Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Ketatnya perebutan pasar wisatawan akhirnya menumbangkan Pegipegi dari daftar pemain utama online travel agent (OTA) di Indonesia.
Setelah masa pandemi, pasar kembali memakai jasa agen konvensional. Salah satu alasannya adalah konsumen ingin berkonsultasi langsung soal perjalanan.
Di tengah musim dingin pendanaan teknologi, para investor tidak berminat kepada bisnis OTA yang cenderung bersifat business-to-consumer (B2C). Yang lebih dipilih adalah B2B karena sifat bisnisnya lebih pasti rutin.
JAKARTA – Ketatnya perebutan pasar wisatawan akhirnya menumbangkan Pegipegi dari daftar pemain utama online travel agent (OTA) di Indonesia. Wakil Ketua Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Anton Sumarli menengarai pangsa pengguna OTA semakin hari dikuasai segelintir operator.
Mendapat informasi dari beberapa maskapai penerbangan yang bermitra dengan Astindo, dia mengatakan pengeluaran modal Pegipegi tak sebanding dengan penambahan konsumen baru. “Exposure (penetrasi) produk Pegipegi kalah dengan OTA lain. Persaingannya sangat ketat,” katanya kepada Tempo, kemarin.
Setelah hampir 12 tahun beroperasi di Indonesia, layanan Pegipegi resmi ditutup pada 11 Desember lalu. Situs web resmi penyedia jasa pemesanan hotel dan tiket angkutan itu sempat tidak bisa diakses beberapa hari sebelum tanggal tersebut. Senin lalu, manajemen OTA yang berdiri pada Mei 2012 itu menyampaikan ucapan perpisahan kepada pelanggan. "Menjadi solusi travel kamu merupakan pengalaman yang tak tergantikan bagi Pegipegi," begitu bunyi kutipannya.
Walau menutup pemesanan, Pegipegi memastikan pelanggan masih bisa memakai layanan hotel dan transportasi yang sudah dibeli. Manajemen pun menyediakan e-mail bagi konsumen yang ingin mengajukan pertanyaan, permintaan pengembalian dana atau refund, serta pengaduan perihal produk Pegipegi.
Menurut Anton, pasar pengguna OTA terus bertambah dan menjadi pesaing agen wisata konvensional selama sedekade terakhir. Namun, masih merujuk pada informasi mitra yang tidak disebutkan identitasnya, dia mengatakan pertumbuhan pasar OTA mulai stagnan, terutama pasca-masa pandemi. Pemasaran promo tiket secara fisik atau sering disebut travel fair, dia meneruskan, kembali dikejar oleh wisatawan domestik dan internasional.
“Setelah masa pandemi, pasar kembali memakai jasa agen konvensional. Salah satu alasannya adalah konsumen ingin berkonsultasi langsung soal perjalanan,” tuturnya.
Baik agen wisata tradisional maupun OTA memerlukan dana jumbo untuk pemasaran. Persaingan di kalangan OTA, menurut Anton, semakin ketat seiring dengan perkembangan layanan digital. Setelah bakar duit sekalipun, OTA kesulitan mendapatkan konsumen loyal. “Karena karakter konsumen OTA selalu mencari promo sehingga cepat beralih,” kata dia. “Ada masanya OTA kehabisan anggaran.”
Sumber Tempo yang mengetahui proses penutupan Pegipegi mengatakan bukan hanya pelanggan OTA tersebut yang kaget oleh penutupan layanan. Sebelum dibubarkan per 11 Desember, sebanyak lebih dari 100 pegawai Pegipegi menyangka bisnis mereka masih berlanjut hingga Januari 2024. Musababnya, tim Pegipegi masih menjalankan kampanye paket layanan untuk liburan Natal dan tahun baru. “Tapi investor punya prioritas lain. Akhirnya keputusannya menyetop layanan,” ujarnya, kemarin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo