluruhan di bidang bisnis karena pelayanan bank pemerintah sangat lamban. (eb)

21 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUDAH pemerintan menurunkan sukubunga sebagai pembuka tahun 1978, kalangan bisnis umumnya memberikan tanggapan positif. Tingginya biaya di dalam negeri - high cost economy diharap bisa ditekan karenanya. Meskipun begitu, ada juga tanggapan yang mengecilkan arti penurunan sukubunga itu. Gubernur Bank Indonesia, Rachmat Saleh, minggu lalu dalam jamuan makan-malam bersama para pimpinan dunia perbankan di Jakarta tak lupa menyinggung hal ini. "Peranan sukubunga dalam menentu kan tingkat biaya secara keseluruhan tidaklah sebesar seperti diduga banyak fihak," kata Gubernur BI. "Banyak biaya lainnya, masalah inefisiensi kerja, termasuk lambannya perputaran usaha, haruslah ditangani pula apabila kita ingin menambah daya saing Indonesia dengan jalan menurunkan tingkat biaya per unit barang." Hal yang dikemukakan Rachmat Saleh memang ada benarnya. Tapi persoalan besar bagi kaum pengusaha ialah 'lamban' itu sebagian bersumber dari bank-bank pemerintah. Pengusaha baru, jika mengharapkan sukubunga rendah dari bank pemerintah, masih harus menunggu berbulan-bulan. "Dana kredit dari barlk pemerintah bagaikan barang di etalase yang dapat dilihat tapi sulit dijangkau," demikian komentar direktur PT Pan Indonesia Bank Ltd, Mu'min Ali, 39. Bankir swasta itu juga menjabat komisaris pada sejumlah perusahaan asuransi dan industri kelompok Panin Bank. Dalam suatu interpiu TEMPO, MU'min menRatakan bahwa akhirnya penurunan sukubunga itu tidak ada artinya jika pelayanan bank pemerintah sangat lamban. "Bisnis harus selalu berputar cepat. Di sinilah bank swasta bisa hidup meskipun sukubunganya sedikit lebih tinggi, rata-rata masih 2% sebulan." Okay Dir-Ut Djukardi Odang, 48, dari PT Panca Niaga yang sudah berpengalaman dengan bank pemerintah juga mengeluh rupanya. "Di sini prosedur kredit impor memakan waktu 3 sampai 6 bulan. Paling cepat 3 bulan barulah bank bilang okay. Untuk barang vital, prioritas utama, memang okay itu bisa 2 minggu, terutama untuk nasabah yang sudah dikenal oleh bank bersangkutan. Di luar negeri, misalnya, di Jerman Barat semacam itu dapat beres dalam 1 - 2 hari." PT Panca Niaga bukan hanya mengimpor, melainkan juga mengekspor. Dan baginya bukan cuma soal kredit dan sukubunganya. Tingkat biaya tinggi, kata Odang lagi, bisa juga karena freight (ongkos angkutan laut). "Untuk kopi tujuan Eropa? misalnya, freight kita lebih mahal 3 sen dollar dibanding dengan Singapura. Lagi pula, karena tidak seluruh pelabuhan kita bisa disinggahi kapal samudera, kita banyak melakukan transhipment untuk ekspor. Ini menambah ongkos lagi." Walaupun diturunkan, jelas sukubunga pemerintah belum akan banyak menolong industri elektronik. Menurut direktur teknik A. Sarbini 49, dari PT Philips Ralin Electronics, di sini pengusaha kita bekerja dengan stok bahan baku untuk 5 - 6 bulan, dibanding di Singapura 2 minggu. Akibatnya ialah biaya modal kerja di suni lebih tinggi. Dari segi jumlah bunganya saja Indonesia sudah kalah bersaing. Tambahan pula perputaran usaha di Singapura lehih cepat 6 kali dibanding di Indonesia. Untuk kompetitif, kata Sarbini, penurunan sukubunga harus dibarengi dengan peningkatan pelayanan aparat pemerintah. "Penyelesaian dokumen di pelabuhan laut, misalnya, masih lamban." Inefisiensi kerja tentu terjadi karenanya tapi itu tampaknya dipaksakan oleh iklim yang, menurut kaum bisnis umumnya, memang tidak sehat dewasa ini. Kembali ke perbankan, pihak swasta nasional sesungguhnya juga diharapkan untuk menurunkan sukubunga. Umpamanya BI sudah menurunkan cash ratio, persentase cadangan-wajib yang kini 15, tadinya 30%. Perubahan itu, menurut Gubernur Rachmat Saleh, bertujuan mengurangi biaya bank. Ini berarti kemampuan bank swasta untuk memberi kredit bertambah 15, lagi. Tapi kini pemerintah mewajibkan perusahaan mengikuti Astek (Asuransi Sosial Tenaga Kerja) yang menciptakan ongkos baru bagi bank swasta. Jadi, tetap 2%?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus