Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bergeming BI Dikepung Stagflasi

BI mempertahankan tingkat suku bunga acuan sebesar 3,5 persen. Keputusan itu diambil di tengah risiko stagflasi di berbagai negara. 

24 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Bank Indonesia mempertahankan tingkat suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5 persen. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI periode Juni 2022. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan adalah invasi Rusia ke Ukraina, pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat dan berbagai negara maju, serta kenaikan angka kasus dan kebijakan “nol Covid-19” di Cina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“BI tidak menaikkan suku bunga ketika (bank sentral) yang lain menaikkan. Itu bukan berarti akan mengganggu stabilitas,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BI, Perry mengimbuhkan, menilai ekonomi Indonesia masih akan bertumbuh dengan dukungan stabilitas nilai tukar dan kondisi makro sistem keuangan yang terjaga. Meskipun saat ini nilai tukar rupiah sedang mengalami depresiasi, ia menilai persentase penurunannya hanya 4,14 persen atau lebih baik dibanding mata uang sejumlah negara lainnya.

Menurut Perry, keputusan BI ini sejalan dengan kebutuhan untuk mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, sembari tetap mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah naiknya tekanan eksternal serta meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara. Stagflasi adalah kondisi pelemahan ekonomi yang dibarengi kenaikan inflasi.

Dianggap Sudah Tepat

Pakar ekonomi dari PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, menyebutkan keputusan BI menahan suku bunga acuan sudah tepat. Dia beralasan, saat ini kondisi keseimbangan internal ataupun eksternal Indonesia masih memungkinkan untuk menahan kenaikan suku bunga. “Tapi tantangan ke depan cukup berat karena banyak bank sentral yang menaikkan suku bunga dengan sangat agresif,” ujar David.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy, juga sepakat dengan keputusan BI itu. Dia mengatakan sikap bank sentral menahan suku bunga acuan diambil berdasarkan pelbagai pertimbangan dan tidak semata-mata melihat dari kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat alias The Fed.

Yusuf mengakui nilai suku bunga The Fed dapat menjadi pertimbangan dalam mengambil kebijakan BI. Tapi dia mengingatkan BI supaya melihat beberapa faktor sebagai pertimbangan. Salah satunya proses pemulihan ekonomi yang sedang berjalan.

Aktivitas bongkar muat uang pecahan Rp50 ribu dan Rp 100 ribu di Cash Center Bank Mandiri, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Mencegah Stagflasi

Dalam rangka mencegah risiko stagflasi, Perry melihat pentingnya koordinasi antara pemangku kebijakan fiskal dan moneter. Salah satu kebijakan yang telah diterapkan pemerintah berupa peningkatan subsidi energi dan bantuan sosial. Ia mengatakan subsidi tersebut mencerminkan ruang fiskal pemerintah cukup baik.

“Kami terus melakukan normalisasi kebijakan moneter, menaikkan GWM (giro wajib minimum), memperkuat operasi moneter, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, dan kebijakan-kebijakan lainnya,” tutur Perry.

Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah, memuji sekaligus mengaku khawatir akan keputusan BI. Ia mengatakan keputusan BI akan berakibat buruk jika ternyata kalkulasi bank sentral meleset. “Pasar merespons negatif, pasar keuangan bergejolak, investor yang sudah di dalam negeri memilih investasi ke negara lain. Bila itu yang terjadi, rupiah akan melemah,” kata Piter.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, memandang bahwa BI lebih memprioritaskan percepatan penyaluran kredit dibanding mempertahankan kurs rupiah dari risiko keluarnya arus investasi di pasar keuangan.

Bhima menambahkan, penahanan suku bunga ini menghasilkan konsekuensi berupa cadangan devisa yang semakin menurun. Terlebih kebutuhan untuk pembayaran utang luar negeri diperkirakan meningkat pada paruh kedua 2022.

“BI perlu memperhatikan arus modal keluar setelah ditahannya suku bunga dan proyeksi kenaikan Fed rate yang lebih agresif. Jika selisih antara yield (imbal hasil) US Treasury dan SBN semakin sempit, bukan tidak mungkin BI akan menaikkan suku bunga 50 basis point pada RDG berikutnya,” kata Bhima.

JELITA MURNI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus