Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

<font size=1 color=#FF99900>PELUANG USAHA</font><br />Ma Icih dan Para Jenderalnya

Keripik pedas Ma Icih sukses merebut pasar. Mempekerjakan sejumlah menteri.

30 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANAS minyak dalam dua wajan raksasa di Desa Sariwangi, Parongpong, Lembang, membuat kesejukan dataran tinggi Bandung tak lagi terasa. Di tengah suhu menyengat, sepuluh lelaki sibuk bekerja, Kamis pagi pekan lalu.

Dua orang tangkas menggoreng. Selebihnya membuat adonan hingga mengemas butiran seblak—kerupuk tepung kanji bersalut bubuk cabe—ke dalam ribuan kantong plastik.

Sepintas, seblak yang dibuat di gudang berdinding seng seluas 150 meter persegi itu hanyalah jajanan biasa. Tapi, dikemas sebanyak 30 ribu bungkus saban pekan, kerupuk bermerek Ma Icih ini selalu tandas di pasar.

Dengan harga Rp 10 ribu sebungkus—rata-rata 250 gram—omzetnya mencapai Rp 1,2 miliar. ”Kami juga bisa menjual dua produk lain dalam jumlah yang sama,” kata Ari Kurniadi, ”menteri pangan” Ma Icih, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Merek Ma Icih dipasarkan di Bandung sejak Juni tahun lalu. Seblak, keripik singkong, dan kerupuk gurilem superpedasnya kini menembus wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, hingga Yogyakarta.

Metode pemasarannya unik. Para calon pembeli harus mengikuti jadwal jualan para agen, yang disebut ”jenderal”, melalui jejaring sosial Twitter. Ma Icih punya akun: @infomaicih. Maklum saja, lokasi dagangnya selalu berpindah-pindah.

Promosi melalui Internet juga gencar memancing penasaran konsumen. ”Cara ini mendongkrak penjualan,” kata Ari. Sekarang pengikut atawa follower akun Twitter @infomaicih mencapai 63.758 orang.

Manajemen Ma Icih juga antik. Selain ”jenderal” tadi, ada juga ”menteri”. Dari menteri keuangan atau manajer keuangan, menteri perhubungan atau manajer distribusi, hingga menteri pangan alias manajer produksi. Para pelanggan disebut Icihers.

Tokoh sentral bisnis ini tentulah sang ”presiden”, Reza Nurhilman alias Axl—sekaligus pemodal utama. Lajang 23 tahun ini pencipta merek, metode pemasaran, dan ide-ide segar lainnya.

Semua berawal pada 2008, ketika Axl bertemu dengan seorang wanita tua pembuat keripik singkong di Cimahi, Jawa Barat. Setelah icip-icip keripik si nenek, mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Kristen Maranatha Bandung ini ketagihan. ”Saya mencoba memasarkannya,” kata Axl.

Dengan modal pinjaman Rp 15 juta, dua tahun kemudian Axl mulai menggeluti bisnis ini dengan membuat merek Ma Icih—nama yang biasa dipakai perempuan Sunda tempo dahulu.

Dibantu beberapa saudaranya, Axl mulai berpromosi menggunakan Twitter dan Facebook yang sedang booming. Jaringan pertemanan di kampus dan sekolah juga dimanfaatkan. Kurang dari setahun, peminat penganan pedas ini membeludak.

Dagangan ditambah dengan seblak dan gurilem. Lantaran permintaan semakin banyak, produksi tak bisa lagi mengandalkan si nenek dari Cimahi. Axl mendirikan pabrik di kawasan Sariwangi, Ledeng, dan Cililin, Bandung. Penduduk setempat jadi pegawainya, dengan bayaran rata-rata Rp 25 ribu sehari.

Sebanyak 60 jenderal baru dari Bandung dan Jakarta direkrut untuk ekspansi pemasaran. Sistemnya bagi hasil. Peran jenderal menggenjot pemasaran sangat besar. Selain bisa menjual 30 ribu seblak dalam sepekan, mereka bisa memasarkan 30 ribu bungkus gurilem dan dan 15 ribu keripik.

”Saya suka rasa pedasnya,” kata Lestari, pelanggan setia dari Jakarta. ”Sayangnya, harganya lumayan mahal. Tapi tak apalah, pas dengan rasa enaknya.”

Dengan omzet total Rp 3 miliar sebulan, Axl kini membiayai kuliah sendiri, membeli mobil, rumah, dan segera naik haji. Lima puluh penduduk di tiga desa yang mendapat upah harian kecipratan rezeki. Para menteri dan jenderal pun kebagian hoki.

Ardhyto Widagdo, rekan satu kampus Axl, misalnya, bisa menjual 2.000 bungkus keripik sepekan. ”Dari bisnis ini saya bisa beli Daihatsu Terios,” kata pemuda 21 tahun itu.

Fery Firmansyah, Angga Sukma Wijaya (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus