Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Akibat Kenop 15: Masih Limbung

Beberapa pendapat dari para pengusaha yang berhasil dikumpulkan oleh wartawan Tempo, tentang akibat kenop 15. (eb)

6 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM menutup tahun 1978 dan menyambut tahun 1979, Jakarta masih terasa limbung oleh pukulan Kenop-15. Tak sedikit yang meliburkan kantornya langsung dari Hari Natal sampai dengan beberapa hari setelah tahun baru. Kalau toh ada yang buka seperti di daerah Pintu Kecil dan Pasar Pagi, suasana kegiatan masih bersifat "melihat dan menunggu". Sementara itu tak sedikit pula pengusaha yang cau ke luar kota atau ke luar negeri. Maka laporan berikut ini adalah rangkuman pendapat yang diperoleh tim wartawan TEMPO dari para pengusaha yang masih ada di kota: Sukamdani Gitosardjono, 50 tahun, Dirut Sahid Group Hotel: Ketua Bidang Pariwisata Kadin dan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia. Sebagai pengusaha hotel ia berpendapat: Tahun 1979 merupakan tahun susah bagi hotel-hotel kecil. Tapi buat hotel-hotel besar keadaannya akan lebih baik dari tahun-tahun lalu. Karena dengan adanya Kenop-15 wisatawan asing akan lebih terangsang mengunjungi Indonesia. Ini diharapkan membawa efek berantai di sektor industri kerajinan tangan seperti batik, barang ukiran, barang anyaman buat souvenir. "Kendati demikian," kata Sukamdani "kita belum dapat mengharapkan bahwa wisatawan luar negeri akan membanjiri Indonesia." Kenapa? "Promosi masih belum digalakkan. Pelayanan dan fasilitas di pelabuhan udara, di hotel sampai ke obyek turis di darat perlu ditingkatkan. Jangan turis itu dipersulit untuk dimintai uang." "Misalnya", katanya pula, "di Demak, pernah serombongan turis asing orang bule, digiring ke kantor Polisi untuk lapor. Perlakuan demikian menimbulkan gambaran yang jelek terhadap pelayanan pariwisata kita." Akibat Kenop-15 para pengusaha hotel sekarang ini melakukan penilaian kembali assetnya. "Bagi yang punya pinjaman di bank-bank pemerintah hendaknya diberi kesempatan reskeduling hutang-hutangnya, karena mereka mengalami penciutan dalam likwiditas dan ini harus dibantu oleh bank dengan kredit eksploitasi." Ir. Harry Tanugraha, Sekretaris Gabungan Produsen Karet Indonesia (Gapkindo) dan Sekretaris Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) Dunia karet Indonesia tampaknya tak pernah gelap. "Meskipun tanpa Kenop 15, masa depan karet alam tetap cerah," kata ir. Harry. "Suplai Indonesia terbatas sampai 820.000 ton setahun, sedang permintaan dunia makin mengembang. " Logis kalau India yang tadinya tak pernah dagang getah kini mulai bermain-main karet. Demikian juga Hongkong yang kini jadi pelabuhan bayangan RRC. Menghadapi perkembangan ini Indonesia agak kewalahan. Contohnya, Australia membutuhkan 60.000 ton setahun. Tapi suplai Indonesia hanya dapat penuhi 6.000 ton setahun. Sedang dari Irak datang pula permintaan sebanyak 1.300 ton. Ini gambaran pada semester I 1979. Untuk berpaling ke karet sintetis, nanti dulu. Kenaikan harga minyak akan menaikkan pula harga karet sintetis. Jadi karet alam tetap sebagai bumper dari harga sintetis yang berkisar di atas S$ 220 sen per Kg/fob. Itulah sebabnya setelah Kenop-15 orang makin bergairah berdagang karet. Keadaan ini seyogyanya menguntungkan petani karet. Tapi karena mata rantai dari petani ke pengolahan karet harus lewat permainan tengkulak, ir. Harry menganjurkan diadakan "penataan kembali hubungan antara petani dan pengolah karet." Di samping itu untuk melancarkan ekspor, "perlu adanya semacam Freight Booking Center yang langsung ditangani para pemakai jasa angkutan laut," kata Harry. "Selama ini para pemakai jasa angkutan laut terbentur pada sistim keagenan kapal di sini. Sebab kapal yang masuk mengambil muatan untuk ekspor terlebih dulu hatus dapat ijin dari pemerintah." Itulah resepnya antara lain untuk meningkatkan devisa ke dalam negeri versi ir. Harry. Karsudjono S, 60 tahun, Ketua Exekutip Asosiasi Produsen Kayu Lapis Indonesia (Apkindo). Cerah buat kayu lapis alias plywood. Di Indonesia ada 16 pabrik dengan kapasitas total 700.000 kubik setahun. Tapi produksi yang dicapai di bawah 50% dari kapasitas tersehut. Karena tidak kuat bersaing di luar negeri. Tapi kini dengan Kenop-15 keuntungan dari ekspor kayu lapis jadi menantang. Begitu kuatnya pasaran di luar negeri, sehingga untuk pasaran lokal dikhawatirkan kekurangan. Dan memang pasaran kayu lapis pernah "menghilang" sementara. Kendati demikian, "rejeki nomplok" dalam bidang plywood masih berliku-liku. Karena menurut Karsudjono, "bahan baku kayu lapis yaitu kayu bulat, sejak Oktober tahun 1978 dari $ 65 AS) per kubik fob, pada akhir Nopember melonjak menjadi $ 80 --$ 90 dollar."Itu catatan ekspor dari Samarinda ke Jepang. Dan ini berarti 2 kali lipat dari harga Desember 1977. Tak heran kalau para eksportir kayu bulat atau pengusaha kayu HPH hanya mau melepas kayunya untuk industri dalam negeri dengan harga ekspor. Contoh Oktober lalu harga kayu bulat untuk plywood berharga RP 37.000 per kubik kini naik jadi Rp 46.000. Jadi, menurut pandangan Karsudjono, selagi harga ekspor baik, para pemegang HPH tidak akan membangun industri plywood sebagaimana tercantum dalam kontrak HPH. Pada hal dalam Repelita III direncanakan membangun 28 pabrik kayu lapis. Pemerintah dalam hal ini tak bisa lain harus turun tangan. Harus memberi insentif pada industri pengolahan kayu. Royalti sekarang yang berlaku sama rata sebesar Rp 2.000 per kubik kepada pengolah maupun pengekspor, menurut Ketua Apkindo itu harus dikembalikan pada masa dulu. Yaitu bagi eksportir Rp 650 saja. "Tanpa rangsangan ini orang cenderung berlomba-lomba mengekspor log daripada mengembangkan industri dalam negeri," katanya. Gozali Katianda, 47 tahun, pimpinan "Musi Holiday Travel Service." Bagi bisnis pelayanan seperti di bidang perjalanan, akhir tahun 1978 terasa makin keras. Belum lagi pulih dari Kenop-15, peraturan haru mengenai surat keterangan fiskal ke luar negeri muncul pada tanggal 23 Desember 1978. Untuk memperoleh surat tersebut, lazimnya sekali "tembak" Rp 5.000, kini naik jadi Rp 25.000 untuk sekali ijin eksit. Sedang yang multipel tarifnya Rp 75.000. Tapi bagi Gozali yang telah berkecimpung 12 tahun di bidang biro perjalanan, ia masih melihat titik-titik terang "Tidak bisa lain, kecuali kita harus ban ting stir: dari pelayanan ke luar negeri ke pelayanan menarik turis ke dalan negeri." Bukankah ini cuma slogan usang? "Saya yakin dengan pengalamar Pramuwisata fasilitas dan sarana yang kita miliki dewasa ini, usaha menarik turi asing dewasa ini sudah waktunya digalakkan," kata Gozali. Tapi seperti jugaa himbauan Sukamdani, ia ada menambahkan "Tentu saja pihak pemerintah harus menolong kami yang bonafid dengan kredit, dong". Biro perjalana yang ia pimpin, katanya, "baru 20% dalam pelayanan turis asing ke dalam negeri. Yang sehat paling sedikit harus 50-50." Mu'min Ali Gunawan, 39 tahun, Wakil Dirut Panin Bank, Komisaris PT Asuransi Pan Union Asurance, Asuransi Jakarta 1945, Panin Putera dan aktif dalam kelompok Panin lainnya. Tahun 1979 tidak terlalu jelek. Bahkan menurut Mu'min "memperlihatkan titik terang." Kenaikan harga minyak oleh OPEC sebesar 14,5% secara bertahap pada tahun 1979, akan memberi tambahan pendapatan pada pemerintah. Juga penghapusan secara bertahap subsidi bahan bakar (konon mencapai Rp 600 milyar setahun) untuk konsmsi dalam negeri bukan saja meringankan beban pemerintah, tapi merupakan pula "penghasilan" baru. Belum lagi kemungkinan pinjaman dari luar negeri, seperti melalui konsortium Toronto Dominion Bank dan Manufactures Hanover International Finance Corporation (USA) sebanyak US$ 325 juta. Untuk Pelita III, kata Mu'min, "pemerintah tampaknya telah mempersiapkan segala sesuatunya." Jadi, naiknya kurs rupiah terhadap dollar beberapa hari ini --dari 625 jadi 621, BI -- masuk akal juga. Kini cadangan devisa mencapai US$ 2,6 milyar. Tapi gejala positif itu menurut bankir itu harus dimanfaatkan untuk mendorong sektor ekspor. Sehingga masalahnya sekarang sampai berapa jauh Bank Indonesia melonggarkan ceiling kredit bank-bank pelaksana. "Kredit produksi apalagi untuk ekspor tak menambah laju inflasi," kata Mu'min sambil meramalkan bahwa "dengan kaikulasi baru harga itu sudah akan naik sekitar 20-30%. "Berapa besar inflasi tergantung pada peran pemerintah mengaur saluran "dingin dan panas," menurut kebutuhan. Sampai medio Desember lalu, yang membuka L/C impor di Panin Bank dan bank-bank lain berkurang 50%. Tapi menjelang tutup tahun pembukuan L/C kembali normal untuk impor bahan baku dan bahan penolong keperluan industri. Untuk perdagangan umum masih lesu. Sekrarang pabrik-pabrik memperpendek jangka waktu kredit kepada pedagang tingkat grosir. Pedagang besar yang tadinya memberi kredit barang 3 bulan kini minta dibayar dalam tempo 1-2 bulan. "Masa penyesuaian atau transisi baru akan pulih setelah 6 bulan," kata Mu'min. "Di India yang mengadakan devaluasi 46% tahun 1973, baru pulih setelah dua tahun. Di sini lebih cepat karena politik dalam negeri stabil." Naafii, 52 tahun, Ketua Gabungan Perubahaan Ekspor Indonesia (GPEI). Anggota pimpinan Poleko Group yang mengekspor kayu, tepung -kelapa dan pakaianjadi. "Tahun 1979 ada lh tahun cerah bagi eksportir." kata Naafii. Tapi sayangnya saat ml komodlnyang dapat diekspor tidak memadai produksinya. Hampir semua komoditi tra disionil seperti karet, lada, kopi, temba kau dan hasil bumi lainnya lemah perse diaannya. Juga kopra dan kapuk Dari pcngekspor "kita b-alik menjadi pengimpor." Maka soalnya sekarang, bagaimana meningkatkan hasil-hasil perkebunan dan pertanian yang berorientasi kepada ekspor. Demikian pula dengan industri kerajinan rakyat seperti batik misalnya. Untuk itu kembali Naafii mengulang resep rekan pengusaha lainnya: curahan kredit dari bank-bank pemerintah mau pun swasta sebagai tambahan modal kerja maupun perluasan usaha. Untuk memantapkan prospek Kenop 15 di bidang ekspor, pengusaha yang berpengalaman 13 tahun memimpin GPEI, menggugah "pengamanan" dari pemerintah. Baik yang menyangkut peraturan dan prosedur, prasarana maupun pengamanan dari segala macam bentuk pungli. Takrir Akip, 50 tahun, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ketua 13idang Tekstil Kadin Indonesia. Dirut PT United Industrial Consultants (UNICO), Ketua Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI), serta penasehat Dirjen Aneka Industri Departemen Perindustrian. "Saya pesimis," ucap Akip spontan, 'prospek ekonomi kita tahun 1979 jelek." la lalu menunjukkan, kebijaksanaan yang diambil pemerintah belum menyeluruh dan masih tanggung-tanggung: kredit masih sulit akibat Kenop-15 modal perusahaan makin ciut daya tahan makin lemah. Perusahaan-perusahaan kecil yang menghasilkan barang jadi seperti batik, kain sarung dari kalangan pengusaha pribumi akan paling menderita. "Kita khawatir, ibarat berlari mereka sudah kehabisan napas sebelum mencapai garis finis." Akip memulangkan masalah kredit pada produsen kecil yang makin sempit jangka waktu pembayarannya. Dan ia adalah penganut yang "tidak takut inflasi . dalam masa pembangunan " Anggaran berimbang, pendeknya menurut Sekjen API itu, merusak usaha di bidang tekstil. Masao Koizumi, 45 tahun, Direktur Perwakilan Jetro (Badan Promosi Perdagangan Luar Negeri Jepang). Baru sebulan di Jakarta. Tamatan fakultas pendidikan Universitas Tokyo. "Di mata banyak pengusaha Jepang, kabut kekhawatiran meliputi tahun 1979 ini," tutur Masao, "sehingga mungkin saja mengurangi niat mereka untuk menambah investasi di Indonesia." Tentu saja ia kaitkan dengan Kenop-15 Meskipun ia tambahkan (seolah meralat), bahwa "ia sendiri menyambut tahun 1979 dengan kepercayaan, situasi akan bertambah baik." Tapi ada buntutnya ia menyimpulkan "Semuanya tergantung pada tindakan pemerintah Indonesia menanggulangi kesukaran saat ini." Saat ini memang banyak perusahaan Jepang yang bimbang, katanya pula. "Pinjaman harus dikembalikan dengan rupiah yang telah naik 50% Sedang harga barang tak dapat seenaknya dinaikkan, meskipun biaya produksinya sudah naik." Tapi bukankah masa transisi sudah hampir selesai. Lampu hijau sudah menyala untuk kenaikan harga? "Itu betul. Tapi siapa pembelinya. Pasaran lesu. Misalnya mobil," jawabnya dengan hatihati. Kenaikan harga minyak OPEC menambah kerisauan Masao. Karena akan diikuti kenaikan 5% untuk barang-barang di Jepang. "Tapi untuk diekspor belum tentu bisa berlaku kenaikan 5%. lngat saingan dari negeri-negeri lain," katanya. Sutopo Yananto, 44 tahun, pimpinan "Berkat" grup. Berkantor di Jalan Telepon, Jakarta. Bergerak di bidang karet bongkah, ban, penebangan hutan, pulp dan kertas serta Komisaris dari Bank Bali. Di hari-hari terakhir bulan Desember ia masih tampak sibuk membubuhi tandatangannya pada "surat kuasa" berbahasa Mandarin. "Saya orang tidak sekolah," ucap Yananto mendahului pertanyaan tentang dirinya. "Sekolah saya cuma 6 bulan." Tapi dialah yang dulu beken dengan nama Yap Swie Kie, itu kepala sindikat cengkeh, kopi, teh dan hasil bumi lainnya. Mengomentari Kenop-15 dan fase penyesuaiannya, ia tampak rada-rada menahan diri. "Kita harus solider," katanya, "karena pemerintah membutuhkan solidaritas. Jadi apakah tepat timingnya kalau saya melancarkan kritik sekarang? " Ia menyodorkan fakta kalkulasi ban Bridgestone -- usaha patungan Indonesia 30%, Mitsui 10% dan Bridgestone 60% -- masih belum mendapat acc pemerintah. "Lebih cepat kcluar lebih baik," harapnya. Bridgestone Indonesia yang baru berusia 3 tahun mencatat produksi 2000 buah ban kendaraan bermotor sebulan. Masih terhitung kecil dibandingkan kebutuhan dalam negeri yang 3,4 juta buah setahunnya. Tapi kata Yananto: "Kita sempat terpukul Rp 5,5 milyar. "Ia ingatkan, begitu Kenop-15 diumumkan biaya bahan baku yang terdiri dari karet kelas ekspor otomatis naik 50%, sedang harga tidak naik dan produksi harus jalan terus. Bukan itu saja. Perusahaan Indah Kiat Pulp & Paper orporation -- usaha patungan antara Indonesia 51% dan Taiwan 49% yang masih dalam produksi percobaan terpukul Rp 1,5 milyar. Rencananya perusahaan yang menelan investasi US$ 85 juta pada bulan Maret ini shdah dapamencapai produksi kertas sebanyak 100 ton/hari. Perusahaan itu terletak di Pakulonan, Serpong, Jawa Barat. Ia santai saja menderita rugi tampaknya. Tapi ia bukan "jago" Pintu Kecil seandainya dia lantas terlentang kena pukulan Kenop-15. Sebab untuk perusahaan Bridgestone Indonesia dengan investasi US$ 11 juta, ia gandengkan dengan perusahaan karet bongkah PT Karet Mantap di Banjarmasin. Produksinya 600 ton/bulan. Sedang untuk perusahaan kertas d an pulp, Yananto menopang dengan usaha penebangan kayu di Sumatera dan Kalimantan. Jadi untuk kedua sektor ini untung, bukan? "Ya, untung," jawab Yananto tanpa menyebut berapa, "tapi untuk menutup kerugian yang begitu besar memerlukan waktu lama. Ingat utang saya tidak satu sen pun dalam mata uang rupiah." Bagaimana prospek tahun 1979? "Berat. Saya takut terjadi vakum bahan baku. Tapi yang penting saya banyak kawan, penting untuk tegak terus dalam usaha," kata pengusaha dan tokoh bowling internasional ini. "Jangan lupa, dalam bencana alam, kematian dan keputusan pemerintah, kita tidak bisa berbuat lain kecuali menghadapinya dengan tabah." Y. Mizuta, orang kedua dari perwakilan Marubeni Corporation di Jakarta. Tak mau menyatakan usianya. Pernah ke Indonesia sebelum Perang Dunia II, sebagai pedagang di Jakarta. Datang kembali tahun 1962. "Sakit kepala saya akibat devaluasi ini " katanya sambil menundukkan kepaia. "Saat ini kami masih membuat kalkulasi harga, paling cepat 2-3 bulan lagi baru dapat ditentukan." Usaha Marub ni di Indonesia meliputi antara lain sebagai importir mesin-mesin Jepang. Kini ia mulai memikirkan ekspor dari Indonesi ke Jepang dan negeri lainnya. Semen, tekstil, dan besi merupakan obyek utama. "Tapi kita masih menghitung-hitung biaya angkutannya," kata Mizuta "Di samping untuk ekspor banyak prosedurnya masih sulit. Kalau toh ada yang mudah, penyelesaiannya sangat lambat." Mizuta tak mau didesak untuk memperincinya. "Kami masih merundingkan. Devaluasi ini mengakibathn kerugian besar dalam kaitan dengan pinjaman luar negeri. Harus menungu 2-3 bulan sambil melihat stabilitas pasar," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus