Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Rencana konversi penggunaan kompor gas menjadi kompor induksi digadang-gadang menjadi solusi atas membengkaknya anggaran subsidi untuk gas melon. Musababnya, harga keekonomian listrik disebut lebih murah dibanding elpiji. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) bahkan memproyeksikan migrasi ke kompor setrum bisa menghemat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Rp 16,8 triliun per tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyeksi tersebut disampaikan Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu pekan lalu. Menurut dia, perkiraan tersebut didasari data hasil uji klinis peralihan kompor gas menjadi kompor induksi di Solo dan Bali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Program konversi kompor induksi ternyata terbukti menghemat APBN, walaupun ini masih dalam skala uji klinis, yaitu 2.000 sampel saja. Dari sampel 23 keluarga penerima manfaat, ada saving APBN sekitar Rp 20 juta per tahun,” kata Darmawan.
Berdasarkan hitungan PLN, konversi kompor elpiji ke kompor listrik dalam skala yang lebih besar dapat menghemat APBN Rp 330 miliar per tahun untuk 300 ribu keluarga penerima manfaat pada 2022. Selanjutnya, program konversi yang menyasar 5 juta keluarga penerima manfaat pada tahun depan diproyeksikan bisa menghemat APBN Rp 5,5 triliun per tahun.
Apabila jumlah keluarga penerima manfaat sebanyak 15,3 juta, proyeksi penghematan APBN bisa mencapai Rp 16,8 triliun per tahun. “Saving ini dari mana? Ini dari fakta bahwa per kilogram elpiji biaya keekonomiannya adalah sekitar Rp 20 ribu, sedangkan biaya keekonomian kompor induksi sekitar Rp 11.300 per kilogram listrik ekuivalen,” tutur Darmawan.
Selama uji coba berjalan, Darmawan mengungkapkan ada berbagai masukan ihwal daya yang terpasang dalam penggunaan kompor induksi. Ia memastikan kompor listrik menggunakan jalur khusus yang sudah dihitung langsung supaya tidak menjadi masalah dengan daya yang terpasang pada pelanggan rumah tangga, khususnya pelanggan 450 volt-ampere (VA) dan 900 VA.
PLN meluncurkan Gerakan Konversi Satu Juta Kompor Elpiji ke Kompor Induksi di Jakarta, 27 Oktober 2020. Dok. PLN
Subsidi Energi Dinilai Bakal Tepat Sasaran
Di samping bisa menghemat APBN lantaran perbedaan harga keekonomian elpiji dan listrik, Darmawan mengatakan, program peralihan ke kompor induksi bisa membuat subsidi energi lebih tepat sasaran lantaran berbasis data pelanggan. Musababnya, selama ini subsidi gas melon cenderung tak tepat sasaran. Hal ini dibuktikan dengan data bahwa elpiji 3 kilogram justru banyak dikonsumsi pelanggan listrik nonsubsidi.
“Pelanggan nonsubsidi yang di atas 900 VA, misalnya yang 1.300 VA, adalah 12,6 juta. Itu ternyata 75 persennya adalah pengguna elpiji 3 kilogram. Sementara yang 2.200 VA, dari 12,6 juta, sekitar 9,5 juta merupakan pengguna elpiji 3 kilogram,” kata Darmawan. PLN pun mencatat konsumsi gas melon diserap 100 persen oleh pelanggan rumah tangga nonsubsidi dengan daya 900 VA non-DTKS sebanyak 24,46 juta pelanggan. Adapun jumlah pelanggan rumah tangga PLN yang menjadi pengguna elpiji 3 kilogram berjumlah 69,5 juta.
Data ini selaras dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang sebelumnya menyampaikan bahwa sebanyak 68 persen konsumsi elpiji 3 kilogram bersubsidi atau sekitar 5,07 metrik ton dinikmati rumah tangga mampu. Hanya 32 persen konsumsi elpiji melon atau sekitar 2,39 juta metrik ton yang dinikmati masyarakat tidak mampu. “Salah sasarannya lebih banyak,” ujar dia. Padahal subsidi elpiji juga turut menyumbang pembengkakan subsidi dan kompensasi energi di Tanah Air pada tahun ini.
Kendati demikian, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan rencana kebijakan migrasi dari kompor gas menjadi kompor induksi masih menunggu hasil uji coba di berbagai kota. Ia mengatakan rencana tersebut sudah dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo. “Nanti akan kami review setelah piloting berjalan,” ujar Airlangga.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, bersepakat bahwa wacana kompor listrik relevan dengan upaya menghemat subsidi elpiji. Artinya, dengan makin banyaknya masyarakat yang beralih ke kompor listrik, diharapkan konsumsi elpiji 3 kilogram bisa berkurang sehingga biaya subsidi gas melon bisa berkurang. Gagasan ini juga diharapkan bisa menurunkan impor elpiji.
“Kebutuhan elpiji kita di dalam negeri itu masih disuplai dari luar negeri 70 persen. Dengan kita bisa mengurangi konsumsi elpiji, khususnya 3 kilogram, impor elpiji kita juga bisa berkurang. Kurang-lebih setiap tahun itu untuk impor elpiji mencapai Rp 80 triliun,” kata Abra. Meski demikian, ia mengatakan program konversi ini harus tetap dilaksanakan secara sukarela bagi masyarakat. Masyarakat dapat memilih apakah tetap akan menggunakan elpiji 3 kilogram atau beralih ke kompor induksi. Musababnya, masyarakat masih khawatir akan adanya pembengkakan biaya memasak ataupun kesulitan teknis lainnya apabila wajib beralih ke kompor setrum.
Setali tiga uang, bekas anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Kurtubi, mengatakan wacana migrasi dari kompor gas ke kompor listrik boleh saja digaungkan, tapi jangan bersifat wajib hingga menghilangkan kompor elpiji. Musababnya, kompor listrik membutuhkan daya yang lebih besar, di atas 1.500 VA, sehingga biaya memasak menggunakan kompor listrik bisa lebih mahal ketimbang menggunakan elpiji ataupun gas pipa. Padahal sasaran konversi ini adalah pelanggan dengan daya 450 VA dan 900 VA yang masuk kelompok rakyat miskin dan hampir miskin.
“Buka kesempatan pindah pakai kompor listrik secara sukarela dengan proses yang simpel. Tapi tidak perlu memakai uang APBN untuk membagi-bagi kompor listrik gratis kepada calon pemakai yang pasti berlangganan listrik di atas 1.000 VA, yang termasuk rakyat mampu,” ujar Kurtubi.
Ia pun meminta pemerintah mencari solusi lain atas persoalan beratnya APBN karena impor elpiji. Misalnya, memanfaatkan cadangan gas yang besar di Natuna Utara dengan membangun pabrik elpiji dan LNG atau komponen gas pipa yang mengalir dari Natuna ke Kalimantan Barat atau Jakarta. Solusi lainnya adalah tidak mengubah sebagian gas di Maluku Tenggara menjadi LNG, melainkan mengalirkan langsung ke Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat menggunakan pipa sebagai pengganti elpiji.
“Sebaiknya hindari kebijakan energi yang bisa memberatkan dan menyusahkan rakyat miskin. Caranya adalah segera kembalikan pengelolaan SDA migas sesuai dengan konstitusi yang sudah terbukti berhasil menaikkan produksi minyak dan gas secara signifikan,” kata Kurtubi.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mempertanyakan rencana pemerintah menjadikan konversi ke kompor induksi sebagai solusi mengurangi subsidi. Sebab, pemerintah juga masih menggelontorkan subsidi untuk listrik. “Jika motifnya mengurangi impor, mengapa tidak pindah ke gas bumi saja yang juga tidak perlu impor? Penggunaan gas saya kira juga mendapat manfaat positif dua sekaligus. Ada potensi subsidi yang turun dan impor yang juga akan berkurang,” tuturnya.
Menanggapi berbagai pandangan mengenai wacana peralihan ke kompor listrik tersebut, pelaksana tugas Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, mengatakan kompor induksi bukanlah satu-satunya solusi pemerintah dalam persoalan membengkaknya subsidi energi. Ia mengatakan kementeriannya akan terus mengembangkan jaringan gas di perkotaan. “Penggunaan gas alam juga akan didorong melalui jaringan gas,” ujar Dadan.
CAESAR AKBAR | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo