Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam menilai potensi politisasi bantuan sosial atau bansos pada tahun politik saat ini sangat besar. Hal tersebut mengingat anggaran bansos pada 2024 meningkat signifikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Memang ada kecenderungan tren dana bansos naik signifikan. Tahun 2024 angkanya naik Rp 53,3 truliun atau 12 persen dibandingkan realisasi anggaran perlindungan sosial tahun 2023," ujar Arif Nur Alam dalam diskusi di kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta Pusat pada Ahad, 7 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ia merinci, pada 2024 anggaran bansos pada 2024 direncanakan sebesar Rp 486,8 triliun. Angka ini naik sebesar 12 persen atau Rp 533 triliun dari realisasi anggaran perlindungan sosial pada 2023 sebesar Rp 443,5 triliun.
Menurutnya, anggaran ini berpotensi dipolitisasi oleh pihak yang berkepentingan dalam kontestasi politik di Pemilu 2024. Pasalnya, penambahan anggaran tersebut belum didukung dengan tata kelola yang transparan sehingga rentan menjadi bancakan politik.
Arif membeberkan ada lima ragam bentuk potensi politisasi bansos pada tahun politik. Pertama, penyalahgunaan data penerima. Kedua, penyelewengan dana. Ketiga, penggunaan simbol atau atribut peserta Pemilu. Keempat, personifikasi kebijakan bansos. Kelima, mempengaruhi preferensi politik masyarakat penerima bansos.
Tidak hanya peserta pemilu, Arief berujar ada aktor-aktor lainnya yang berpotensi menyalahgunakan program bansos. Antara lain, penyelenggara negara atau aparatur sipil negara (ASN), BUMN dan BUMD, serta masyarakat penerima.
Ia menuturkan peserta Pemilu berpotensi melanggar dengan cara menjanjikan pemberian bansos kapada pemilih tertentu. Kemudian menggunakan simbol atau atribut partai dalam penyaluran bansos. Serta mengklaim bansos sebagai prestasi atau program partai peserta pemilu.
Sementara itu, ia menilai ASN yang mendukung yang memihakpeserta pemilu tertentu berpotensi melanggar dengan cara memanipulasi data penerima hingga menyalurkan Bansos secara tidak adil. ASN tersebut juga bisa saja menggunakan fasilitas negara untuk pemenangan.
BUMN maupun BUMD yang terlibat pun berpotensi melakukan kecurangan dengan cara menyalurkan bansos melalui perusahaan tertentu untuk mendukung peserta pemilu. Perusahaan ini juga berpotensi menggunakan dana atau aset perusahaan untuk kepentingan kampanye, dan memberikan bansos kepada karyawan atau mitra bisnis
tertentu.
Masyarakat penerima juga berpotensi mendapatkan keuntungan baik secara pribadi maupun kelompok. Misalnya, kata Arif, menjual atau menukar bansos dengan barang maupun jasa lainnya. Kemudian adanya potensi masyarakat menerima bansos ganda dari berbagai sumber dan menggunakan bansos untuk mendukung atau menolak peserta pemilu tertentu.