Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

5 Keluhan Munculnya TikTok Shop, dari Predatory Pricing hingga 'Bunuh' UMKM

TikTok Shop dianggap telah memukul pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM di Indonesia

25 September 2023 | 15.47 WIB

Ilustrasi Project S TikTok Shop. TEMPO/Tony Hartawan
Perbesar
Ilustrasi Project S TikTok Shop. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sebagai platform social commerce yang menggabungkan antara fungsi media sosial dengan e-commerce, TikTok telah menuai berbagai respon dari masyarakat Indonesia. Tak selalu positif, respons negatif pun diberikan karena fungsi ganda yang dimiliki oleh media sosial tempat berbagi video pendek tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Bahkan, belakangan ini santer dikabarkan bahwa TikTok Shop telah memukul pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM di Indonesia. Pasalnya, harga yang ditawarkan toko-toko online di TikTok dianggap jauh lebih rendah dari harga pasaran yang membuat para pedagang sulit bersaing. Terbaru, para pedagang di Pasar Tanah Abang mengeluh sepi pembeli hingga menyuarakan penolakan terhadap TikTok Shop.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain pedagang pasar tradisional, TikTok Shop juga berpotensi mengancam para pedagang atau pemilik usaha di mall besar. Lantas, apa saja keluhan serta penolakan TikTok Shop dari pedagang dan stakeholder lain?

1. Predatory Pricing

Salah satu ancaman utama yang diberikan TikTok Shop adalah predatory pricing. Ini adalah praktik bisnis yang menetapkan harga suatu produk terlalu rendah untuk menghilangkan persaingan. Baik untuk pedagang di mall atau pasar, praktik ini tentu akan memberikan kerugian karena merusak harga pasaran.

Hal ini pernah dirasakan oleh salah satu pedagang tekstil di Tanah Abang yang bernama Anton. Dia menuturkan bahwa harga jual di TikTok Shop sangat murah. Bahkan, produk yang dijual di Tanah Abang, dijual TikTok dengan harga nyaris separuhnya.

Diduga produk-produk yang dijual di TikTok Shop dengan harga sangat murah itu berasal dari luar negeri atau cross border. Alhasil, para pelanggan Anton pun beralih ke platform tersebut. Imbasnya, Anton mengaku mengalami penurunan omzet nyaris 50 persen. 

Kondisi itu juga telah dicurigai oleh Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki. Teten menduga TikTok Shop telah melakukan praktik predatory pricing yang membuat pelaku UMKM lokal tak dapat bersaing di pasaran. 

Teten menilai penurunan yang dialami pedagang Tanah Abang ini bisa berlangsung secara permanen. Pasalnya, pedagang lokal tetap tidak mampu bersaing meskipun sudah beradaptasi dengan menjual produknya melalui e-commerce juga. Teten kemudian mencurigai adanya subsidi dari platform TikTok untuk melakukan praktik predatory pricing ini. 

Hal ini membuat Teten dengan keras menyatakan penolakan terhadap social commerce tersebut. Khususnya terhadap penjualan barang impor melalui marketplace. Dia menegaskan pemerintah Indonesia perlu melihat arus barang yang dijual melalui platform online. Apabila terbukti penjual atau TikTok Shop memperdagangkan barang ilegal, maka bisa dikenakan aturan hukum pidana. Platform juga dapat dinilai melanggar Undang-Undang tentang Kepabeanan.

Sementara, pihak TikTok membantah adanya dugaan praktik predatory pricing yang dilakukannya di Indonesia. Predatory pricing merupakan praktik menjual barang dengan harga sangat murah. Langkah tersebut diduga mengakibatkan pelaku usaha lainnya tak dapat bersaing, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal di Indonesia. 

"Sebagai platform, TikTok tidak dapat menentukan harga produk," kata TikTok Indonesia kepada Tempo melalui email pada Sabtu, 23 September 2023. 

2. Jadi Social Commerce 



Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan atau Zulhas mengatakan seharusnya TikTok tidak merangkap fungsinya sebagai social commerce. 

“Izin gak boleh satu. Dia media sosial, jadi social commerce. Nanti mati yang lain,” ujar Zulhas di Jakarta, Senin, 11 September 2023.

Zulhas menjelaskan, dengan TikTok merangkap media sosial dan social commerce, produk hasil UMKM bisa jadi kalah bersaing. Pasalnya, social commerce dengan algoritmanya memungkinkan market intelligence dilakukan dan mengarahkan konsumennya ke produk yang mereka hasilkan. 

3. TikTok Mampu Melihat Pola Pembelian Konsumen

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menekankan pemerintah perlu mendorong lebih kuat soal akses pendanaan serta pendampingan teknis dan manajemen kepada pelaku UMKM. Sebab, Faisal menilai, TikTok memiliki teknologi canggih yang bisa mengancam kondisi UMKM lokal. Pasalnya, TikTok dapat melihat pola pembelian konsumen, sehingga memahami produk apa yang paling disukai pembeli di Indonesia beserta tingkat harganya.

“Nah jadi kalau memang ingin mendorong UMKM sebagai backbone Indonesia, ya aturan tadi tidak cukup. UMKM dalam negeri juga harus lebih kompetitif, ini berarti dari hulu sampai ke hilir,” ujar Faisal. 

4. Aturan Barang yang Diperjualbelikan 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyarankan agar pemerintah perlu mengatur COI (Country of Origin) barang yang diperjualbelikan di e-commerce, terutama yang dilakukan secara cross border atau lintas negara. 

Dengan meregulasi COI barang yang diperdagangkan, pemerintah memiliki ada data yang jelas soal berapa porsi impor di marketplace tersebut. Pasalnya, selama ini banyak platform yang mengaku memberi kesempatan pada UMKM tapi sebatas jadi reseller barang impor, bukan sebagai produsen.

Oleh karena itu, Chima juga meminta agar pemerintah mengintegrasikan seluruh data e-commerce dengan Bea Cukai dan perizinan impor di Kementerian Perdagangan. Menurut Bhima, data tersebut masih menjadi masalah, sehingga kebijakan tidak terintegrasi antar kementerian lembaga.

“Kalau data sudah sinkron, barang masuk pelabuhan bisa dideteksi untuk masuk green line atau red line, sebelum dijual ke platform,” tuturnya.

5. TikTok Ganggu Pasar E-Commerce

Momentum Works—perusahaan yang mengembangkan kerja sama strategis di bidang teknologi—menyebutkan bahwa TikTok Shop diproyeksikan mencapai 13,2 persen pangsa pasar ecommerce di Asia Tenggara pada 2023. Hal itu berdasarkan studi yang berjudul “The TikTok Shop Playbook: How ecosystem stakeholders should respond to the ecommerce insurgent”.

Beberapa yang disoroti dalam laporan Weihan Chen yakni pertama TikTok Shop telah menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan di Asia Tenggara sejak 2021. Platform itu tumbuh dari US$ 0,6 miliar gross merchandise value (GMV)—akumulasi nilai pembelian dari pengguna aplikasi—pada 2021 menjadi US$ 4,4 miliar pada 2022, dan berada di jalur yang tepat untuk mencapai target US$ 15 miliar pada 2023. 

“Hal ini akan menempatkan TikTok Shop pada posisi yang sama dengan pemain lainnya seperti Lazada dan Tokopedia,” tulis laporan itu.

Kedua, pasar TikTok Shop telah berkembang pada 2023, termasuk seluruh pasar utama di Asia Tenggara, Inggris, Arab Saudi, dan Amerika Serikat. Meskipun ada banyak masalah operasional dan organisasi dengan pertumbuhan yang cepat itu.

Contoh selanjutnya, perusahaan saudara TikTok, Douyin, telah mengganggu pesanan pasar online di Cina bersama dengan e-commerce lainnya Pinduoduo, mengirimkan pangsa pasar Alibaba dari di atas 80 persen menjadi kurang dari 50 persen dalam enam tahun. Secara global, TikTok Shop menjadi ancaman bagi pasar e-commerce yang ada.

“Termasuk Shopee dan Lazada di Asia Tenggara, serta Amazon di Amerika dan Timur Tengah,” tertulis dalam laporan Momentum Works.

5. Berisiko Bikin Mati UMKM

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menilai pendapatan dari perdagangan online justru lebih banyak dinikmati oleh asing. Pasalnya, barang-barang yang dijual lewat platform online seperti TikTok Shop lebih banyak berasal dari luar negeri. 

Sebagai Menteri Koperasi dan UKM, dirinya hanya ingin supaya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia tidak mati karena masuknya produk asing ke Tanah Air. Sebab lewat TikTok Shop, harga produk yang dijual sangat murah sehingga membuat produk lokal kalah saing. 

"Saya bukan anti investasi asing di dalam digital ekonomi itu. Jangan dijadikan tafsir itu. Ada yg tafsirkan saya mau nutup TikTok. Mana bisa Menteri Koperasi tutup TikTok," kata dia di Convention Hall SMESCO, Jakarta Selatan pada Kamis, 21 September 2023.

 

RADEN PUTRI | M KHORY ALFARIZI | RIANA SANUSI PUTRI

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus