Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Belajar dari Krisis Sri Lanka

Krisis Sri Lanka terjadi akibat jerat utang untuk membiayai infrastruktur. Apa yang harus dilakukan pemerintah agar kejadian serupa tak menimpa Indonesia?

28 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rasio utang Sri Lanka melonjak dari 42 persen pada 2019 menjadi 104 persen.

  • Kondisi Sri Lanka diperparah oleh kemampuan dalam menjaring pendapatan.

  • Pemerintah Indonesia diminta mewaspadai kondisi krisis Sri Lanka.

JAKARTAKrisis Sri Lanka berawal dari ambisi pemerintahnya dalam membangun infrastruktur. Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat, negara berpenduduk 22 juta jiwa itu gagal membayar utang luar negeri sebesar US$ 51 miliar. Akibatnya, krisis di negara tersebut tidak terhindarkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak sebelum pandemi, pemerintah Sri Lanka berfokus mengembangkan infrastruktur menggunakan utang. Salah satunya dengan membangun Pelabuhan Hambantota hasil kerja sama dengan Cina. Namun proyek yang masuk proyek One Belt One Road 2017-2019 yang digagas Tiongkok itu tidak berjalan sesuai dengan rencana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menjelaskan, pelabuhan yang seharusnya menjadi hub pelabuhan internasional tempat kapal kargo bersandar ini tidak masuk akal secara ekonomi. Sri Lanka, yang kesulitan membayar pokok dan bunga utang, harus merelakan Cina menguasai konsesi pelabuhan tersebut. "Pelajaran penting dari kasus ini terletak pada ambisi pembangunan infrastruktur yang tidak terukur," tuturnya, kemarin, 27 Juni.

Bhima menilai Indonesia bisa mulai menerapkan pelajaran tersebut meski rasio utang pemerintah terhadap PDB masih di bawah 40 persen, dari batasnya 60 persen. Pemerintah diharapkan mengerem proyek infrastruktur yang belum mendesak sedari dini. Sebab, utang yang diambil pemerintah saat ini tidak produktif. "Struktur utang pemerintah masih berat digunakan ke belanja pegawai, belanja barang, dan belanja pembayaran bunga utang," kata dia.

Sri Lanka sendiri memiliki rasio utang terhadap PDB yang tinggi. Tahun lalu, rasio utang negeri penghasil teh itu mencapai 104 persen. Padahal, pada 2019, rasio utang Sri Lanka baru sebesar 42 persen.

Menurut Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, rasio utang yang sudah menyentuh kisaran 40 persen adalah sinyal yang harus diwaspadai. "Pengambil kebijakan harus semakin waspada." Sama seperti mengelola keuangan pribadi, kata David, beban utang yang sudah mencapai 30-40 persen dari total pendapatan harus ditangani dengan hati-hati.

Kendaraan antre untuk mengisi bahan bakar saat krisis ekonomi di Kolombo, Sri Lanka, 23 Juni 2022. REUTERS/Dinuka Liyanawatte

Salah satu antisipasi yang bisa diambil adalah mendiversifikasi sumber utang. Tidak hanya lewat surat utang, tapi juga melalui pendanaan lain, seperti pinjaman bilateral dan multilateral. Opsi lainnya adalah menerbitkan utang dengan mata uang berbeda untuk melindungi tekanan nilai tukar.

Kondisi utang di Sri Lanka juga diperparah oleh kemampuan negara tersebut dalam menjaring pendapatan. David menyebutkan penghasilan valas negara ini terbatas. Padahal, untuk mengimbangi utang luar negeri, negara harus meningkatkan kinerja ekspornya. Di sisi lain, Sri Lanka harus mengimpor sejumlah komoditas yang harganya sedang melonjak.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menyatakan Indonesia beruntung memiliki komoditas yang melimpah untuk diekspor. Namun, sebagai antisipasi, dia menilai, peningkatan nilai tambah perlu digencarkan. Sebab, harga komoditas juga mengalami fluktuasi. "Booming komoditas tidak bertahan lama, biasanya kurang dari tiga tahun," kata dia.

Khusus Indonesia, Eko mengatakan, pemerintah membutuhkan sumber pendapatan lain untuk menutup beban utang. Salah satunya bisa dilakukan dengan meningkatkan kepatuhan pajak.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menyatakan kondisi di Sri Lanka, termasuk dinamika global lainnya, membuat pemerintah waspada dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk soal utang. Dia optimistis hingga saat ini kondisi Indonesia masih jauh lebih baik daripada Sri Lanka.

Salah satunya dilihat dari rasio utang terhadap PDB yang sebesar 38,88 persen per Mei lalu. Inflasi pun dalam kondisi terjaga di bawah 5 persen. Selain itu, ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen dengan transaksi berjalan yang surplus. "Jadi, tidak terlalu fair membandingkan kondisi krisis Sri Lanka dengan Indonesia," kata dia.

VINDRY FLORENTIN | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus