Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kritik Bertubi Kebijakan Penghiliran

Pemerintah tak menghiraukan kritik IMF soal kebijakan penghiliran. Pengkajian ulang layak dilakukan. 

 

1 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • IMF mengkritik program pelarangan ekspor mineral mentah dan penghiliran.

  • Kebijakan penghiliran menimbulkan kerusakan lingkungan.

  • Meski meningkatkan nilai ekspor nikel, pemerintah diminta mengkaji ulang kebijakan ini.

JAKARTA – Kritik terhadap larangan ekspor mineral untuk mendorong program penghiliran semakin panjang. Teranyar, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) menyarankan agar kebijakan tersebut dihentikan. Namun pemerintah berkeras tak akan mengubah sikap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kritik IMF itu muncul dalam laporan hasil konsultasi tahunan mereka dengan Indonesia. Dalam dokumen yang dirilis pada 25 Juni lalu itu, lembaga tersebut menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia perlu mengkaji ulang larangan ekspor mineral, berkaca pada penghiliran nikel yang sudah berjalan. Menurut IMF, peningkatan investasi asing serta nilai ekspor nikel tak menjamin program ini lebih banyak manfaatnya ketimbang mudaratnya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IMF berdalih dampak program ini terhadap pembukaan lapangan kerja masih minim. Selain itu, ada potensi kehilangan pendapatan negara dari insentif-insentif fiskal yang diberikan untuk sektor tersebut. IMF juga mencatat adanya dampak larangan ekspor mineral di dalam negeri, seperti munculnya korupsi sumber daya alam serta pemburu rente. IMF pun menyoroti pengaruh keputusan Indonesia di pasar global, seperti gejolak harga mineral. 

Dengan berbagai alasan itu, IMF meminta pemerintah Indonesia mengubah pendirian. "Kami meminta Indonesia mempertimbangkan untuk menghentikan larangan ekspor (nikel) dan tidak memperluas larangan tersebut untuk komoditas lain," demikian isi rekomendasi para direktur eksekutif di IMF.  

Aktivitas produksi Nikel Sulfat di PT Halmahera Persada Lygend (PT HPL), Pulau Obi, Maluku, 17 Juni 2023. TEMPO/Subekti.

Indonesia pernah menerima permintaan serupa dari Uni Eropa yang berujung pada sengketa di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Uni Eropa menggugat kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada November 2019 setelah menganggap kebijakan tersebut mengganggu industri baja antikarat di kawasan mereka. Setelah dinyatakan kalah dalam persidangan pada November 2022, Indonesia mengajukan banding ke Appellate Body WTO. Hingga kini, proses hukum tersebut masih berjalan. 

Kritik juga datang dari pegiat lingkungan. Greenpeace Indonesia, misalnya, menyebutkan larangan ekspor mineral yang disertai kebijakan penghiliran membahayakan lingkungan. Menurut Team Leader Kampanye Iklim dan Energi, Didit Haryo, kegiatan tambangnya sendiri sudah bertahun-tahun terbukti menyebabkan kerusakan lingkungan hingga memakan korban. 

Sementara itu, berkaca pada praktik pengolahan nikel, selama ini ditemukan masalah berupa tambahan polusi dari pemanfaatan pembangkit listrik tenaga uap batu bara yang seharusnya sudah dihentikan hingga pencemaran lingkungan akibat limbah dari smelter. "Kebijakan ini jelas punya dampak lingkungan yang luar biasa besar, bisa melebihi keuntungan yang negara bisa dapat," katanya. 

Pantang Mundur Larangan Ekspor

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa tak ada perubahan aturan soal larangan ekspor mineral. Begitu pula dengan kewajiban pengolahan produk turunan dari mineral-mineral tersebut. "Sampai langit runtuh pun, penghiliran tetap akan menjadi prioritas negara," katanya.

Bahlil menyanggah anggapan IMF soal efek penurunan pendapatan ke negara akibat kebijakan tersebut. Dia mengklaim tak ada masalah dari sisi penerimaan, meski sejumlah stimulus dikucurkan untuk mendorong pertumbuhan industri pengolahan mineral di dalam negeri. Contohnya, ada kenaikan nilai ekspor nikel dari kisaran US$ 3,3 miliar pada periode 2017-2018 menjadi sekitar US$ 30 miliar pada 2022. 

Soal dampak kebijakan larangan ekspor dan penghiliran terhadap pasar global, Bahlil mengatakan situasi tersebut bukan urusan Indonesia. "Kalau negara kita lagi susah, emang mereka mikirin kita?" ujarnya. Dia menyarankan negara-negara yang berkeberatan agar berinvestasi di industri pengolahan mineral Indonesia sehingga mereka bisa mendapat jaminan bahan baku. 

Namun Bahlil mengakui ada dampak negatif terhadap lingkungan dari aktivitas pertambangan dan penghilirannya. Dia mengklaim pemerintah sedang membentuk tim untuk mencarikan strategi pencegahan serta solusi atas kerusakan lingkungan yang sudah terjadi. 

Aktivitas produksi Nikel Sulfat di PT Halmahera Persada Lygend (PT HPL), Pulau Obi, Maluku, 17 Juni 2023. TEMPO/Subekti.

Tak Salah Mengkaji Ulang

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies, Yusuf Wibisono, mengatakan penghiliran mineral bisa jadi strategi baru untuk reindustrialisasi. Dengan cara ini, Indonesia juga bisa berpartisipasi dalam rantai pasok global. "Namun sejumlah dampak negatif dari kebijakan ini sering tidak diungkap secara utuh," tuturnya. 

Yusuf menjabarkan, kebijakan penghiliran bergantung sangat tinggi pada modal asing, terutama Cina, dalam proyek-proyek smelter. Pasalnya, industri pemurnian dan pengolahan bijih tambang sangat padat modal dan teknologi. Sepanjang 2020-2022, penyertaan modal asing mencapai 91,3 persen dari total investasi di industri logam dasar. 

Akibat dominasi modal asing, Yusuf mengatakan, dampak penghiliran terhadap pendapatan valas dan stabilitas nilai tukar rupiah cenderung lemah karena pendapatan ekspor perusahaan smelter direpatriasi ke perusahaan induk. Meski surplus neraca perdagangan terlihat besar, dia menyebutkan surplus dalam transaksi berjalan nilainya kecil. 

Catatan lain Yusuf adalah rendahnya penerimaan negara dari penghiliran. "Pelarangan ekspor dan penghiliran nikel membuat harga nikel di pasar domestik menjadi jatuh, jauh di bawah harga internasional," katanya. Dampak dari harga bijih nikel yang jatuh ini adalah penurunan penerimaan royalti. Ditambah adanya kebijakan tax holidays serta bebas pungutan ekspor untuk produk smelter. 

Kepala Pusat Kajian Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, menyoroti potensi kerugian dari terganggunya rantai pasok global. Penghentian ekspor mineral mempersulit bahan baku pengolahan produk turunannya di negara lain. "Produk turunan yang selama ini kita impor akan terbatas pasokannya dan naik harganya," kata dia. Belum lagi, Kementerian Keuangan mendeteksi bocornya bijih nikel sebanyak 5,3 juta ton ke Cina. 

Menurut Abra, pemerintah perlu mempertimbangkan masukan IMF untuk menghitung ulang keuntungan dan kerugian dari program penghiliran. Skema larangan ekspor bertahap bisa dipertimbangkan sebagai solusi, seperti yang sudah diterapkan pada batu bara dan minyak sawit mentah. Bedanya, porsi pemenuhan kebutuhan domestik untuk mineral dibuat lebih besar, sedangkan porsi untuk ekspor diatur lebih sedikit.



VINDRY FLORENTIN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus