Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Akhirnya Tetap Naik

Setelah ditunda, harga bensin dan solar bersubsidi bisa naik mulai Mei. Harga kebutuhan pokok sudah lebih dulu melonjak.

9 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari masih pagi, Rabu pekan lalu. Tapi Rukiyah sudah berdebat dengan Ipah, pedagang sayur dan kebutuhan dapur lainnya di pasar kecil di Kampung Sugutamu, Mekarjaya, Depok, Jawa Barat. "Kenapa telur masih Rp 16 ribu sekilo? Katanya, minggu lalu naik gara-gara harga bensin mau naik. Sekarang bensin enggak jadi naik, kok, telur enggak turun?" Rukiyah membuka protesnya.

Si pedagang, yang sama-sama berusia 50-an tahun, berkukuh hanya mengikuti harga yang dipatok pemasok. Ipah berjanji segera memasang harga baru yang lebih rendah jika sudah ada perubahan dari para distributor. "Mungkin enggak lama lagi," ujarnya berspekulasi.

Ipah tak tahu penurunan harga yang ia janjikan boleh jadi tak akan pernah terwujud. Sebab, para pedagang di pasar induk yang jadi sumber pasokannya belum berencana menyesuaikan harga.

Di Pasar Induk Rau, Serang, Banten, kondisinya sama saja. "Harga BBM batal naik tidak ada pengaruh. Harga sembako (sembilan bahan pokok) sudah naik dua minggu sebelumnya," kata Masuroh, 45 tahun, pedagang bahan pokok di pasar itu, yang ditemui Kamis pekan lalu. "Petani dan penjual di pasar sudah telanjur memasang harga tinggi."

Janji Ipah akan makin jauh dari kenyataan apabila hitung-hitungan pemerintah dan prediksi atas harga minyak dunia benar-benar terjadi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan, bila harga minyak mentah Indonesia (ICP) menyentuh angka US$ 134,36 per barel pada April ini, harga bensin dan solar bersubsidi bisa naik mulai Mei mendatang. "Syaratnya telah terpenuhi. Pemerintah punya wewenang menyesuaikan harga," ujarnya dalam konferensi pers di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Senin pekan lalu.

Jero mengacu pada Pasal 7 ayat 6a Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan, yang akhir pekan sebelumnya disepakati Dewan Perwakilan Rakyat lewat voting. Di situ disebutkan, pemerintah berwenang menyesuaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi jika rata-rata ICP naik atau turun lebih dari 15 persen dalam kurun enam bulan berjalan. Pembandingnya adalah harga yang dipatok dalam APBN Perubahan, yakni US$ 105 per barel.

Wakil Menteri Energi Widjajono Partowidagdo menambahkan, hitungan enam bulan berjalan itu bukan sejak APBN Perubahan disahkan. "Hitungannya bisa mundur, dari harga ICP pada Oktober 2011," ujarnya. Tapi ia memastikan, sepanjang April ini, harga bahan bakar minyak belum akan naik seperti diharapkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo.

Lebih lanjut Jero menjelaskan hitungannya. Pada Oktober tahun lalu, ICP tercatat US$ 109 per barel, lalu naik ke US$ 112,9 pada November, dan pada Desember turun lagi ke US$ 110,7. Tapi, tiga bulan pertama tahun ini, lonjakan harga terjadi mulai US$ 115,9 pada Januari, lalu Februari naik tajam ke US$ 122,2. "Untuk Maret, ini baru saya tanda tangani. Besarannya mencapai US$ 128 per barel," ujarnya.

Dengan demikian, rata-rata ICP dalam enam bulan terakhir adalah US$ 116,3. "Pemerintah belum sah menaikkan harga pada April ini," ujar Jero. Kalaupun sepanjang April-Mei ini minyak dunia hanya naik secara moderat, hampir bisa dipastikan pada Juni nanti harga bensin dan solar bersubsidi harus dikerek.

Melihat pilihan yang tak banyak, pemerintah mulai menyusun kebijakan-kebijakan sebagai antisipasi mahalnya subsidi energi dan penyelamatan ekonomi. Itu dilakukan dari gerakan penghematan yang akan dimulai Mei nanti, konversi gas, peningkatan investasi, hingga upaya menggenjot penerimaan negara dari berbagai sektor.

"Meskipun otoritas ada pada pemerintah, penyesuaian harga BBM itu adalah opsi terakhir jika tidak ada pilihan lain," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat terbatas bersama jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II di kantor kepresidenan Rabu pekan lalu. Tapi ia melanjutkan, "Jika tidak ada kenaikan harga BBM, apa yang harus kita lakukan?"

Y. Tomi Aryanto, Andi Perdana, Prihandoko, Wasiul Ulum (Banten)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus