Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kantor Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi di Plaza Migas Centris Jakarta sudah sepi, Jumat malam dua pekan lalu. Jam kerja pegawai sudah selesai. Tapi Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Evita Legowo masih menggelar rapat bersama Deputi Perencanaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Haposan Napitupulu serta anggota Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Hanggono Tjahjo Nugroho, di ruang rapat lantai 16. Mereka membahas rencana pengembangan lapangan gas Kepodang. ”Kepodang akan dikembangkan sesegera mungkin,” kata Evita kepada Tempo pekan lalu.
Ketiga pejabat itu sedang dikejar waktu. Bulan lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh mengeluarkan memo yang memerintahkan agar salah satu ladang gas di Blok Muriah itu segera dikembangkan. Sejak dilelang dan diserahkan pengelolaannya kepada Shell Muriah BV 19 tahun silam, ladang gas yang terletak di Laut Jawa itu—tepatnya 180 kilometer utara Semarang—sama sekali belum menghasilkan. Konstruksi fasilitas produksinya saja belum dibangun. Padahal, dengan cadangan 480 miliar kaki kubik, wilayah kerja kontrak gas yang dikelola Petronas Carigali Muriah Limited itu digadang gadang menjadi salah satu andalan pemasok gas bagi Pulau Jawa.
Petronas bukannya tak berbuat sesuatu untuk mengembangkan Kepodang. Setahun setelah membeli 100 persen kepemilikan Kepodang dari BP Muriah Limited pada 2004, Petronas berhasil mendapat persetujuan rencana pengembangan dari pemerintah. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro saat itu menyetujui pengembangan lapangan Kepodang di Blok Muriah dengan menggunakan skema hulu. Artinya, Petronas mengelola semua kegiatan mulai dari produksi (hulu) hingga pendistribusian gasnya (hilir). ”Mereka sangat serius karena ini proyek gas pertama di luar Malaysia,” kata Haposan.
Namun belakangan Petronas berencana balik arah. Sumber Tempo mengungkapkan, perusahaan minyak milik pemerintah Malaysia itu akan meninjau ulang keekonomian lapangan Kepodang. Alasannya, mereka hingga kini tak kunjung bisa memulai produksi. Puncak kekesalan Petronas terjadi setahun terakhir. Saat Petronas berniat memulai tahap produksinya, pemerintah justru sibuk membahas rencana mengubah pengembangan Kepodang dari skema hulu menjadi skema hilir. Petronas tetap mengelola lapangan produksi lapangan Kepodang, tapi mereka tak berhak lagi menangani pendistribusian gasnya.
Padahal, kata sumber tadi, sejak tahun lalu Petronas sudah berencana membangun pipa penyalur gas dari Kepodang ke pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) Tambak Lorok di Semarang, setelah mereka menyepakati jual beli dengan PT PLN. Rencana perubahan skema hulu menjadi skema hilir terjadi setelah PT Bakrie & Brothers berniat menggarap pembangunan pipa Kepodang. ”Sejak tahun lalu Grup Bakrie meminta agar pendistribusian dikerjakan mereka,” ujarnya.
Manajemen Petronas Carigali menolak berkomentar. Begitu pula induknya, Petroliam Nasional Berhad (Petronas). General Manager Petronas Carigali Muriah Limited, Zainal Anuar Abdullah, kepada Tempo cuma berujar singkat. ”BP Migas paling berhak dimintai keterangan mengenai permasalahan ini. Silakan tanya mereka.”
Kepala BP Migas R. Priyono membenarkan bahwa pemerintah akhirnya memutuskan pembangunan pipa ladang Kepodang ke Semarang menggunakan skema hilir. Tapi dia mengaku tak tahu bahwa Petronas kesal karena keputusan pemerintah itu. Yang jelas, kalaupun skema pengembangan Kezpodang diubah menjadi hilir, Priyono memastikan tak akan mengubah rencana bisnis yang sudah disusun Petronas. ”Sepanjang keekonomiannya masuk, jadwalnya tidak mundur. Apakah dalam posisi mereka itu tidak oke?” katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
TARIK ulur pembangunan pipa gas Kepodang bermula tahun lalu. Saat itu Petronas baru saja menegosiasi rencana jual beli gas dengan PLN untuk kebutuhan pembangkit listrik Tambak Lorok. Direktur Energi Primer PLN Nur Pamudji masih ingat PLN berhasil menyepakati rancangan perjanjian sekitar Juli 2009.
Saat itu, kata dia, negosiasi menghasilkan harga yang sangat baik. Harga gas yang diterima PLN kurang dari US$ 5 per juta British Thermal Unit atau juta kaki kubik. Petronas berkomitmen mengalirkan gas dari Kepodang 116 juta kaki kubik per hari. Gas akan dipasok selambat lambatnya 36 hari setelah perjanjian jual beli diteken. ”Tapi Petronas harus mengajukan persetujuan hasil kesepakatan ini ke pemerintah,” kata Nur kepada Tempo pekan lalu.
Demi merealisasikan rencana itu, Petronas berencana membangun pipa gas sepanjang kurang lebih 210 kilometer dari bibir sumur Kepodang menuju Semarang. Itu sesuai dengan skema hulu yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah Indonesia pada 2005. Celakanya, rencana jual beli gas Petronas PLN tak kunjung mendapat persetujuan. ”Kabarnya, skema pipanya diubah menjadi hilir,” ujar Nur.
Nur khawatir, rencana awal menerima gas Kepodang pada 2012 bakal molor. Maklum, gas dari Kepodang diharapkan bisa menekan biaya produksi listrik di pembangkit Tambak Lorok. Selama ini ongkos bahan bakar Tambak Lorok sangat tinggi karena menggunakan solar (lihat ”Hemat Menguap Bersama Solar”).
Belakangan diketahui BPH Migas mengusulkan perubahan skema pengembangan Kepodang. Sumber Tempo di BPH Migas mengatakan, awalnya mereka menerima protes dari PT Bakrie & Brothers Tbk., sebagai pemenang lelang pembangunan pipa transmisi gas Kalimantan Jawa Tengah (Kalija) pada 2006. Perusahaan yang dikendalikan keluarga Bakrie itu tak bisa merealisasikan rencana pembangunan pipa transmisi gas Kalija karena tak adanya kepastian pasokan gas dari Bontang. Berulang kali BPH Migas menanyakan masalah ini kepada pemerintah. ”Tapi tak pernah ada kejelasan,” bisiknya.
Jadilah Bakrie & Brothers melirik Kepodang sebagai alternatif menghidupkan Kalija. Mereka mengajukan rencana agar pembangunan pipa Kepodang ke Tambak Lorok dimasukkan sebagai bagian dari pipa Kalija tahap pertama. ”Jika permasalahan gas di Bontang untuk Kalija tak ada, sebenarnya tak akan ada persoalan di Kepodang,” ujar si sumber tadi. Sejak saat itulah BPH Migas menyodorkan usul agar skema proyek Kepodang diubah menjadi skema hilir. Direktur Utama Bakrie & Brothers Bobby Gafur Umar juga beberapa kali mengirim surat langsung ke Menteri Energi untuk meminta dukungan.
Niat Bakrie akhirnya kesampaian. Setelah berulang kali rapat digelar setahun terakhir, skema hilir diputuskan lebih ekonomis dan menghasilkan penerimaan negara lebih besar. Dengan asumsi tarif pengangkutan gas (toll fee) dari Bakrie US$ 0,37 per juta British Thermal Unit atau juta kaki kubik, hingga akhir masa kontrak Kepodang pada 2021 skema hilir diperkirakan akan menghasilkan pendapatan bagi negara US$ 679,56 juta (Rp 6,32 triliun). Dengan skema hulu, pendapatan negara US$ 679,49 juta (Rp 6,31 triliun).
Menurut BPH Migas Tubagus Haryono, skema hilir juga akan lebih menguntungkan karena bersifat open access. Artinya, jika masa kerja Kepodang habis, pipa itu tetap bisa dimanfaatkan oleh sumber gas lain. ”Bandingkan kalau itu dimiliki Petronas, jika proyek selesai, pipanya tak bisa dipakai siapa siapa lagi,” katanya.
Namun sumber Tempo di Kementerian Energi menyesalkan cara berpikir rekan rekannya. Selisih pendapatan antara hilir dan hulu sebenarnya sangat kecil. Jumlahnya tak sebanding dengan kerugian negara akibat molornya jadwal penerimaan gas Kepodang oleh PLN. Dengan perubahan skema, diperlukan waktu lebih panjang bagi Petronas untuk menyesuaikan rencana proyeknya. Sang sumber juga mempertanyakan mengapa pemerintah tak menenderkan saja pipa Kepodang jika memang skema hilir lebih baik. ”Dengan begini, Bakrie seperti diberi keistimewaan menguasai pipa gas itu selamanya,” katanya.
Bobby Gafur membantah perusahaannya mendapat keistimewaan dari pemerintah. Menurut dia, Bakrie & Brothers memang berniat menggarap pipa gas Kepodang Tambak Lorok. Tapi dia membantah niat itu sebagai upaya merebut, apalagi mengganggu rencana Petronas mengembangkan lapangan gas Kepodang. ”Kami justru ingin agar pipa gasnya cepat terbangun agar lapangan gas Kepodang cepat menghasilkan. Coba berapa lama itu tak ada hasilnya?” ujarnya kepada Tempo pekan lalu.
Lebih jauh Bobby mengatakan, proyek Kepodang sudah terlambat empat tahun sebelum Bakrie & Brothers terlibat. Karena itu pasokan gas harus segera direalisasikan. Problemnya, isu teknis yang harus dibahas dengan pemerintah dan pihak lain tidaklah mudah. Walhasil, masih harus menunggu waktu. ”Beruntung sekarang sudah tahap akhir, dan menunggu persetujuan pemerintah.”
Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo