Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesibukan yang tidak biasa mewarnai suasana kerja di kantor Depot Logistik (Dolog) Jawa Tengah, pengujung tahun lalu. Beberapa karyawan terlihat sibuk menyusun tumpukan formulir dan arsip. Formulir itu berisi pernyataan kesediaan mereka untuk berganti status dari pegawai negeri sipil menjadi pegawai Perusahaan Umum (Perum) Pangan, Jawa Tengah. Satu per satu karyawan terlihat antre mengisi formulir tersebut.
Semangat para karyawan tak luntur, kendati rancangan peraturan pemerintah yang mengubah Badan Urusan Logistik (Bulog) menjadi Perum Pangan belum kunjung diteken presiden. Padahal, sesuai dengan rancangan peraturan tersebut, perubahan status Bulog mestinya mulai berlaku Januari ini.
Bulog memang harus berpacu dengan waktu. Bila masih berbentuk lembaga pemerintah non-departemen, bisa-bisa semua kantor Dolog dan sub-Dolog direbut daerah, sejalan dengan berlakunya otonomi daerah. Nasib baik, Bulog masih diberi dispensasi sampai Mei 2003. Karena itu, perubahan menjadi Perum Pangan mesti dipercepat. "Kami persiapkan saja, kendati kepastian perubahan status perusahaan masih mengambang," tutur Harni, petugas yang menangani pengisian formulir tersebut.
Karyawan Bulog pantas bersikap optimistis dan jauh dari rasa cemas. Kepala Bulog, Widjanarko Puspoyo, jauh-jauh hari sudah menjamin tak bakal ada pemecatan pegawai. Semua karyawan Bulog akan diterima bekerja di Perum Pangan. Bagi yang ingin tetap menjadi pegawai negeri, akan ditempatkan di lembaga atau instansi pemerintah lainnya.
Setelah menjadi Perum Pangan, lengan bisnis Bulog juga akan kembali menguat. Ia tak lagi cuma menjadi badan penyangga harga beras dan penyalur beras untuk rakyat miskin?dengan mendapat subsidi dari pemerintah. Perum baru ini akan bebas berdagang pelbagai komoditas strategis lainnya seperti terigu, kedelai, dan gula. Komoditas yang ditangani Perum Pangan kelak hampir sama dengan komoditas sembilan bahan pokok yang dulu dimonopolinya sebelum kedatangan mandor IMF.
Tak aneh, di tingkat pusat muncul persiapan untuk mengembangkan aneka usaha. Ada pendirian pabrik gula, usaha perkulakan, pabrik karung plastik, pabrik pengolahan terigu, industri perberasan (rice estate/penggilingan padi), sampai properti. Maklum, aset Bulog bertebaran di mana-mana. Aset berupa gudang, tanah, gedung, ataupun tempat penggilingan beras itu kebanyakan berada pada lokasi-lokasi strategis. Tak pelak lagi, semua aset itu bernilai tinggi untuk dijadikan supermarket pangan, pabrik, pasar induk, dan perkantoran.
Kendati tidak mencolok, persiapan menyongsong perubahan bentuk perusahaan juga mulai terasa di beberapa kantor dan gudang logistik daerah. Dolog Jawa Timur, misalnya, telah mulai mendirikan Unit Prosesing Giling Beras (UPGB) di Buduran, Sidoarjo. Selanjutnya, pabrik-pabrik penggilingan beras akan didirikan di Kediri, Ngawi, Banyuwangi, dan Jombang.
Kepala Dolog Jawa Timur, Ma'ruf Mochtar, juga telah mengatur pengalihan karyawan yang total berjumlah 750 orang ke kantor-kantor sub-Dolog yang tersebar di berbagai pelosok. Ia menyangkal jumlah karyawan Dolog terlalu banyak. "Coba bandingkan dengan BUMN lain. Karyawan Bulog dan Dolog jauh lebih ramping," ia menegaskan.
Bagaimana dengan gudang? Benarkah jumlah gudang beras di Jawa Timur terlalu banyak sehingga mesti dikurangi agar efisien? Ma'ruf mengaku kapasitas gudang beras di wilayahnya mencapai 1.219.500 ton, tapi saat ini cuma terisi 930 ribu ton. Namun, menurut dia, hal itu masih terhitung wajar. "Tidak bisa gudang selalu terisi penuh. Pasti ada sisanya," ujarnya.
Kalaupun ada gudang yang kosong, kata Ma'ruf, Dolog Jawa Timur selalu berusaha memanfaatkan agar produktif. Caranya antara lain dengan menyewakan kepada perusahaan swasta. "Nestle pernah menyewa gudang Dolog," ujarnya memberi contoh. Jadi, gudang-gudang yang tersebar di 13 wilayah sub-Dolog itu dijaminnya tetap mendatangkan keuntungan.
Dolog Jawa Barat tak mau ketinggalan. Mereka mulai menjalin kerja sama operasional dengan para kontraktor untuk terjun dan langsung berhadapan dengan para pedagang besar dalam membeli gabah dari petani. Para kontraktor tersebut akan membantu petani menghindari tekanan calo yang lihai mempermainkan harga dasar gabah.
Sejak setengah tahun lalu, Dolog Jawa Barat juga giat mengadakan aneka pelatihan untuk karyawan. "Kami sadar kualitas sumber daya manusia kami yang berjumlah 600 orang masih rendah," ujar Kepala Dolog Ja-Bar, Bambang Budi Prasetya.
Tak seperti di Jawa Timur, di Jawa Barat justru terjadi kekurangan gudang. Selama ini gudang sebanyak 51 buah yang terbagi dalam 202 unit selalu penuh dengan stok gabah dan beras yang jumlahnya mencapai 528 ribu ton. "Bila ada tambahan komoditas lain, kapasitas gudang yang ada jelas tak lagi memadai," ujar Bambang.
Jika Bulog pusat tak bisa memasok dana untuk membangun gudang baru, Bambang mengaku akan melobi Pemerintah Daerah DKI Jakarta agar memindahkan gudang Dolog Jaya untuk kemudian dikelola oleh Dolog Jawa Barat. Bila berhasil, katanya, langkah ini setidaknya akan menambah 1 persen kapasitas gudang.
Selain tambahan gudang, Dolog Jawa Barat juga membutuhkan tambahan peralatan pengering (dryer) agar kualitas beras meningkat. Selama ini baru 30 persen dari 51 gudang Dolog Jawa Barat yang telah dilengkapi peralatan tersebut. Tanpa dryer, bulir-bulir gabah akan mudah pecah. Bulir seperti ini menghasilkan beras dalam kondisi hampir hancur.
Lain lagi cara Dolog Jawa Tengah bersiap menyongsong perubahan Bulog menjadi Perum Pangan. Mereka sudah membuka akses informasi dengan para petani bukan beras, seperti jagung dan gula. Terkesan, mereka tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk memperdagangkan komoditas di luar beras itu.
Mereka juga berupaya mengoptimalkan penggunaan 45 unit gudang berkapasitas 450 ribu ton yang tersebar di enam wilayah sub-Dolog. Masing-masing adalah sub-Dolog bekas Keresidenan Semarang, Pati, Surakarta, Banyumas, Kedu, dan Pekalongan. "Optimalisasi itu terutama pada pengawasan dan pemanfaatan gudang," kata Kepala Humas Dolog Jawa Tengah, Joko Triseptanto.
Menyangkut jumlah pegawai, Joko menganggap 850 karyawan Dolog Jawa Tengah masih bisa mengimbangi jumlah gudang dan stok beras yang mesti mereka kelola. Jadi, ia menaksir tak akan ada pemecatan pegawai. "Paling banter pensiun dini. Itu pun tetap diperbantukan di Perum Pangan yang nantinya akan butuh banyak tenaga seiring berkembangnya bisnis Dolog yang lain di luar beras," tuturnya, yakin.
Dengan ancang-ancang tersebut, Bulog tampaknya sudah siap bersalin rupa dari birokrat menjadi saudagar sembako. Atau, lebih hebat lagi, menjadi perusahaan dagang yang bermain di tingkat internasional seperti yang diimpikan Kepala Bulog, Widjanarko Puspoyo.
Nugroho Dewanto, Adi Sutarwijono (Surabaya), Ecep Suwardani Yasa (Semarang), Upiek Supriyatun (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo