Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Merpati sudah diusulkan untuk ditutup sejak 2013.
Pemerintah diminta memperketat pengawasan BUMN bermasalah.
Ketika pertama kali ditangani PPA, Merpati sudah menanggung beban utang yang besar dari masa lalu.
JAKARTA – Lika-liku upaya penyelamatan PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) pada akhirnya berujung pada pembubaran badan usaha milik negara (BUMN) tersebut. Presiden Joko Widodo membubarkan Merpati melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2023 yang diteken pada 20 Februari 2023.
Likuidasi Merpati sejatinya menjadi opsi yang sudah lama mengemuka. Bahkan sejak 2013 atau 10 tahun lalu. Bekas Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Boyke Mukijat, mengatakan opsi tersebut sempat dikemukakan lantaran melihat kondisi perusahaan kala itu. "Kami buka opsi dilikuidasi, tapi tidak disetujui stakeholders," ujar Direktur Utama PPA periode 2008-2013 itu kepada Tempo, kemarin.
Pemerintah kala itu memilih untuk memberi kesempatan restrukturisasi kepada Merpati. Sebagai catatan, PPA adalah perusahaan pelat merah yang ditunjuk pemerintah untuk menangani restrukturisasi Merpati sejak 2008.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boyke mengatakan, sejak pertama kali ditangani PPA, Merpati sudah menanggung beban utang dari masa lalu yang relatif besar. Sementara itu, aset-aset yang dimiliki perseroan juga sudah tua dan sebagian menjadi jaminan pada pihak ketiga. Berdasarkan catatan Tempo, utang Merpati saat itu mencapai Rp 2,8 triliun dengan aset yang dimiliki hanya Rp 999 miliar.
Di sisi lain, kata dia, perseroan juga memiliki jumlah pegawai yang banyak dan sebagian besar sudah lanjut usia. "Yang juga perlu digarisbawahi adalah bisnis model Merpati yang kurang tepat dan memaksakan untuk bersaing dengan Garuda," ujar Boyke.
Setelah mendapat penugasan untuk menyehatkan kembali Merpati, Boyke mengatakan PPA memilih menggunakan pendekatan restrukturisasi menyeluruh agar perseroan bisa tumbuh dan berkembang secara bertahap. Untuk bisa berhasil, kata dia, restrukturisasi memerlukan pembiayaan besar dan harus dicairkan sesuai dengan tahapan tanpa boleh molor.
Restrukturisasi juga harus dilakukan di bawah pengendali yang obyektif. "Atau tutup saja dan bikin airlines baru yang sehat," kata Boyke. Dalam perjalanannya, ia mengatakan, kendati pemerintah memilih restrukturisasi, realisasinya tidak sesuai dengan usulan PPA. Salah satunya karena perseroan diharapkan diberi keleluasaan seperti perusahaan maskapai pelat merah lainnya, Garuda Indonesia.
Ujung-ujungnya, upaya tersebut berjalan tidak sesuai dengan rencana dan Merpati pada akhirnya tidak bisa diselamatkan. "Menurut saya, malah jadi mubazir karena mengulur waktu untuk membayar biaya rutin," kata Boyke.
Karyawan PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) melakukan aksi damai di depan gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, 2014. Dok TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjio
Pembubaran Merpati Dianggap Tepat
Analis senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny Sasmita, mengimbuhkan, pembubaran Merpati sudah tepat lantaran tidak memungkinkan lagi secara bisnis. Dari sisi strategis pun, menurut dia, perseroan bukan jantung konektivitas nasional yang berbahaya kalau ditutup.
"Jadi, tak ada kerugian yang akan dialami pemerintah dari pembubaran tersebut karena sudah pailit sejak lama," ujarnya. Apalagi saat ini pemerintah masih memiliki dua perusahaan maskapai pelat merah, Garuda Indonesia dan Pelita Air.
Ia bahkan menyarankan pemerintah ke depan konsisten melakukan langkah yang sama kepada BUMN lainnya yang sudah tidak layak secara bisnis. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan tersebut tidak membebani anggaran negara lantaran perlu menyuntik penyertaan modal negara (PMN).
Ronny mengatakan ada tiga kriteria untuk menilai kelayakan BUMN untuk dipertahankan, yakni urgensi strategis, keterkaitan dengan kepentingan publik, dan kelayakan secara bisnis. "Kalau tidak terpenuhi, layak dibubarkan atau didivestasi," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, menilai pembubaran Merpati menjadi langkah yang bagus sehingga penyelesaian kewajiban kepada para pihak, termasuk pesangon bagi bekas pegawai, bisa ditunaikan. Ia mengatakan kasus Merpati ini harus menjadi pelajaran bagi pemerintah, khususnya Kementerian BUMN, untuk mengawasi BUMN yang bermasalah secara ketat.
Musababnya, ia melihat ada kegagalan fungsi Merpati antara public service obligation (PSO) dan komersial. Sebagai informasi, Merpati sejatinya memiliki tugas utama menjadi pionir untuk masuk ke wilayah terpencil alias menjalankan tugas PSO.
Seharusnya, kata Toto, dua hal ini bisa berjalan beriringan. Kegagalan itu bisa disebabkan, antara lain, oleh keterlambatan dana PSO, kekeliruan memilih pesawat, dan penyebab lainnya. "Jadi, pengawasan dari pihak Kementerian BUMN juga perlu dipertanyakan kenapa gagal melakukan early warning monitoring sebelum tutup operasi di 2014," tuturnya.
Adapun Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI), Alvin Lie, mengatakan beberapa hal yang harus diperhatikan pemerintah di kemudian hari adalah menentukan misi sebuah BUMN: murni bisnis, menjalankan program pemerintah, atau keduanya. Dari fungsi tersebut pun, pemerintah harus bisa mendukung melalui pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang memadai dan tepat waktu agar kesehatan perusahaan tidak terganggu.
Selain itu, menurut dia, pemerintah harus bisa melakukan tindakan korektif terhadap BUMN yang bermasalah sebelum persoalan tersebut membesar. Khusus untuk BUMN penerbangan, Alvin mengatakan pemerintah perlu mempertegas peran, segmen pasar yang dibidik, serta pola kerja samanya. "Sehingga tidak tumpang-tindih atau saling kanibal," ujarnya.
Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M. Rizal Taufikurahman, mengingatkan pemerintah agar hanya memberikan mandatori program strategis kepada BUMN yang sehat dari sisi keuangan dan manajemen. Bagi perusahaan yang memiliki gelagat bermasalah, pemerintah harus segera menentukan berbagai upaya penyelesaian.
"Disarankan segera perbaiki manajemen perusahaan, injeksi modal bagi BUMN yang masih bisa diselamatkan, mencari investor dan market baru, serta menjaga bisnis iklim dan ekosistem yang saling memperkuat satu BUMN dengan BUMN lainnya," katanya.
Pada 13 Januari lalu, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan sejak menjadi menteri pada Oktober 2019, dia melakukan melakukan bersih-bersih di BUMN. Mulai dari mengungkap kasus Jiwasraya dan Asabri, korupsi di Garuda Indonesia yang hampir saja membuat bangkrut dengan kerugian negara Rp 8,8 triliun, sampai menghapuskan stigma BUMN tukang utang. "Walau dalam tekanan pada masa pandemi, kinerja BUMN menguat signifikan pada triwulan ketiga 2022. Stigma BUMN tukang ngutang juga kita patahkan. Berbagai terobosan, konsolidasi, perbaikan sistem, memperkuat kepemimpinan, menjadi kunci dan bekal transformasi yang berkelanjutan," ujar Erick.
CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo