Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumat pagi tiga pekan lalu menjadi hari terakhir Lenny Sugihat memimpin rapat sebagai Direktur Utama Perum Bulog. Di ruang pertemuan direksi di lantai satu kantor pusat mereka di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, hadir dua puluhan peserta dengan satu agenda: mematangkan rencana pembentukan Badan Pangan Nasional.
Apa pun ujung dari rancangan tentang badan itu nantinya, Lenny sudah ada di luar arena. Tiga hari setelah rapat pada Jumat pagi tersebut, dia dicopot dari posisinya di Bulog. Mantan Direktur Pengendalian Risiko Kredit di Bank Rakyat Indonesia itu digantikan oleh sejawatnya dari BRI, Djarot Kusumayakti, yang sebelumnya menjabat Direktur Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di sana.
"Pembentukan lembaga ini penting karena merupakan amanat Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012," kata anggota Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat, Herman Khaeron, Selasa pekan lalu. Herman ada di antara peserta yang ikut dalam pembahasan itu. Tampak pula anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sri Adiningsih; Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Srie Agustina; guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa; direksi Bulog; serta perwakilan dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Koordinator Perekonomian. Mantan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menjadi moderator diskusi.
Undang-Undang Pangan menyebutkan batas akhir bagi pemerintah untuk membentuk lembaga pangan itu adalah tiga tahun sejak undang-undang disahkan. Artinya, lembaga baru itu harus sudah terbentuk pada November tahun ini. Faktor lain yang membuat agenda ini semakin mendesak adalah kian seringnya harga bahan pangan utama rakyat naik-turun tak terkendali. Bulog, sebagai satu-satunya lembaga yang diberi tugas mengurus pasokan dan stabilisasi harga, seperti tak berdaya menghadapi permainan pedagang besar yang bekerja bak mafia.
Ini pula yang turut membumbui beragam spekulasi di balik pencopotan Lenny. Diangkat oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno pada 31 Desember 2014, Lenny efektif bekerja sejak awal tahun ini. Selama dia pegang hingga pekan pertama Juni, Bulog hanya mampu menyerap 1,2 juta ton beras petani. Sedangkan target Presiden Joko Widodo bagi Bulog adalah 4 juta ton hingga akhir 2015.
Persoalannya, kata Herman, perangkat Bulog di era setelah Orde Baru memang tak memadai lagi jika dibebani mandat sebagai penyangga pasokan dan harga kebutuhan pangan nasional. "Fungsinya sudah diamputasi sebagai syarat pinjaman ke IMF (Dana Moneter Internasional), sehingga hanya bisa menangani beras."
Bulog sebagai perusahaan umum di bawah Kementerian BUMN juga dianggap tak mungkin efektif menyerap beras petani. Sebab, mereka harus membeli secara komersial, lalu menjualnya dalam operasi pasar dengan harga murah. Pada saat bersamaan, perusahaan dituntut tetap untung, sehingga setoran dividen ke negara lancar. "Ini kan tidak masuk akal," ujar Herman. Jangankan untung, yang ada tahun ini pemerintah justru harus menombok Rp 3 triliun sebagai suntikan penyertaan modal tambahan.
Seorang pejabat Bulog bercerita, Lenny juga dinilai kelewat kaku dan kurang berani mengambil risiko. Petinggi pemerintah yang lain membenarkan adanya kesan itu. Dalam rapat-rapat kabinet, kata dia, Lenny sering berdebat dengan Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Lenny ragu terhadap data produksi dan informasi panen dari Kementerian Pertanian. Sebab, manakala anak buahnya turun ke sawah-sawah sesuai dengan arahan Kementerian, sering petugas Bulog tak mendapatkan beras.
Pernah, saking kesalnya setelah disalahkan, di hadapan Jokowi, Amran sampai bertanya apakah Lenny pernah ke Kementerian Pertanian untuk melihat kinerja jajarannya. Setelah Lenny menjawab "belum", Amran langsung berpaling kepada Jokowi, "Cukup, Pak Presiden."
Lenny membantah anggapan dan spekulasi menyangkut pemecatannya. "Rencana revitalisasi Bulog, pembahasan tentang Badan Pangan Nasional, dan pencopotan saya adalah hal-hal yang berbeda," katanya Rabu pekan lalu. Menurut dia, "Belum tentu rencana-rencana tersebut akan dijalankan."
Dia memilih diam ketika ditunjukkan artikel berita yang menyebut Presiden Joko Widodo sendiri yang menyatakan bahwa nantinya Bulog tidak hanya mengurus beras, tapi juga bahan pokok lain. Dalam rangka persiapan itulah, kata Presiden, pergantian direksi dilakukan.
LALU di mana posisi Bulog apabila Badan Pangan Nasional terbentuk? Herman, yang turut dalam panitia kerja penyusunan Undang-Undang Pangan di DPR, menyatakan bahwa badan baru itu dirancang sebagai regulator. Adapun Bulog menjadi operator di bawahnya. "Bentuk Bulog nantinya bisa sebagai badan layanan umum (BLU)," katanya.
Setelah menjadi BLU dan bebas dari kewajiban bisnis sebagai BUMN, baru peran Bulog akan ditambah. Nantinya mereka tak hanya mengurus beras, tapi juga bahan pangan lain, seperti gula, jagung, dan kedelai.
Perombakan yang hendak mengembalikan vitalitas Bulog seperti zaman sebelum reformasi ini memang direncanakan, bahkan sejak Kabinet Kerja belum terbentuk. Guru besar Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa, merupakan salah satu penggagasnya. "Waktu itu saya di Task Force Kedaulatan Pangan di bawah Deputi Kesejahteraan Rakyat Tim Transisi, Pak Anies Baswedan," kata Dwi, Selasa pekan lalu.
Bedanya, dalam rekomendasi yang dibuat saat itu, kata Dwi, Bulog semestinya diubah menjadi lembaga negara non-departemen. Maka Bulog akan mendapat anggaran penuh dari pemerintah untuk menjadi penyangga kebutuhan pangan nasional dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Dalam perkembangannya, rekomendasi itu tak lagi dipakai lantaran tak sesuai dengan prinsip reformasi birokrasi, yang mewajibkan pemisahan regulator dan operator. Pemisahan ini harus dilakukan agar Bulog tak menjadi lembaga super yang rentan menjadi ajang korupsi seperti dulu. "Regulator dan operator harus berbeda, meski berhubungan dekat satu sama lain," kata Bayu Krisnamurthi, yang juga pernah menjabat Wakil Menteri Pertanian.
Menurut Bayu, pembentukan Badan Pangan Nasional hanya memerlukan "penegasan kebijakan". Aparat yang mengisinya pun bisa diambil dari Badan Ketahanan Pangan, yang kini ada di bawah Kementerian Pertanian, dan perwakilan dari instansi lain yang terkait.
MENTERI Perdagangan Rachmat Gobel sedang berdiskusi di kantor Tempo saat datang panggilan telepon dari Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Dia bilang kepada koleganya itu, "Untuk pengendalian semua barang impor, sebaiknya di Kementerian Perdagangan. Ekspornya juga."
Rachmat mengakui pembicaraan singkatnya itu bertalian dengan rencana pembentukan Badan Pangan Nasional. Amran menelepon karena Kementerian Pertanian merupakan koordinator untuk menyusun peraturan presidennya.
Meski begitu, Rachmat menyatakan belum tahu detail urusan ini, karena belum diajak bicara dalam rapat resmi mengenai draf peraturan itu. Dari Kementerian Perdagangan, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri mengaku pernah sekali diundang untuk membahasnya di kantor Bulog. "Semacam diskusi terfokus. Tapi bukan pembicaraan resmi antar-kementerian."
Rachmat mempertanyakan mengapa dalam rancangan Badan Pangan Nasional itu ada jabatan Deputi Pengadaan, yang akan diberi tugas mengurusi impor bahan pangan. "Jangan overlapping dengan kitalah. Kalau untuk fungsi perencanaan seperti Bappenas, tapi khusus pangan, silakan," katanya. Dia juga mendukung Bulog tak lagi diperlakukan sebagai BUMN. "Diperkuat seperti dululah, seperti saat Orde Baru."
Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan masih menyiapkan draf aturan tentang Badan Pangan Nasional agar kelar sebelum tenggat pada November mendatang. "Sedang diproses. Badan ini nantinya berfungsi sebagai koordinator semua stakeholder pangan," ujarnya Rabu pekan lalu.
Direktur Utama Bulog yang baru, Djarot Kusumayakti, mengaku sejak awal mengikuti diskusi yang akan berdampak pada fungsi institusi yang ia pimpin itu. "Saya masuk ke kelompok yang membahas hal itu sebagai pendengar pasif. Dari situ, saya mendapat gambaran bahwa peran Bulog akan diperluas," katanya. "Saya bilang ke teman-teman harus siap. Setiap kali komandan mengibarkan bendera, kita tidak boleh tertatih-tatih."
Pingit Aria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo