Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Impor Lagi Setelah Cacar Sapi

Keran impor sapi asal Australia dibuka lagi setelah ditutup akibat penyebaran penyakit cacar sapi atau lumpy skin diseases.

12 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah RI dan Australia sepakat menginspeksi kesehatan sapi secara bersama-sama.

  • Penangguhan impor sapi Australia mencapai 60 hari.

  • Peternak berharap pemerintah punya program penggantian calon indukan dan indukan sapi yang terkena penyakit.

JAKARTA – Keran impor sapi bakalan dari tujuh fasilitas peternakan di Australia kembali terbuka setelah sempat ditutup akibat kasus penyakit cacar atau lumpy skin diseases (LSD). Pemerintah memastikan kebijakan ini tak akan menambah parah penyebaran wabah di dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama ini, Indonesia berlangganan sapi dari 60 fasilitas peternakan di Australia. Namun, pada Juli lalu, pemerintah mendeteksi secara klinis penyakit LSD pada hewan yang dikirim dari tujuh fasilitas peternakan di Australia. Kementerian Pertanian langsung menangguhkan impor hingga 12 September 2023 sambil menyelidiki asal penyakit tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian, Bambang, menuturkan hasil pengujian laboratorium di Indonesia menunjukkan indikasi sumber penyakit berasal dari Australia. "Atau terjadi penularan di atas kapal selama perjalanan," ujarnya kepada Tempo, kemarin. Namun Departemen Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Australia (DAFF) menunjukkan hasil yang berbeda serta mengklaim fasilitas tersebut bebas lumpy skin diseases.

Pemerintah sempat berencana memperpanjang larangan impor tersebut. Namun, pada 7 dan 8 September lalu, Kementerian Pertanian dan DAFF duduk bersama membahas temuan masing-masing. Dalam forum itulah diputuskan pencabutan penangguhan impor sapi bakalan. 

Sapi impor tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 2015. TEMPO/Tony Hartawan

Bambang menuturkan pihaknya masih meyakini hasil pengujian di dalam negeri. "Namun, mengingat waktu penundaan yang diberikan sudah cukup lama, yaitu 60 hari, keputusan ini akan merugikan bagi Indonesia ataupun Australia. Karena itu, diputuskan untuk membuka kembali keran impor," ujar dia. Syaratnya, Australia wajib menjamin sapi yang dikirim dalam kondisi sehat. Badan Karantina Pertanian juga bakal tetap melakukan pengujian di tempat pemasukan dan melakukan karantina.

Menurut Bambang, Australia juga sepakat melakukan upaya deteksi dini LSD di seluruh fasilitas peternakan mereka. Pemerintah negara tersebut juga bakal secara rutin mengawasi penyakit hewan untuk menjamin status kesehatan hewannya. Secara berkala, mereka akan memberikan laporan hasil pengawasan kepada Indonesia dan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia. 

Meski penangguhan impor sudah diangkat, Bambang mengatakan, kedua negara masih melanjutkan investigasi soal sumber LSD. Australia akan menyampaikan proposal program investigasi bersama terhadap tujuh fasilitas peternakan yang ditangguhkan. "Kami akan melakukan joint inspection deteksi LSD di semua rantai usaha peternakan pada tujuh fasilitas peternakan di Australia."

Penanganan LSD

Penyakit LSD terdeteksi mulai menyebar di dalam negeri sejak akhir tahun lalu. Bambang menuturkan Kementerian Pertanian terus menggencarkan pengawasan dan pencegahan. Strateginya antara lain membatasi lalu lintas hewan, melaksanakan karantina, melakukan disinfeksi dan desinsektisasi pada ternak ataupun alat angkut, serta mengendalikan vektor di instalasi karantina hewan. 

Untuk penanganan penyakit cacar tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Nanang Purus Subendro, menilai langkah pemerintah cenderung lambat. Menurut dia, masih banyak peternak yang belum mendapat vaksin untuk penyakit tersebut. "Penanganannya tidak seresponsif ketika wabah PMK (penyakit mulut dan kaki) terjadi," tuturnya.

Menghambat swasembada daging sapi.

Nanang mengatakan, meski tidak mematikan seperti PMK, LSD tetap merugikan peternak. Penyakit tersebut menurunkan bobot hewan. Jika dijual, harganya bisa turun lebih dari 30 persen dari harga pasaran. Saat dipotong pun, nilainya berkurang lantaran kulit sapi tidak laku lagi. 

Tempo berupaya meminta konfirmasi Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Nasrullah, mengenai perkembangan penanganan LSD. Namun dia tak memberikan tanggapan.

Penyebaran wabah penyakit sapi belakangan mengganggu pasokan di dalam negeri. Nanang menyatakan PMK menyebabkan banyak peternak kehilangan sapi, termasuk indukan atau ternak khusus untuk pengembangbiakan. Dia tak memiliki data persis populasi sapi yang hilang. Karena itu, ia menanti adanya sensus pemerintah. "Kalau pemerintah memiliki program untuk menggantikan indukan atau calon indukan yang kemarin terkena dampak PMK, itu hal bagus," ujarnya. 

Jika populasi sapi indukan ditambah, Nanang menuturkan, bukan tak mungkin pemerintah mencapai target swasembada daging sapi. Meskipun faktornya bukan hanya itu. Hal lain yang tak kalah penting untuk mencapai target tersebut, kata dia, adalah menjaga harga daging sapi di dalam negeri. Keinginan pemerintah untuk terus menekan harga daging sapi kontradiktif dengan target swasembada. "Peternak tak mungkin meningkatkan populasi sapi jika harganya tak menarik."

VINDRY FLORENTIN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus