Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Bank Indonesia merancang rupiah digital, yang merupakan mata uang digital (central bank digital currency atau CBDC) untuk beragam tujuan. Dari menyediakan alternatif alat pembayaran, mempercepat inklusi keuangan, hingga sarana baru penyaluran subsidi untuk masyarakat. Namun, di balik cita-cita tersebut, sejumlah risiko mengintai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya adalah masalah keamanan data. Kepala Pusat Inovasi dan Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance, Nailul Huda, mengingatkan hingga saat ini belum ada perlindungan data pribadi di dalam negeri. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, yang sudah diinisiasi sejak 2016, masih dalam pembahasan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Targetnya, bulan depan beleid tersebut disahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Risiko lain yang disoroti Nailul yaitu dampak rupiah digital terhadap perbankan dan sektor riil. "Ketika masyarakat lebih memilih CBDC, dikhawatirkan bisa menurunkan dana pihak ketiga di perbankan," tuturnya kepada Tempo, kemarin. Dana tersebut selama ini digulirkan kembali oleh perbankan, salah satunya untuk memberikan pembiayaan ke sektor riil.
Kekhawatiran yang sama juga diutarakan Kepala Divisi Departemen Moneter dan Pasar Modal di Dana Moneter Internasional (IMF), Tomasso Mancini-Griffoli. Dia memprediksi terjadinya peralihan ke mata uang digital, yang berujung menggerus simpanan di bank, meskipun lambat. Pasalnya, uang digital lebih mudah dimiliki.
"Tapi, jika prosesnya cepat, berisiko menimbulkan krisis keuangan," kata Tomasso dalam diskusi di Nusa Dua, Bali. Dia menyarankan bank sentral mengkaji dengan saksama perihal bunga untuk uang digital serta membatasi kuantitas dana yang bisa dipegang masyarakat dalam bentuk uang tersebut.
Pergerakan mata uang digital pada layar komputer di sebuah cafe di Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, khawatir mata uang digital bank sentral jadi alat spekulasi. Pasalnya, Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang. Menurut dia, keberhasilan Cina menerbitkan yuan digital salah satunya karena menjaga ketat nilai tukarnya.
Cina melarang transaksi menggunakan mata uang digital lainnya, seperti bitcoin. Sedangkan di dalam negeri, perdagangan kripto masih berjalan. "Kalau (mata uang kripto) paralel dengan sistem rupiah digital, konsekuensinya adalah rupiahnya tidak laku karena kurang menarik, atau justru spekulator aset kripto pindah ke rupiah digital," ujarnya.
Bicara soal daya tarik rupiah digital, Bhima menuturkan, transparansi transaksi yang ditawarkan juga bisa menurunkan minat masyarakat. Kemudahan menelusuri transaksi di satu sisi merupakan keunggulan, seperti misalnya untuk memastikan bantuan negara tepat sasaran. Namun tak sedikit juga yang merasa tidak nyaman seluruh transaksinya terpantau langsung.
Peneliti dari Center of Reform on Economics Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyatakan hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah kesiapan infrastruktur digital. Saat ini pemanfaatan layanan keuangan digital masih terpusat di perkotaan. "Itu yang seharusnya disiapkan lebih dulu sebelum Bank Indonesia mengeluarkan mata uang digital," ujarnya.
Cash center Bank Negara Indonesia (BNI) Pusat, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Spesialis sistem pembayaran Bank Dunia, Harish Natarajan, juga mengingatkan bahwa mata uang digital tidak menjamin inklusivitas keuangan. "Justru bank sentral harus menangani masalah mendasar inklusivitas keuangan yang masih ada," kata dia.
Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Ryan Rizaldy, mengakui bakal ada implikasi terhadap sistem keuangan dengan penerapan mata uang digital. "Ada risiko, kalau salah desain, sistem keuangan akan goyah," tuturnya di Nusa Dua, Bali, Selasa lalu.
Untuk itu, Ryan menyatakan, rancangan konsep kebijakan ini bakal digodok dengan saksama. Bank Indonesia menyiapkan prinsip utama CBDC yang akan diterbitkan di dalam negeri serta menyusun mitigasi dampak, termasuk ke perbankan. Bank sentral ingin menghadirkan alternatif pembayaran bebas risiko. Selain itu, mata uang ini diharapkan bisa meningkatkan inklusivitas keuangan dan memperluas efisiensi sistem pembayaran.
Deputi Gubernur BI, Doni Primanto Joewono, menyatakan dokumen informasi resmi berisi penjelasan konsep mata uang digital ini, atau white paper, bakal diterbitkan pada akhir 2022. "Penerbitan white paper itu akan diikuti dengan meminta masukan dari pelaku pasar, industri, publik, dan pihak lainnya," kata dia. Setelah proses pengkajian, bakal digelar uji coba sebelum kemudian rupiah digital diterbitkan.
VINDRY FLORENTIN | PRAGA UTAMA (NUSA DUA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo