Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Pangkalpinang - Kepala Bidang Pengawasan Hubungan Industri dan Jaminan Sosial Dinas Ketenagakerjaan Bangka Belitung Agus Afandi membeberkan jumlah kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dampak kasus timah di Kepulauan Babel telah mencapai 1.329 pekerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus menyebutkan besarnya angka pekerja yang di-PHK itu di antaranya karena kasus korupsi komoditas timah yang berlaru-larut. Hal ini karena pemilik perusahaan tambang timah itu terjerat kasus korupsi dan masih menjalani proses hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hingga Mei tahun ini sudah 1.329 pekerja yang di-PHK," kata Agus, Jumat, 28 Juni 2024, seperti dikutip dari Antara.
Agus menyebutkan sebanyak 1.329 pekerja itu berasal dari 16 perusahaan. Mereka tersebar di Kabupaten Bangka, Bangka Tengah, Bangka Barat, Bangka Selatan, Belitung, Belitung Timur dan Pangkalpinang.
Sedangkan di saat yang sama tercatat jumlah pekerja yang telah dirumahkan sebanyak 113 orang dan pekerja masih dalam proses PHK sebanyak 23 pekerja orang.
"Kasus PHK di Kepulauan Babel ini hanya terdapat di perusahaan yang terkait kasus tata niaga timah yang ditangani Kejagung, sementara perusahaan lainnya tidak ada," ujar Agus.
Adapun kasus PHK di Kepulauan Babel rata-rata terjadi di sektor pertambangan dan bukan karena kondisi perekonomian global yang melemah. Ia memastikan gelombang PHK itu karena dampak dari kasus tata niaga pertimahan.
"Sebagian pekerja yang terkena PHK ini sudah menerima haknya sesuai aturan berlaku, sementara sebagian belum," ucap Agus.
Agus menyebutkan pekerja yang belum menerima haknya karena saat ini aset-aset perusahaan tidak beroperasi atau masih dalam proses hukum di Kejagung. "Pemilik perusahaan ini masih ditahan di Kejagung, sehingga manajemen perusahaan belum bisa membayar hak pekerja yang di-PHK ini," katanya.
Kasus dugaan korupsi di PT Timah (Persero) Tbk. mencuat pada Maret 2024 lalu dan saat itu disebut melibatkan 16 tersangka. Mereka diduga merugikan negara sampai Rp 271 triliun atau mencapai rekor nilai terbesar akibat kerusakan alam karena pengrusakan hutan alam.
“Kerugian negara dan lingkungan akibat kejahatan tersebut ditaksir mencapai Rp 271 triliun,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, seperti dikutip Majalah Tempo edisi 11-17 Maret 2024.
Kejaksaan Agung sebelumnya menetapkan 16 tersangka, termasuk Harvey Moeis dan Helena Lim. Harvey berperan untuk melobi beberapa smelter di kawasan IUP PT Timah untuk mengakomodasi pertambangan liar. Dalam prosesnya, Harvey Moeis memfasilitasi pertambangan tanpa izin ini dengan sewa-menyewa alat peleburan timah.
Helena merupakan manajer PT QSE yang diduga turut cawe-cawe membantu menyewakan alat peleburan timah di kawasan PT Timah Tbk.
“Penyidik menyimpulkan telah cukup alat bukti yang bersangkutan sebagai tersangka,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus atau Jampidsus Kuntadi di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, akhir 26 Maret 2024.
Kuntadi menyebut Helena Lim diduga kuat membantu mengelola hasil dari tindak pidana korupsi dengan memberikan sarana dan fasilitas kepada para pemilik smelter. Dalih crazy rich itu, kata dia, adalah menerima atau menyalurkan dana Corporate Social Responsibilityatau CSR yang menguntungkan para tersangka lain, termasuk dirinya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Timah Ahmad Dani Virsal menyatakan kerugian yang dialami perusahaannya mencapai Rp 450 miliar. Menurut dia, kerugian itu disebabkan oleh penurunan harga timah di pasar global.
Ahmad menyampaikan bahwa produksi PT Timah juga mengalami penurunan. Selain itu, beban operasional perusahaan yang masih tetap tinggi.
"Bebannya tetap, peak cost-nya tetap, tapi pendapatan kami jauh menurun karena produksinya juga jauh menurun. Ditambah parah lagi harga jual timah juga menurun sehingga pendapatan itu jomplang jauh sekali," kata Ahmad dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR, Selasa, 2 April 2024.
Ahmad memaparkan bahwa pendapatan PT Timah turun 33 persen di tahun 2023 menjadi hanya Rp 8,39 triliun yang sebelumnya sebesar sempat menyentuh Rp 12,5 triliun pada tahun 2022. Sebelum ada kerugian perusahaan sebesar Rp 450 miliar itu, perusahaan sempat meraup laba hingga Rp 1,04 triliun.
Lebih lanjut, Ahmad turut menyinggung soal sejumlah negara yang produksinya meningkat, seperti Malaysia.
ANTARA | SAVERO