Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=#FF9900>PELABUHAN LAUT</font><br />Rebutan ’Emas’ Tanjung Perak

Pemerintah Jawa Timur berusaha merebut pengelolaan pelabuhan dari tangan Pelindo. Desakan Kamar Dagang dan Industri.

23 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR tak ada ruang kosong di Dermaga Mirah. Belas an kapal ukuran jumbo me - menuhi kawasan sandar Pe labuhan Tanjung Perak, Surabaya, ini pada Kamis pekan lalu. Kapal Yamdena berbendera Indonesia menurunkan ribuan lonjor baja. Di tengah terik matahari, belasan buruh panggul menurunkannya dari kapal ke truktruk besar.

Selain Mirah, Pelabuhan Tanjung Perak memiliki Dermaga Berlian, Jamrud Selatan, Jamrud Utara, dan Nilam. Semuanya dikuasai PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) sebagai operator tunggal pelabuhan. Perusahaan milik negara yang berkantor pusat di Surabaya ini mengelola 40 pelabuhan, yang tersebar di tujuh provinsi, di antarannya Jawa Timur.

Monopoli Pelabuhan Indonesia III atas Tanjung Perak inilah yang segera ingin diakhiri oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Tanjung Perak merupakan pelabuhan terbesar kedua, setelah Tanjung Priok, Jakarta. Asetnya sekitar Rp 4,3 triliun, meliputi tanah, dermaga, gudang, dan peralatan. Akhir tahun lalu, pendapatan Tanjung Perak sekitar Rp 463,7 miliar. Tiga ribuan pegawai bekerja di sini.

Adapun yang dijadikan rujukan peme rintah Jawa Timur adalah Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang mulai berlaku pada 7 Mei lalu. Salah satu klausul undangundang menyebutkan Pelindo bukan lagi satu-satunya operator pelabuhan.

Namun monopoli Pelindo atas Pelabuh an Tanjung Perak berlanjut dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 88 Tahun 2011 tentang pemberian izin pengelolaan terminal operator pelabuhan itu kepada Pelindo.

Inilah yang membuat Gubernur Jawa Timur Soekarwo berang. “Ini aset negara dan kami punya hak mengelola,” katanya. Menurut dia, mestinya hak monopoli Pelabuhan Indonesia habis sejak undang-undang itu berlaku. Artinya, semua daerah, termasuk Jawa Timur, berhak mengelola sendiri pelabuhan di daerahnya.

Apalagi Jawa Timur berkepentingan untuk mendulang tambahan pendapatan asli daerah dari pengelolaan pelabuhan. Soekarwo pun sigap. Untuk memangkas monopoli Pelabuhan Indonesia, akhir Januari lalu ia berkirim surat kepada tiga menteri yang membawahkan pelabuhan: Menteri Perhubungan, Menteri Badan Usaha Milik Negara, dan Menteri Keuangan.

Isi surat, Jawa Timur meminta diberi hak mengelola sendiri seluruh pelabuhan di Jawa Timur. Soekarwo meminta sebagian aset Pelabuhan Indonesia di wilayahnya juga dialihkan menjadi aset pengelolaan pemerintah provinsi.

Aset Pelabuhan Indonesia yang diminta rupanya tak sebatas Tanjung Pe rak, Surabaya. Tiga pelabuhan la in, yakni Gresik; Tanjung Tembaga, Probolinggo; dan Tanjung Wangi, Ba nyuwangi; juga diminta.

Dari tiga menteri yang disurati, Menteri BUMN yang pertama merespons dengan mengirim surat pada 29 Maret lalu. Isinya, Menteri dengan tegas menolak keinginan Jawa Timur itu. Soekarwo memaklumi penolakan Menteri BUMN karena Pelindo III memang di bawah kementerian itu.

Tapi penolakan rupanya juga datang dari Menteri Perhubungan Freddy Numberi. Meski tak secara langsung menjawab surat Soekarwo, Freddy mengeluarkan surat perihal pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Pelayaran bagi Pelindo I, II, III, dan IV.

Isi surat menyatakan, Pelindo tetap beroperasi seperti selama ini berdasarkan konsesi dalam bentuk ikatan perjanjian dengan otoritas pelabuhan. “Pelayanan jasa labuh tetap dilakukan Pelindo,” kata Menteri Freddy dalam surat itu. Pelindo, sebagai badan usaha pelabuhan, bertanggung jawab atas kinerja pelayanan di terminal pada pelabuhan- pelabuh an tempat beroperasi.

Soekarwo pantang surut. “Kami tak patah semangat,” ujarnya. Apalagi ia tak sendirian. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur di belakangnya. Karena itu, dia terus melobi pemerintah pusat agar permintaannya dika bulkan.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Pemerintahan dan Komisi Perekonomian Dewan Jawa Timur di Surabaya, Senin tiga pekan lalu, jadilah Pelindo III “bulan-bulanan” anggota Dewan. Sejumlah politikus Jawa Timur serempak menuding Pelindo tak transparan dan terus ingin bertahan mengelola pelabuhan di Jawa Timur.

“Pelindo harus segera mengembalikan aset pelabuhan ke pemerintah pusat,” kata Ketua Komisi Pemerintahan Sabron Djamil Pasaribu dari Partai Golkar. Ketua Komisi Perekonomian Renville Antonio pun berteriak senada. Ia mendesak Pelindo patuh pada undang- undang. “Pelindo seharusnya punya iktikad baik,” kata politikus Partai Demokrat ini.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur juga menyokong Soekarwo. Bahkan mereka siap sejak Januari lalu, dengan mendirikan perusahaan layanan jasa kepelabuhan swasta bernama PT Pelabuhan Jawa Timur Satu. Perusahaan ini tak memiliki fasilitas dermaga ataupun lapangan penumpukan barang, sehingga praktis sejak berdiri tak bisa beroperasi.

Ketua Kadin Jawa Timur La Nyalla Ma taliti mengatakan perusahaan ini ber diri dengan mengantongi surat keputusan Menteri Perhubungan untuk izin usaha di bidang kepelabuhanan. Dengan surat ini, perusahaan itu pu nya hak beroperasi. “Tapi Pelindo masih memonopoli semuanya,” kata Nyalla.

Menurut Nyalla, Kadin sengaja mendirikan PT Pelabuhan Jawa Timur Satu untuk mengikis beban biaya bongkar muat kapal yang tak transparan. Pungutan liar juga cenderung tinggi. Ta rif bongkar dan sandar kapal di Tanjung Perak dinilainya tidak masuk akal. “Masak lebih mahal 25 persen daripada Singapura,” ujarnya.

Ongkos mahal pasti berpengaruh pada harga barang di pasar. Selain itu, Nyalla menuding PT Pelindo III tidak profesional. Banyak peralatan kepe labuhanan yang masih sangat kuno, sehingga menghambat percepatan sandar dan bongkar barang. Tata kelola pelabuhan pun amburadul, mengakibatkan barang terlambat datang atau batal berangkat.

Direktur Utama PT Pelindo III Djarwo Surjanto menampik segala tudingan itu. Ia menyatakan telah menjalankan perusahaan sesuai dengan prosedur. Menurut Djarwo, perusahaan yang ia pimpin sudah mengembalikan seluruh aset pemerintah pusat.

Proses pengembalian, kata dia, sudah melalui audit Badan Pemeriksa Keuangan. Ia juga menegaskan seluruh aset tanah pelabuhan merupakan milik pemerintah pusat dan menjadi penyertaan modal pemerintah pusat sebagai pemilik saham Pelindo.

Pelindo III mengklaim sebagian bangunan pelabuhan miliknya karena perusahaan inilah yang membangun. “Semua memang peninggalan Belanda, tapi kami merenovasi dan membangunnya kembali,” kata Djarwo.

Atas dasar itu, ia menegaskan, tidak ada alasan bagi direksi PT Pelindo III melepas aset pelabuhan kepada pihak lain tanpa ada peraturan baru dari pemerintah. “Kami patuh pada undang- undang dan peraturan pemerintah,” ujarnya.

Lagi pula hingga kini pemerintah masih menyerahkan pengelolaan pelabuhan kepada Pelindo III. Tidak ada perubahan atau pemindahan aset. Dan yang pa tut dicatat, kata dia, “Pendapatan Pelindo III juga disetor ke pemerintah.”

Sunudyantoro (Jakarta), Fatkhurrohman Taufiq (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus