Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengiriman dokter untuk praktek di daerah minimal harus memperhatikan tiga hal yang menjamin kesejahteraannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pertama, tempat dia bekerja sudah sesuai belum? Yang kedua, bagaimana terkait perlindungannya? Ketiga, bagaimana terkait dengan kesejahteraannya? Itu paling penting di sana,” ucap Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Ulul Albab, Sp.OG.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan banyak faktor yang mempengaruhi dokter tidak mau membuka praktek di daerah. Misalnya, daerah tersebut tidak siap dari segi fasilitas, posisi yang belum tersedia, dan fasilitas medis bagi dokter spesialis yang belum memadai sehingga banyak yang lebih memilih berpraktek di kota besar walau sebenarnya sudah banyak dokter dengan spesialisasi yang sama.
Lulusan spesialis kandungan dan kebidanan di Universitas Indonesia ini juga mengatakan dibukanya peluang dokter asing masuk ke Indonesia bukan berarti menjadi solusi pemerataan dokter di rumah sakit Indonesia.
“Kita bukan anti dokter asing. Sebenarnya karena kualitas kita enggak kalah, sangat-sangat tidak kalah. Permasalahannya adalah pelayanan kesehatan tidak saja tergantung dokternya tapi penunjang nonkesehatan itu jauh lebih menentukan,” paparnya.
Perhatikan kebutuhan dokter
Ulul mengatakan pembukaan program studi di fakultas kedokteran juga belum tentu menjadi solusi pemerataan dokter di daerah karena pendidikan dokter yang panjang dan tidak instan. Selain itu, setelah lulus masih perlu dipikirkan ke mana dokter-dokter baru tersebut harus mempraktekkan pendidikannya.
Ia menyarankan jika ada pembukaan fakultas kedokteran di setiap universitas di Indonesia yang perlu dipertimbangkan adalah kebutuhan di daerahnya terlebih dulu.
“Misalnya Maluku perlu, bukalah FK di sana, kemudian didik anak-anak FK di sana. Kemudian jadikan dokternya benar dan tetap bekerja untuk Maluku, wajibkan untuk bekerja di sana sehingga masalah distribusi bisa teratasi,” saran Ulul.
Di sisi lain, dengan adanya telemedisin, Ulul mengatakan hal itu bisa menjadi alternatif untuk dokter mendapat informasi kesehatan dan pasien bisa dengan mudah berkonsultasi dengan dokter dari mana saja namun perlu melakukan pemeriksaan fisik ke rumah sakit dan bertemu dokter agar mendapat penanganan yang lebih tepat.
“Kalau telemedisin penting, eranya memang diperlukan. Telemedisin sifatnya konsultatif tetapi ada beberapa hal yang enggak bisa digantikan telemedisin yaitu pemeriksaan fisik,” tutur Ulul.
Pilihan Editor: Dokter Paru Sebut Asap Rokok Sama Bahaya dengan Polusi Udara