Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melebarkan defisit anggaran sebesar 0,2 persen dalam postur sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 menjadi 5,7 persen atau setara Rp 1.006,4 triliun dari sebelumnya 5,5 persen. "Dengan mempertimbangkan ketidakpastian pada 2021,” ujarnya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Sri Mulyani, pelebaran defisit sebesar 0,2 persen dilakukan karena adanya penurunan target pendapatan negara untuk tahun depan sebesar Rp 32,7 triliun menjadi Rp 1.743,7 triliun. Pada penyusunan sebelumnya, pemerintah sempat mematok target pendapatan negara dalam RAPBN sebesar Rp 1.776,4 triliun.
Adapun penerimaan perpajakan diturunkan sebesar Rp 37,4 triliun menjadi Rp 1.444,5 triliun dari yang disampaikan sebelumnya sebesar Rp 1.481,9 triliun. Sedangkan untuk target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dinaikkan Rp 4,7 triliun menjadi Rp 288,2 triliun dari perkiraan semula dalam RAPBN 2021 sebesar Rp 283,5 triliun.
Di sisi lain, belanja negara untuk tahun depan naik sebesar Rp 2,5 triliun menjadi Rp 2.750 triliun dari RAPBN 2021 yang telah disusun pemerintah sebesar Rp 2.747,5 triliun. Kenaikan belanja disebabkan oleh adanya tambahan subsidi energi gas elpiji tiga kilogram yang mencapai Rp 2,4 triliun dan penurunan dana bagi hasil (DBH) Rp 0,8 triliun sebagai dampak dari perubahan pendapatan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 29 Juni 2020l. TEMPO/M Taufan Rengganis
Untuk pembiayaan investasi ada kenaikan Rp 169,1 triliun menjadi Rp 184,5 triliun atau naik 15,4 triliun. Cadangan biaya pendidikan direncanakan Rp 37,4 triliun. Kewajiban penjaminan akan dicadangkan pada tahun depan sebesar Rp 2,7 triliun. Dari usul Panitia Kerja DPR, kata Sri Mulyani, akan ada perubahan alokasi belanja, antara lain realokasi cadangan penyesuaian pendidikan ke pembiayaan serta tambahan cadangan belanja Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 sekitar Rp 15,8 triliun.
"Sedangkan pembiayaan lain, yakni dengan menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) sebesar Rp 15,8 triliun yang akan masuk dalam pembiayaan anggaran," kata dia.
Adapun pembiayaan utang pada postur sementara RAPBN tahun depan pun meningkat menjadi Rp 1.177,4 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 1.142,5 triliun. Menurut Sri Mulyani, pembiayaan utang akan ada kenaikan Rp 34,9 triliun untuk pembiayaan defisit. Ia menuturkan pembiayaan utang akan dilakukan dengan penerbitan surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 1.207,3 triliun yang merupakan penerbitan SBN neto.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan siap mendukung pemerintah dalam mewujudkan stabilitas pasar SBN karena akan menjadi salah satu basis pembiayaan dalam APBN 2021. Meski demikian, Perry belum memberikan detail dukungan yang akan dilakukan dalam stabilitas pasar di SBN itu. "Menkeu sudah berkoordinasi dengan kami," ujar Perry.
Selama masa pandemi Covid-19, BI menjalin kerja sama dengan pemerintah, yakni melakukan skema burden sharing atau berbagi beban. Ada dua macam kerja sama. Pertama, pembelian SBN oleh BI yang peruntukannya hanya digunakan untuk belanja pemerintah terkait dengan kebutuhan publik. Kedua, BI membeli SBN di pasar perdana dengan fungsi sebagai pembeli siaga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Said Abdullah mengatakan, dari sisi pendapatan negara, penerimaan pajak akan menjadi penentu dalam capaian target pembangunan 2021. Menurut dia, target tersebut juga memiliki konsekuensi tersendiri dalam postur APBN lainnya. Jika tidak tercapai, pemerintah harus memiliki manajemen risiko fiskal yang baik, untuk tidak boleh lagi menambah defisit anggaran.
Pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan desain anggaran menunjukkan adanya kenaikan risiko fiskal. Menurut dia, pemerintah boleh saja memperlebar defisit, tapi harus jelas pos belanja dan realisasi stimulusnya. Ia mencontohkan, sektor kesehatan dari awal hanya mendapatkan alokasi 12 persen dari total stimulus PEN. Angka itu jauh di bawah dunia usaha yang mendapat 24 persen.
CAESAR AKBAR | LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo