Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PABRIK semen mini yang dicoba di NTT, PT Semen Kupang, ternyata tak gampang dikelola. Proyek percontohan itu, yang dipersiapkan sejak 1974, baru beroperasi mulai 1984. Kini, sudah beranjak usia dua tahun, ada-ada saja penyebab yang menghalangi pertumbuhan pabrik semen cap Komodo itu. Pemasarannya sulit, penyediaan bahan bakunya pun tersendat-sendat. Bahkan, bulan lalu, pabrik itu mogok gara-gara kehabisan bahan bakar. Entah kenapa, kiriman antrasit dari Sumatera macet. Sementara itu, arang dari kayu lamtorogung, yang dulu didengang-dengungkan dapat menggantikan batu bara, ternyata cuma dengungnya saja yang keras. Teknologinyalah yang belum dikuasai, transportasinyalah yang sulit. Pabrik semen ini pernah dibanggakan Gubernur Ben Mboi sebagai "loncatan raksasa" untuk Provinsi NTT. "Ternyata, tidak berjalan lancar, karena tingkah laku orang sini belum membantu," ujar Mboi, yang dihubungi TEMPO lewat telepon, pekan lalu. Ia menilai, para distributor dan agen, "ada yang setengah tukang catut, sehingga cash-flow pabrik terganggu." Sedangkan direksi masih harus membedakan manajemen pabrik semen ini dengan warung nasi Padang. Namun, Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), sebagai pemilik sekitar 40% saham dan kreditur PT Semen Kupang, melihat bahwa tidak semua gangguan itu harus dipersalahkan ke direksi dan masyarakat. Teknologi yang dipakai terhitung baru. Pabrik-pabrik semen yang sudah dibangun lebih dulu memakai bahan bakar minyak, dan membakar bahan baku semen dengan tanur datar. Kapasitas produksinya pun besar. Untuk Semen Kupang, yang berkapasitas produksi 120.000 ton, dianggap lebih tepat menggunakan tanur tegak dan memakai bahan bakar batu bara yang lebih murah dari minyak. Keputusan itu diambil setelah tim dari Bapindo, PT Semen Gresik, dan Departemen Perindustrian melihat contohcontoh di Brasil, Austria, Jerman Barat, Spanyol, dan Nepal. Pemakaian batu bara, ternyata, merepotkan juga karena harus didatangkan dari Bukit Asam (Sumatera), bahkan terkadang diimpor dari Australia. Semen Kupang hanya membutuhkan 1.000-3.000 ton batu bara per hari, sehingga sulit mencari kapal seukuran itu. "Bila harus menumpuk stok, perlu modal cukup besar," kata Direktur Bapindo Setiyono Sosrodarsono. Pabrik yang menelan investasi Rp 27,6 milyar itu, konon, merugi Rp 1,8 milyar tahun 1984, belum lagi tahun lalu. Produksinya tahun silam hanya 67.000 ton. Padahal, untuk bisa berjalan baik, minimal harus bekerja 65% dari kapasitas terpasang 120.000 ton. Pukulan yang meng-KO-kan Semen Kupang, menurut Dirut Bapindo Subekti Ismaun, sebenarnya datang dari pabrik-pabrik semen lain. Dewasa ini, kapasitas produksi se-Indonesia berjumlah 17 juta ton, sedangkan pasar hanya menyerap sekitar 8 juta ton. Pabrik-pabrik besar, seperti Indocement, lalu berani membanting harga -- asal jalan. Gubernur NTT, sejak Juli 1985, memang menginstruksikan pemakaian Semen Kupang untuk proyek-proyek pemerintah. Departemen Perindustrian juga mengimbau PT Semen Tonasa untuk tidak masuk ke NTT. Ternyata, armada semut kapal-kapal kecil, yang membawa barang dagangan dari NTT, pulang dari Ujungpandang atau Surabaya menyelundupkan semen murah. Bapindo turun tangan: segala beban, cicilan pokok maupun bunga, ditangguhkan sampai pabrik berjalan normal. Bahkan, Bapindo menyuntikkan kredit baru lagi. Pekan lalu, misalnya, 6.200 ton klinker yang dikirim PT Semen Tonasa untuk diproses langsung menjadi semen cap Komodo di Kupang dibiayai dengan kredit Bapindo. Panjang umur bagi Semen Kupang yang berulang tahun April ini! Max Wangkar Laporan Toriq Hadad & Suhardjo Hs.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo