Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepekan terakhir, Doan Kim sering tepekur menatap papan harga saham milik salah satu perusahaan sekuritas di Kota Ho Chi Minh, Vietnam. Namun harga saham yang diharapkannya bakal berbalik naik, malah terus merosot.
Walhasil, investasi yang ditanam Kim di bursa hanya menyisakan sepertiganya. Hingga Rabu pekan lalu, rugi yang ditanggung Kim sudah US$ 28 ribu dari modal US$ 40 ribu. Padahal setengah dari modal itu adalah tabungan keluarga dan separuh lainnya hasil berutang dari seorang teman.
”Suami dan anak saya sangat marah kepada saya. Kini hidup tak lagi sama,” kata Kim, pensiunan perawat. Dia juga masih puyeng bagaimana mengembalikan pinjamannya.
Nasib celaka Kim bermula ketika dia terpikat cerita temannya yang begitu cepat membiakkan duit di bursa saham. Teman Kim berhasil melipattigakan investasinya pada 2006 pada saat bursa saham Vietnam sedang melambung tinggi.
Rupanya Kim salah perhitungan. Dia masuk bursa pada saat investor lain justru mulai ”angkat kaki”. ”Kalau saja semua bekerja seperti yang dialami teman saya, sekarang saya sudah menjadi miliuner,” Kim berangan-angan. Di negeri komunis ini, Kim bukan satu-satunya korban kejatuhan bursa.
Dalam dua tahun terakhir, bursa saham Vietnam bak roller coaster. Hingga kuartal pertama 2007, indeks saham Kota Ho Chi Minh begitu cepat melesat. ”Ketika itu semua orang menikmati limpahan fulus,” kata Nguyen Tra Lan, analis saham di Thang Long Securities.
Bursa saham Vietnam bahkan sempat disebut-sebut sebagai salah satu tempat membiakkan uang terbaik di dunia. Nilai transaksinya mencapai US$ 15,3 miliar pada 2007 atau naik tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Namun, dalam setahun terakhir, angin begitu cepat berbalik arah. Setelah sempat menyentuh angka 1.179 pada Maret 2007, indeks VN terus melorot ke 382,07 pada penutupan perdagangan Rabu pekan lalu. Predikat terbaik pun lepas, berganti menjadi terburuk.
Sebagai bursa yang terhitung masih belia—beroperasi pada 2000—Ho Chi Minh Stock Exchange begitu cepat berkembang. Kapitalisasi pasarnya mencapai US$ 22,4 miliar atau setara dengan 37 persen produk domestik bruto. Di sana ada 320 ribu investor lokal dan 7.000 investor asing.
Sayangnya, kata Tra Lan, pertumbuhan yang begitu cepat itu tak diimbangi pengetahuan para investornya. Ketimbang menguliti fundamental saham perusahaan yang hendak dibeli, mereka lebih mengandalkan rumor dari mulut ke mulut model Doan Kim.
Gabungan perilaku investor lokal yang kelewat agresif dan banjir dolar yang berniat mengail untung inilah yang meroketkan indeks VN. Kondisi tersebut, menurut Direktur Dragon Capital Group Dominic Scriven, membuat harga saham terus terdongkrak hingga menjadi kelewat mahal ketimbang harga sebenarnya alias overvalued. Pada saat itulah, tinggal soal waktu kapan dia akan bergerak turun mendekati harga sewajarnya.
Setelah beberapa tahun terakhir disebut-sebut sebagai macan baru Asia, China Mini atau The Next China, dan dalam satu dekade terakhir ekonominya tumbuh rata-rata 7,5 persen, mesin perekonomian Vietnam sepertinya mulai kepanasan. Tingkat inflasi per Mei lalu (year on year) menyundul 25,20 persen. Ini angka tertinggi di Asia.
Spekulasi di sektor properti, penyaluran kredit yang kelewat ekspansif, dan kenaikan bahan bangunan punya andil mengerek harga-harga. Seperti dikutip VietNamNet Bridge, situs berita lokal, hingga akhir Maret lalu, harga ruang kantor di Kota Ho Chi Minh naik 94 persen dibanding setahun lalu. Namun, dengan cepat pula, harga properti longsor. Jika pada awal tahun kemarin harga tanah di lokasi strategis masih 32 juta dong (Rp 17,8 juta) per meter persegi, sekarang tinggal 20 juta dong (Rp 11,1 juta).
Melonjaknya harga minyak bumi, pangan, dan baja di dunia semakin menambah derita rakyat Vietnam. Harga minyak mentah jenis light sweet di bursa komoditas New York akhir pekan lalu, misalnya, bertengger di posisi US$ 132,66 per barel, berlipat dibanding harga setahun lalu.
Agar mesin ekonominya mendingin, pemerintah Vietnam sebenarnya sudah mengeluarkan berbagai jurus fiskal dan moneter. Dua pekan lalu, pemerintah Vietnam memutuskan menunda proyek senilai US$ 125 juta.
Untuk mengerem laju penyaluran kredit, dalam sebulan terakhir saja Bank Sentral Vietnam sudah menaikkan suku bunganya dua kali. Pertama, pada pertengahan Mei lalu, mereka menaikkan suku bunga dari 8,75 persen ke 12 persen. Terakhir, dua pekan lalu, suku bunga kembali dikerek ke 14 persen.
Saat itu juga, Bank Sentral mendevaluasi nilai dong (mata uang Vietnam) dua persen dari 16.139 dong per dolar Amerika Serikat menjadi 16.481. Target pertumbuhan ekonomi pun dipangkas dari sembilan persen menjadi tujuh persen.
Namun Kepala Ekonom Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembangunan, Jonathan Pincus, menilai pemerintah Vietnam terlalu lamban mengambil keputusan. Nilai devaluasi dong, menurut dia, juga terlalu kecil untuk meredam laju inflasi. Sebab, di pasar gelap, dolar sudah ditransaksikan di angka 18.500 dong.
Kepala Divisi Investasi Indochina Capital Peter Ryder juga meragukan efektivitas kebijakan pemerintah Vietnam. ”Apakah mereka bisa menyelesaikan masalah hanya dengan mendevaluasi dong secara bertahap? Apakah ini langkah terbaik?” kata Ryder.
Langkah memangkas nilai dong, dinilai Thomas Harr, Senior Currency Strategist Standard Chartered Plc., Singapura, bukan langkah tepat. Akan lebih baik, menurut dia, jika Bank Sentral menaikkan suku bunga lebih tinggi. Nilai dong, kata Harr, akan terus tertekan sampai pelaku pasar merasa yakin pemerintah Vietnam sudah cukup berbuat untuk meredam inflasi.
Pemerintah Vietnam pun terperangkap dilema. Bila menaikkan suku bunga kelewat tinggi, bisa jadi membuat debitor perbankan gagal bayar dan memicu krisis perbankan. Cara ini juga bakal semakin menekan laju ekonomi. Memangkas nilai dong membuat harga barang impor lebih mahal. ”Ini bukan tugas mudah,” kata Menteri Keuangan Vietnam Vu Van Ninh pekan lalu.
Berbagai jurus sudah digelar, tapi problem belum beranjak dari Vietnam. Dong masih akan tertekan karena defisit neraca perdagangan masih menganga dan bakal terus melebar. Lima bulan pertama 2008 saja, defisit perdagangan sudah menyundul US$ 14,42 miliar. Angka itu lebih besar dari seluruh defisit perdagangan tahun lalu.
Cekikan inflasi sepertinya juga belum akan mengendur, terutama bila harga minyak terus mendaki. Harga bahan bakar di Negeri Ho Chi Minh ini ibarat bom waktu karena sampai sekarang rakyat Vietnam masih menikmatinya dengan harga bersubsidi. Keputusan akan menaikkan atau terus menahan harga minyak baru akan diputuskan bulan depan. ”Selangkah demi selangkah akan kami sesuaikan harganya,” kata Ninh memberi sinyal kenaikan harga.
Sejumlah analis sudah meramal apakah badai di Vietnam ini bakal menyapu negara-negara Asia lain seperti kasus Thailand pada krisis 1997. Christina Liu, Kepala Ekonom di Daiwa Institute of Research, Taiwan, mengatakan negara yang pertama kali akan terkena imbas adalah mereka yang mempunyai neraca perdagangan negatif dan yang gagal mengendalikan inflasi.
Laporan Credit Suisse pekan lalu juga yakin krisis di Vietnam tak akan menyebar. Kejatuhan indeks VN, menurut Suisse, disebabkan harga yang sudah terlalu tinggi. Agregat price to earning ratio bursa Ho Chi Minh di saat puncak sudah mencapai 104, jauh di atas rata-rata bursa di Asia yang berkisar 20.
Defisit neraca perdagangan Vietnam, 17,3 persen dari produk nasional bruto, juga jauh melampaui negara lain. India misalnya hanya 2,3 persen. Indonesia malah surplus. Hingga akhir April lalu, nilai ekspor Indonesia US$ 44,6 miliar, melampaui angka impor US$ 40,95 miliar. Tingkat inflasi di Indonesia yang berkisar 10,4 persen juga jauh di bawah Vietnam. Yang pasti, ‘hantu’ bahan bakar di Indonesia sudah sedikit berkurang setelah pemerintah menaikkan harga dua bulan lalu.
Peter Redward, Head of Rates Strategy, Barclay Capital, justru menunjuk Filipina dan India sebagaiS negara yang paling rentan kena dampak krisis Vietnam. Bila harga minyak dan pangan terus menanjak, kata Redward, anggaran negara Filipina bakal terancam beban subsidi. ”Jika harga minyak melampaui US$ 150 per barel, kita akan melihat ‘kartu domino’ mulai berjatuhan,” katanya.
Sapto Pradityo (Xinhua, Bloomberg, AP, MarketWatch)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo