Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Uni Eropa resmi memberlakukan Undang-Undang Anti-Deforestasi per 16 Mei 2023.
Ekspor minyak sawit mentah Indonesia bisa terpengaruh.
Regulasi anti-deforestasi ini dapat menjadi momentum pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sawit.
Uni Eropa (UE) resmi memberlakukan Undang-Undang Anti-Deforestasi atau EU Deforestation Regulation per 16 Mei 2023. Regulasi ini bertujuan memastikan produk yang masuk pasar Uni Eropa berasal dari sumber yang legal dan tidak menyebabkan deforestasi. Setidaknya ada tujuh komoditas yang diatur dalam UU Anti-Deforestasi Uni Eropa tersebut, yaitu sawit, kopi, daging, kayu, kakao, kedelai, dan karet.
Jauh sebelum UU Anti-Deforestasi Uni Eropa disetujui, minyak kelapa sawit Indonesia kerap menjadi perdebatan dunia internasional karena isu deforestasi. Pada April 2017, parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi tentang minyak sawit dan deforestasi hutan hujan. Tujuan akhirnya adalah larangan impor barang hasil deforestasi. Contohnya kelapa sawit bersama produk turunannya ke wilayah Uni Eropa pada 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adanya UU Anti-Deforestasi tentu berimplikasi terhadap mitra dagang Uni Eropa, termasuk Indonesia. Sejumlah komoditas unggulan Indonesia akan terkena dampak UU Anti-Deforestasi jika tujuan ekspor mereka ke negara Uni Eropa. Asosiasi Petani Sawit Indonesia pun menyampaikan penolakan terhadap UU Anti-Deforestasi Uni Eropa dan mengancam memboikot produk Uni Eropa jika regulasi tersebut tidak dicabut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas, apa saja dampak UU Anti-Deforestasi Uni Eropa bagi Indonesia? Untuk mengetahuinya, simak penjelasan di bawah ini.
Apa Itu UU Anti-Deforestasi Uni Eropa
UU Anti-Deforestasi adalah undang-undang yang dibuat sebagai larangan impor barang hasil penggundulan hutan. Aturan ini bertujuan untuk memastikan konsumsi dan perdagangan tidak berkontribusi terhadap deforestasi dunia. Selain itu, UU Anti-Deforestasi Uni Eropa akan menjadi langkah progresif keterbukaan informasi bahwa produk yang masuk Uni Eropa tidak menyebabkan deforestasi atau degradasi hutan.
Deforestasi adalah proses penghilangan atau pengurangan luas hutan secara signifikan. Ini terjadi ketika hutan yang ada ditebangi atau dihapus secara permanen, baik untuk penebangan kayu komersial, pembukaan lahan pertanian, pertambangan, infrastruktur, maupun kegiatan manusia lainnya. Deforestasi dapat menghasilkan perubahan ekosistem, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati, peningkatan emisi gas rumah kaca, dan kerusakan lingkungan secara keseluruhan.
Adanya UU Anti-Deforestasi Uni Eropa ini tentu berdampak juga pada komoditas ekspor sawit ke Uni Eropa. Pasalnya, UU ini memiliki sejumlah kebijakan yang membatasi sawit, antara lain:
- Mewajibkan semua operator dan pedagang di Uni Eropa melakukan uji tuntas untuk memastikan semua produk komoditas yang beredar di wilayahnya terjamin legal.
- UU Anti-Deforestasi membebankan tanggung jawab kepada perusahaan yang terdaftar di negara anggota Uni Eropa untuk memastikan komoditas yang diimpor atau ekspor tidak diproduksi di lahan yang mengalami deforestasi (digunduli) setelah 31 Desember 2020.
- Mewajibkan perusahaan melacak komoditas tersebut kembali ke lahan tempat komoditas itu diproduksi.
- Produk dari negara-negara yang ditetapkan “berisiko tinggi” deforestasi akan menghadapi pengawasan lebih ketat oleh otoritas bea-cukai Uni Eropa.
Pekerja tengah melakukan pengisian CPO (crude palm oil) pada truk tangki di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 4 Agustus 2022. Tempo/Tony Hartawan
Dampak UU Anti-Deforestasi bagi Indonesia
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, peraturan ini dapat memberikan dampak pada sejumlah komoditas unggulan Indonesia. Apalagi jika ekspor komoditas tersebut ditujukan ke negara Uni Eropa. Berikut ini beberapa dampak UU Anti-Deforestasi bagi Indonesia.
1. Mempengaruhi Ekspor Minyak Sawit ke Uni Eropa
Dengan pemberlakuan UU Anti-Deforestasi, ekspor minyak sawit mentah Indonesia bisa terpengaruh. Apalagi Uni Eropa menjadi salah satu pasar utama minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dari Indonesia. Selain Uni Eropa, India dan Cina merupakan pasar utama untuk minyak sawit mentah dari Indonesia.
2. Harga Sawit Berpotensi Anjlok di Pasar Internasional
Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) pada Agustus 2022 mencatat Indonesia telah mengekspor minyak sawit atau CPO mencapai 506.800 ton, naik 51,7 persen dari 334 ribu ton pada bulan sebelumnya. Mengalihkan pasar ekspor sawit tentu akan berdampak buruk pada industri sawit dalam negeri. Hal tersebut juga dapat menyebabkan jatuhnya harga sawit di pasar internasional lantaran Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia.
3. Momentum Pemerintah Memperbaiki Tata Kelola Sawit
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Walhi dan Greenpeace, menyebutkan regulasi anti-deforestasi ini dapat menjadi momentum pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sawit yang selama ini belum maksimal. Apalagi saat ini ada seluas 3,4 juta hektare kebun sawit di kawasan hutan. Dengan adanya regulasi tersebut, pemerintah bisa lebih selektif memberikan perizinan lahan sawit dan berupaya menjaga hutan yang tersisa.
4. Petani Sawit Merasa Dirugikan
Petani sawit yang tergabung dalam beberapa asosiasi keberatan atas UU Anti-Deforestasi. Pasalnya, isinya sebagian merugikan petani sawit. Salah satunya karena pasal dalam peraturan deforestasi secara tidak adil menargetkan petani non-Eropa.
Aturan mengenai produk anti-deforestasi juga menjadi sentimen yang menyebabkan penurunan harga tandan buah segar (TBS). Per April 2023, setidaknya rata-rata penurunan harga TBS petani swadaya sebesar Rp 150-200 per kilogram.