Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM menutup tahun 1978 dan menyambut tahun 1979, Jakarta masih
terasa limbung oleh pukulan Kenop-15. Tak sedikit yang
meliburkan kantornya langsung dari Hari Natal sampai dengan
beberapa hari setelah tahun baru. Kalau toh ada yang buka
seperti di daerah Pintu Kecil dan Pasar Pagi, suasana kegiatan
masih bersifat "melihat dan menunggu". Sementara itu tak sedikit
pula pengusaha yang cau ke luar kota atau ke luar negeri. Maka
laporan berikut ini adalah rangkuman pendapat yang diperoleh tim
wartawan TEMPO dari para pengusaha yang masih ada di kota:
Sukamdani Gitosardjono, 50 tahun, Dirut Sahid Group Hotel: Ketua
Bidang Pariwisata Kadin dan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran
Indonesia.
Sebagai pengusaha hotel ia berpendapat: Tahun 1979 merupakan
tahun susah bagi hotel-hotel kecil. Tapi buat hotel-hotel besar
keadaannya akan lebih baik dari tahun-tahun lalu. Karena dengan
adanya Kenop-15 wisatawan asing akan lebih terangsang
mengunjungi Indonesia. Ini diharapkan membawa efek berantai di
sektor industri kerajinan tangan seperti batik, barang ukiran,
barang anyaman buat souvenir.
"Kendati demikian," kata Sukamdani "kita belum dapat
mengharapkan bahwa wisatawan luar negeri akan membanjiri
Indonesia." Kenapa? "Promosi masih belum digalakkan. Pelayanan
dan fasilitas di pelabuhan udara, di hotel sampai ke obyek turis
di darat perlu ditingkatkan. Jangan turis itu dipersulit untuk
dimintai uang."
"Misalnya", katanya pula, "di Demak, pernah serombongan turis
asing orang bule, digiring ke kantor Polisi untuk lapor.
Perlakuan demikian menimbulkan gambaran yang jelek terhadap
pelayanan pariwisata kita."
Akibat Kenop-15 para pengusaha hotel sekarang ini melakukan
penilaian kembali assetnya. "Bagi yang punya pinjaman di
bank-bank pemerintah hendaknya diberi kesempatan reskeduling
hutang-hutangnya, karena mereka mengalami penciutan dalam
likwiditas dan ini harus dibantu oleh bank dengan kredit
eksploitasi."
Ir. Harry Tanugraha, Sekretaris Gabungan Produsen Karet
Indonesia (Gapkindo) dan Sekretaris Dewan Pemakai Jasa Angkutan
Laut Indonesia (Depalindo)
Dunia karet Indonesia tampaknya tak pernah gelap. "Meskipun
tanpa Kenop 15, masa depan karet alam tetap cerah," kata ir.
Harry. "Suplai Indonesia terbatas sampai 820.000 ton setahun,
sedang permintaan dunia makin mengembang. " Logis kalau India
yang tadinya tak pernah dagang getah kini mulai bermain-main
karet. Demikian juga Hongkong yang kini jadi pelabuhan bayangan
RRC. Menghadapi perkembangan ini Indonesia agak kewalahan.
Contohnya, Australia membutuhkan 60.000 ton setahun. Tapi suplai
Indonesia hanya dapat penuhi 6.000 ton setahun. Sedang dari Irak
datang pula permintaan sebanyak 1.300 ton. Ini gambaran pada
semester I 1979. Untuk berpaling ke karet sintetis, nanti dulu.
Kenaikan harga minyak akan menaikkan pula harga karet sintetis.
Jadi karet alam tetap sebagai bumper dari harga sintetis yang
berkisar di atas S$ 220 sen per Kg/fob.
Itulah sebabnya setelah Kenop-15 orang makin bergairah berdagang
karet. Keadaan ini seyogyanya menguntungkan petani karet. Tapi
karena mata rantai dari petani ke pengolahan karet harus lewat
permainan tengkulak, ir. Harry menganjurkan diadakan "penataan
kembali hubungan antara petani dan pengolah karet." Di samping
itu untuk melancarkan ekspor, "perlu adanya semacam Freight
Booking Center yang langsung ditangani para pemakai jasa
angkutan laut," kata Harry. "Selama ini para pemakai jasa
angkutan laut terbentur pada sistim keagenan kapal di sini.
Sebab kapal yang masuk mengambil muatan untuk ekspor terlebih
dulu hatus dapat ijin dari pemerintah." Itulah resepnya antara
lain untuk meningkatkan devisa ke dalam negeri versi ir. Harry.
Karsudjono S, 60 tahun, Ketua Exekutip Asosiasi Produsen Kayu
Lapis Indonesia (Apkindo).
Cerah buat kayu lapis alias plywood. Di Indonesia ada 16 pabrik
dengan kapasitas total 700.000 kubik setahun. Tapi produksi
yang dicapai di bawah 50% dari kapasitas tersehut. Karena tidak
kuat bersaing di luar negeri.
Tapi kini dengan Kenop-15 keuntungan dari ekspor kayu lapis jadi
menantang. Begitu kuatnya pasaran di luar negeri, sehingga untuk
pasaran lokal dikhawatirkan kekurangan. Dan memang pasaran kayu
lapis pernah "menghilang" sementara.
Kendati demikian, "rejeki nomplok" dalam bidang plywood masih
berliku-liku. Karena menurut Karsudjono, "bahan baku kayu lapis
yaitu kayu bulat, sejak Oktober tahun 1978 dari $ 65 AS) per
kubik fob, pada akhir Nopember melonjak menjadi $ 80 --$ 90
dollar."Itu catatan ekspor dari Samarinda ke Jepang. Dan ini
berarti 2 kali lipat dari harga Desember 1977.
Tak heran kalau para eksportir kayu bulat atau pengusaha kayu
HPH hanya mau melepas kayunya untuk industri dalam negeri dengan
harga ekspor. Contoh Oktober lalu harga kayu bulat untuk plywood
berharga RP 37.000 per kubik kini naik jadi Rp 46.000.
Jadi, menurut pandangan Karsudjono, selagi harga ekspor baik,
para pemegang HPH tidak akan membangun industri plywood
sebagaimana tercantum dalam kontrak HPH. Pada hal dalam Repelita
III direncanakan membangun 28 pabrik kayu lapis. Pemerintah
dalam hal ini tak bisa lain harus turun tangan. Harus memberi
insentif pada industri pengolahan kayu. Royalti sekarang yang
berlaku sama rata sebesar Rp 2.000 per kubik kepada pengolah
maupun pengekspor, menurut Ketua Apkindo itu harus dikembalikan
pada masa dulu. Yaitu bagi eksportir Rp 650 saja. "Tanpa
rangsangan ini orang cenderung berlomba-lomba mengekspor log
daripada mengembangkan industri dalam negeri," katanya.
Gozali Katianda, 47 tahun, pimpinan "Musi Holiday Travel
Service."
Bagi bisnis pelayanan seperti di bidang perjalanan, akhir tahun
1978 terasa makin keras. Belum lagi pulih dari Kenop-15,
peraturan haru mengenai surat keterangan fiskal ke luar negeri
muncul pada tanggal 23 Desember 1978. Untuk memperoleh surat
tersebut, lazimnya sekali "tembak" Rp 5.000, kini naik jadi Rp
25.000 untuk sekali ijin eksit. Sedang yang multipel tarifnya Rp
75.000.
Tapi bagi Gozali yang telah berkecimpung 12 tahun di bidang biro
perjalanan, ia masih melihat titik-titik terang "Tidak bisa
lain, kecuali kita harus ban ting stir: dari pelayanan ke luar
negeri ke pelayanan menarik turis ke dalan negeri." Bukankah ini
cuma slogan usang? "Saya yakin dengan pengalamar Pramuwisata
fasilitas dan sarana yang kita miliki dewasa ini, usaha
menarik turi asing dewasa ini sudah waktunya digalakkan," kata
Gozali. Tapi seperti jugaa himbauan Sukamdani, ia ada
menambahkan "Tentu saja pihak pemerintah harus menolong kami
yang bonafid dengan kredit, dong". Biro perjalana yang ia
pimpin, katanya, "baru 20% dalam pelayanan turis asing ke dalam
negeri. Yang sehat paling sedikit harus 50-50."
Mu'min Ali Gunawan, 39 tahun, Wakil Dirut Panin Bank, Komisaris
PT Asuransi Pan Union Asurance, Asuransi Jakarta 1945, Panin
Putera dan aktif dalam kelompok Panin lainnya.
Tahun 1979 tidak terlalu jelek. Bahkan menurut Mu'min
"memperlihatkan titik terang." Kenaikan harga minyak oleh OPEC
sebesar 14,5% secara bertahap pada tahun 1979, akan memberi
tambahan pendapatan pada pemerintah. Juga penghapusan secara
bertahap subsidi bahan bakar (konon mencapai Rp 600 milyar
setahun) untuk konsmsi dalam negeri bukan saja meringankan
beban pemerintah, tapi merupakan pula "penghasilan" baru. Belum
lagi kemungkinan pinjaman dari luar negeri, seperti melalui
konsortium Toronto Dominion Bank dan Manufactures Hanover
International Finance Corporation (USA) sebanyak US$ 325 juta.
Untuk Pelita III, kata Mu'min, "pemerintah tampaknya telah
mempersiapkan segala sesuatunya."
Jadi, naiknya kurs rupiah terhadap dollar beberapa hari ini
--dari 625 jadi 621, BI -- masuk akal juga. Kini cadangan devisa
mencapai US$ 2,6 milyar. Tapi gejala positif itu menurut bankir
itu harus dimanfaatkan untuk mendorong sektor ekspor. Sehingga
masalahnya sekarang sampai berapa jauh Bank Indonesia
melonggarkan ceiling kredit bank-bank pelaksana.
"Kredit produksi apalagi untuk ekspor tak menambah laju
inflasi," kata Mu'min sambil meramalkan bahwa "dengan kaikulasi
baru harga itu sudah akan naik sekitar 20-30%. "Berapa besar
inflasi tergantung pada peran pemerintah mengaur saluran
"dingin dan panas," menurut kebutuhan.
Sampai medio Desember lalu, yang membuka L/C impor di Panin Bank
dan bank-bank lain berkurang 50%. Tapi menjelang tutup tahun
pembukuan L/C kembali normal untuk impor bahan baku dan bahan
penolong keperluan industri. Untuk perdagangan umum masih lesu.
Sekrarang pabrik-pabrik memperpendek jangka waktu kredit kepada
pedagang tingkat grosir. Pedagang besar yang tadinya memberi
kredit barang 3 bulan kini minta dibayar dalam tempo 1-2 bulan.
"Masa penyesuaian atau transisi baru akan pulih setelah 6
bulan," kata Mu'min. "Di India yang mengadakan devaluasi 46%
tahun 1973, baru pulih setelah dua tahun. Di sini lebih cepat
karena politik dalam negeri stabil."
Naafii, 52 tahun, Ketua Gabungan Perubahaan Ekspor Indonesia
(GPEI). Anggota pimpinan Poleko Group yang mengekspor kayu,
tepung -kelapa dan pakaianjadi.
"Tahun 1979 ada lh tahun cerah bagi eksportir." kata Naafii.
Tapi sayangnya saat ml komodlnyang dapat diekspor tidak memadai
produksinya. Hampir semua komoditi tra disionil seperti karet,
lada, kopi, temba kau dan hasil bumi lainnya lemah perse
diaannya. Juga kopra dan kapuk Dari pcngekspor "kita b-alik
menjadi pengimpor."
Maka soalnya sekarang, bagaimana meningkatkan hasil-hasil
perkebunan dan pertanian yang berorientasi kepada ekspor.
Demikian pula dengan industri kerajinan rakyat seperti batik
misalnya. Untuk itu kembali Naafii mengulang resep rekan
pengusaha lainnya: curahan kredit dari bank-bank pemerintah mau
pun swasta sebagai tambahan modal kerja maupun perluasan usaha.
Untuk memantapkan prospek Kenop 15 di bidang ekspor, pengusaha
yang berpengalaman 13 tahun memimpin GPEI, menggugah
"pengamanan" dari pemerintah. Baik yang menyangkut peraturan dan
prosedur, prasarana maupun pengamanan dari segala macam bentuk
pungli.
Takrir Akip, 50 tahun, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia
(API), Ketua 13idang Tekstil Kadin Indonesia. Dirut PT United
Industrial Consultants (UNICO), Ketua Ikatan Ahli Tekstil
Indonesia (IKATSI), serta penasehat Dirjen Aneka Industri
Departemen Perindustrian.
"Saya pesimis," ucap Akip spontan, 'prospek ekonomi kita tahun
1979 jelek." la lalu menunjukkan, kebijaksanaan yang diambil
pemerintah belum menyeluruh dan masih tanggung-tanggung: kredit
masih sulit akibat Kenop-15 modal perusahaan makin ciut daya
tahan makin lemah. Perusahaan-perusahaan kecil yang menghasilkan
barang jadi seperti batik, kain sarung dari kalangan pengusaha
pribumi akan paling menderita. "Kita khawatir, ibarat berlari
mereka sudah kehabisan napas sebelum mencapai garis finis." Akip
memulangkan masalah kredit pada produsen kecil yang makin sempit
jangka waktu pembayarannya. Dan ia adalah penganut yang "tidak
takut inflasi . dalam masa pembangunan " Anggaran berimbang,
pendeknya menurut Sekjen API itu, merusak usaha di bidang
tekstil.
Masao Koizumi, 45 tahun, Direktur Perwakilan Jetro (Badan
Promosi Perdagangan Luar Negeri Jepang). Baru sebulan di
Jakarta. Tamatan fakultas pendidikan Universitas Tokyo.
"Di mata banyak pengusaha Jepang, kabut kekhawatiran meliputi
tahun 1979 ini," tutur Masao, "sehingga mungkin saja mengurangi
niat mereka untuk menambah investasi di Indonesia." Tentu saja
ia kaitkan dengan Kenop-15 Meskipun ia tambahkan (seolah
meralat), bahwa "ia sendiri menyambut tahun 1979 dengan
kepercayaan, situasi akan bertambah baik." Tapi ada buntutnya ia
menyimpulkan "Semuanya tergantung pada tindakan pemerintah
Indonesia menanggulangi kesukaran saat ini."
Saat ini memang banyak perusahaan Jepang yang bimbang, katanya
pula. "Pinjaman harus dikembalikan dengan rupiah yang telah naik
50% Sedang harga barang tak dapat seenaknya dinaikkan, meskipun
biaya produksinya sudah naik." Tapi bukankah masa transisi sudah
hampir selesai. Lampu hijau sudah menyala untuk kenaikan harga?
"Itu betul. Tapi siapa pembelinya. Pasaran lesu. Misalnya
mobil," jawabnya dengan hatihati. Kenaikan harga minyak OPEC
menambah kerisauan Masao. Karena akan diikuti kenaikan 5% untuk
barang-barang di Jepang. "Tapi untuk diekspor belum tentu bisa
berlaku kenaikan 5%. lngat saingan dari negeri-negeri lain,"
katanya.
Sutopo Yananto, 44 tahun, pimpinan "Berkat" grup. Berkantor di
Jalan Telepon, Jakarta. Bergerak di bidang karet bongkah, ban,
penebangan hutan, pulp dan kertas serta Komisaris dari Bank
Bali.
Di hari-hari terakhir bulan Desember ia masih tampak sibuk
membubuhi tandatangannya pada "surat kuasa" berbahasa Mandarin.
"Saya orang tidak sekolah," ucap Yananto mendahului pertanyaan
tentang dirinya. "Sekolah saya cuma 6 bulan." Tapi dialah yang
dulu beken dengan nama Yap Swie Kie, itu kepala sindikat
cengkeh, kopi, teh dan hasil bumi lainnya. Mengomentari Kenop-15
dan fase penyesuaiannya, ia tampak rada-rada menahan diri. "Kita
harus solider," katanya, "karena pemerintah membutuhkan
solidaritas. Jadi apakah tepat timingnya kalau saya melancarkan
kritik sekarang? "
Ia menyodorkan fakta kalkulasi ban Bridgestone -- usaha patungan
Indonesia 30%, Mitsui 10% dan Bridgestone 60% -- masih belum
mendapat acc pemerintah. "Lebih cepat kcluar lebih baik,"
harapnya. Bridgestone Indonesia yang baru berusia 3 tahun
mencatat produksi 2000 buah ban kendaraan bermotor sebulan.
Masih terhitung kecil dibandingkan kebutuhan dalam negeri yang
3,4 juta buah setahunnya. Tapi kata Yananto: "Kita sempat
terpukul Rp 5,5 milyar. "Ia ingatkan, begitu Kenop-15 diumumkan
biaya bahan baku yang terdiri dari karet kelas ekspor otomatis
naik 50%, sedang harga tidak naik dan produksi harus jalan
terus. Bukan itu saja. Perusahaan Indah Kiat Pulp & Paper
orporation -- usaha patungan antara Indonesia 51% dan Taiwan
49% yang masih dalam produksi percobaan terpukul Rp 1,5 milyar.
Rencananya perusahaan yang menelan investasi US$ 85 juta pada
bulan Maret ini shdah dapamencapai produksi kertas sebanyak 100
ton/hari. Perusahaan itu terletak di Pakulonan, Serpong, Jawa
Barat.
Ia santai saja menderita rugi tampaknya. Tapi ia bukan "jago"
Pintu Kecil seandainya dia lantas terlentang kena pukulan
Kenop-15. Sebab untuk perusahaan Bridgestone Indonesia dengan
investasi US$ 11 juta, ia gandengkan dengan perusahaan karet
bongkah PT Karet Mantap di Banjarmasin. Produksinya 600
ton/bulan. Sedang untuk perusahaan kertas d an pulp, Yananto
menopang dengan usaha penebangan kayu di Sumatera dan
Kalimantan. Jadi untuk kedua sektor ini untung, bukan?
"Ya, untung," jawab Yananto tanpa menyebut berapa, "tapi untuk
menutup kerugian yang begitu besar memerlukan waktu lama. Ingat
utang saya tidak satu sen pun dalam mata uang rupiah." Bagaimana
prospek tahun 1979? "Berat. Saya takut terjadi vakum bahan baku.
Tapi yang penting saya banyak kawan, penting untuk tegak terus
dalam usaha," kata pengusaha dan tokoh bowling internasional
ini. "Jangan lupa, dalam bencana alam, kematian dan keputusan
pemerintah, kita tidak bisa berbuat lain kecuali menghadapinya
dengan tabah."
Y. Mizuta, orang kedua dari perwakilan Marubeni Corporation di
Jakarta. Tak mau menyatakan usianya. Pernah ke Indonesia sebelum
Perang Dunia II, sebagai pedagang di Jakarta. Datang kembali
tahun 1962.
"Sakit kepala saya akibat devaluasi ini " katanya sambil
menundukkan kepaia. "Saat ini kami masih membuat kalkulasi
harga, paling cepat 2-3 bulan lagi baru dapat ditentukan." Usaha
Marub ni di Indonesia meliputi antara lain sebagai importir
mesin-mesin Jepang. Kini ia mulai memikirkan ekspor dari
Indonesi ke Jepang dan negeri lainnya. Semen, tekstil, dan besi
merupakan obyek utama. "Tapi kita masih menghitung-hitung biaya
angkutannya," kata Mizuta "Di samping untuk ekspor banyak
prosedurnya masih sulit. Kalau toh ada yang mudah,
penyelesaiannya sangat lambat." Mizuta tak mau didesak untuk
memperincinya. "Kami masih merundingkan. Devaluasi ini
mengakibathn kerugian besar dalam kaitan dengan pinjaman luar
negeri. Harus menungu 2-3 bulan sambil melihat stabilitas
pasar," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo