Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah pihak khawatir kenaikan PPN pada 2025 menggerus daya beli masyarakat.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen bakal membuat makan di restoran terasa mahal. Minat konsumen untuk naik pesawat juga diperkirakan turun karena kenaikan tarif PPN ini.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia Shinta Kamdani berujar, pengusaha menanti strategi pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat setelah kenaikan PPN.
TARIF PAJAK pertambahan nilai atau PPN bakal naik pada 2025. Sejumlah pihak khawatir kebijakan ini menggerus daya beli masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PPN merupakan pajak yang dikenakan kepada konsumen untuk setiap transaksi jual-beli barang atau jasa. Pasal 7 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengatur tarifnya paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Sebelum aturan tersebut terbit, tarif PPN sebesar 10 persen. Sejak 1 April 2022, pemerintah memutuskan menaikkan tarifnya menjadi 11 persen.
Kenaikan PPN sudah menjadi rencana pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat saat merevisi ketentuan perpajakan. PPN ditargetkan naik menjadi 12 persen secara bertahap. Kenaikan kedua rencananya berlaku pada 1 Januari 2025.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan aturan kenaikan tarif PPN akan dibahas lebih lanjut dan dilaksanakan oleh pemerintahan selanjutnya. Airlangga mengatakan masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, dan pilihannya keberlanjutan. Maksudnya adalah memilih presiden yang melanjutkan program Joko Widodo, yaitu Prabowo Subianto. Prabowo dalam hitung cepat unggul 58 persen pada pemilihan presiden 2024.
"Tentu kalau berkelanjutan, berbagai program yang dicanangkan pemerintah (Jokowi) akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN (12 persen),” kata Airlangga, seperti dikutip Antara, 8 Maret 2024.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen punya dampak terhadap daya beli konsumen di komoditas tertentu. "Karena yang dikenai PPN selected pada komoditas tertentu, misalnya akan menurunkan minat konsumen untuk makan di restoran," katanya saat dihubungi, kemarin, 12 Maret.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Tulus, akibat tarif PPN naik menjadi 12 persen, makan di restoran bakal terasa mahal. Tak hanya itu, kata dia, akan ada penurunan minat konsumen untuk naik pesawat karena kenaikan tarif PPN ini.
Warga membeli bahan pokok di Lotte Grosir, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Di sisi lain, ia mengakui kebijakan ini bisa membuat pendapatan negara naik. Sebaliknya, menjadi pil pahit buat masyarakat. "Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak bisa kipas-kipas, termasuk presiden baru dapat kado istimewa," kata Tulus. "Jadi masyarakat telah rela memilih 'keberlanjutan', malah diberi kado pahit berupa kenaikan PPN 12 persen."
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance, Abdul Manap Pulungan, mengatakan kenaikan PPN berarti beban pengeluaran tambahan buat masyarakat. Mereka yang termasuk kalangan menengah dan bawah bakal kesulitan berbelanja. Pasalnya, bukan cuma PPN yang naik. Pelonggaran tarif pajak penghasilan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah juga bakal berakhir tahun depan. Selain itu, ada rencana kenaikan tarif di sejumlah ruas jalan tol.
Dengan kondisi ini, berarti konsumsi masyarakat bakal melambat. "Kalau konsumsi tidak bergerak, ekonomi jangan harap bisa tumbuh mencapai 5 persen," katanya kepada Tempo, kemarin.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga berkontribusi hingga 53,18 persen terhadap pertumbuhan produk domestik bruto nasional sepanjang 2023. Namun BPS mencatat konsumsi masyarakat pada triwulan IV 2023 hanya tumbuh 4,47 persen secara tahunan atau turun dari triwulan III 2023 yang tumbuh 5,06 persen, serta dibanding pada triwulan IV 2022 yang sebesar 4,5 persen.
Abdul menuturkan risiko buat perekonomian makin tinggi seiring dengan likuiditas yang menipis. Bank Indonesia belum memberikan sinyal untuk menurunkan suku bunga acuan. "Kalau suku bunga terus naik sampai 2025 saat fiskal juga menerapkan kebijakan yang ketat, ekonomi kita akan kering likuiditasnya yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi seret."
Baca Juga Infografiknya:
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di 5,3-5,6 persen pada 2025. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa menyebutkan target tersebut diiringi dengan penurunan tingkat kemiskinan ke 6-7 persen dan tingkat pengangguran terbuka menjadi 4,5-5 persen.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal mengatakan efek dari kenaikan PPN juga bakal terasa pada pengusaha. Pengadaan bahan baku untuk produksi ikut naik. Sementara itu, di sisi lain, ongkos energi hingga pekerja terus meningkat. Ketika barangnya dijual, permintaan turun.
Menurut Faisal, tekanan dari sisi konsumsi dan investasi ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada 2025. Target 5 persen bakal lebih berat dicapai, terlebih dengan tren harga komoditas yang mulai turun. "Kecuali ada strategi baru dari pemerintah yang akan datang ini untuk menggenjot ekonomi setahun ke depan."
Dia mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati merancang strategi di tengah kondisi tersebut. Meski ada potensi tambahan penerimaan setelah menaikkan PPN, ada risiko tambahan beban juga buat ekonomi. "Kalau tambah penerimaan dengan cara seperti ini, yang kena malah masyarakat," katanya.
Direktur Segara Research Institute Piter Abdullah pun satu suara soal potensi tergerusnya daya beli masyarakat akibat kenaikan PPN. Namun dia menilai target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen memungkinkan tercapai lantaran masih terhitung rendah. "Seharusnya pemerintah mencanangkan 6-7 persen."
Pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen hanya bisa membuka lapangan pekerjaan untuk 1-1,5 juta tenaga kerja. Sementara itu, Indonesia tengah mengalami bonus demografi. Pertumbuhan angkatan kerja mencapai 3-4 juta jiwa.
Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan sektor informal untuk menampung angkatan kerja ini. "Ini akan menciptakan masalah ketika pengangguran tidak bisa lagi ditampung di sektor formal," ujarnya.
Warga makan siang di salah satu restoran di Lotte Shopping Avenue, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Kekhawatiran soal kenaikan PPN juga datang dari pengusaha. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Maulana Yusran mengatakan kondisi pasar masih belum pulih sempurna setelah terkena dampak pandemi. Belum lagi, pada akhir tahun lalu, pemerintah menaikkan pajak hiburan. "Ditambah dengan tantangan seperti daya beli, inflasi, dan lainnya, ini tentu situasi yang sebenarnya tidak bagus bagi pelaku usaha," katanya. Dia memperkirakan bisnis di sektor perhotelan dan restoran pada tahun depan tak mudah.
Namun risiko pelemahan daya beli ini tak mengurangi optimisme sejumlah pengusaha. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan investasi masih akan berjalan menyesuaikan kondisi pasar terkini. Saat kondisi baik, para pengusaha tak akan menahan ekspansi. "Kita jadi akan lebih hati-hati," ujarnya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia Shinta Kamdani berujar, pengusaha menanti strategi pemerintah meningkatkan daya beli masyarakat setelah kenaikan PPN. Mereka khawatir pelemahan daya beli bakal menggerus ekonomi. Terlebih proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini tidak terlalu tinggi.
Jika tak ada kenaikan daya beli yang signifikan, Shinta mengatakan, para pelaku usaha akan menyesuaikan produksi dan promosi penjualan agar lebih sesuai dengan daya beli pasar. Pengusaha juga melakukan banyak advokasi untuk mencegah penurunan daya saing. "Kami sangat khawatir kenaikan PPN akan memicu penurunan daya saing produk dalam negeri di pasar terhadap impor," katanya.
Shinta berharap pemerintah menghapus PPN untuk transaksi intermediate good atau barang setengah jadi, khususnya untuk ekspor bagi perusahaan yang belum memperoleh fasilitas kepabeanan khusus. Dengan begitu, konsumen tidak perlu membayar PPN berganda dan dampak kenaikan PPN terhadap daya saing produk manufaktur lokal terjaga.
Risiko lain setelah kenaikan PPN yang tak dibarengi kenaikan daya beli adalah maraknya peredaran barang secara ilegal. Dia mengingatkan, penurunan daya beli bisa meningkatkan jumlah pekerja di sektor informal, khususnya di retail. Shinta berharap pemerintah meningkatkan inspeksi pasar terhadap peredaran barang ilegal.
Tempo berupaya menghubungi Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Deni Surjantoro mengenai rencana kenaikan PPN tahun depan serta strategi pemerintah mengatur belanja sebagai antisipasi penurunan daya beli. Namun, hingga berita ini ditulis, dia belum memberikan jawaban. Begitu juga dengan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti yang belum memberikan jawaban ketika dimintai konfirmasi mengenai tarif PPN 2025 serta dampaknya terhadap perekonomian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Novali Panji Nugroho berkontribusi pada penulisan artikel ini.