Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - PT Arutmin Indonesia mengantongi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) sebagai pengganti perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) miliknya yang berakhir pada 1 November 2020. Anak usaha PT Bumi Resources Tbk ini mengklaim, izin pertambangan itu diperoleh berdasarkan evaluasi yang dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur dan Sekretaris Perusahaan Bumi, Dileep Srivastava, menyatakan Arutmin memperoleh IUPK pada 2 November lalu melalui keputusan Menteri Energi bernomor SK 221K/33/MEM/2020. "IUPK diberikan untuk jangka waktu 10 tahun, yakni hingga 1 November 2030. Izin tersebut dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," ujarnya, kemarin.
Arutmin telah mengajukan permohonan perpanjangan izin pertambangan sejak 24 Oktober tahun lalu. Dileep menyatakan, permohonan tersebut dilakukan sesuai dengan mekanisme Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, yang mengatur mengenai pertambangan mineral dan batu bara, serta peraturan pelaksana lainnya.
"Pemerintah telah melakukan evaluasi dari aspek administrasi, teknis, lingkungan, dan finansial. Pemerintah juga melihat kinerja pengusahaan pertambangan yang baik dari Arutmin," ujar Dileep. Dia mengklaim, pemerintah juga mempertimbangkan keberlanjutan operasi, optimalisasi potensi cadangan batu bara dalam rangka konservasi, maupun kepentingan nasional.
Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia, Aryanto Nugroho, mempertanyakan mekanisme evaluasi yang dilakukan pemerintah sebelum menerbitkan IUPK bagi Arutmin. Pasalnya, proses evaluasi yang dilakukan selama ini selalu tertutup, tidak partisipatif, dan hasilnya tidak diketahui publik.
"Pantas jika publik mempertanyakan apakah pemerintah sudah mengevaluasi secara menyeluruh permohonan tersebut," ujarnya.
Arya mencatat, pemerintah juga belum menerbitkan peraturan turunan dari Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Penyusunan perubahan peraturan pemerintah tentang batu bara, kata dia, telah berlangsung lama namun tak terdengar lagi perkembangannya. "Apakah cukup kuat dasar pemberian SK IUPK tanpa berlandaskan PP turunan dari UU Minerba?" kata dia.
Ia menuturkan, pemerintah juga perlu membuka informasi tentang rencana peningkatan nilai tambah batu bara Arutmin. Pasal 169A ayat 4 UU Minerba, kata dia, menyatakan pemegang IUPK yang merupakan kelanjutan dari operasi kontrak atau perjanjian wajib mengembangkan nilai tambah atau memanfaatkan batu bara di dalam negeri. Namun hingga saat ini tak ada kejelasan ihwal rencana Arutmin meningkatkan nilai tambah batu bara. Pejabat Bumi ataupun Arutmin tak menjawab pertanyaan Tempo soal rencana peningkatan nilai tambah ini.
Tempo berupaya menanyakan pertimbangan perpanjangan kontrak serta rencana peningkatan nilai tambah Arutmin kepada Direktur Jenderal Minerba Ridwan Djamaluddin, namun tidak mendapat respons. Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Sujatmiko pun tak berkomentar, termasuk ketika dimintai konfirmasi mengenai perkembangan penyusunan aturan turunan UU Minerba.
Ketua Indonesian Mining and Energy Forum, Singgih Widagdo, menyatakan belum ada acuan mendetail mengenai peningkatan nilai tambah batu bara. Dia menilai, perusahaan akan kesulitan menyusun rencana investasi tanpa kejelasan. Pasalnya, peningkatan nilai tambah batu bara mengharuskan pengusaha beralih dari industri pertambangan ke industri kimia yang memiliki perhitungan risiko serta investasi yang berbeda.
"Produk yang disasar apa, skala keekonomiannya berapa, tata niaganya seperti apa, offtaker (penerima)-nya siapa, kebutuhannya berapa, harus jelas." Singgih menambahkan, pemerintah juga perlu merancang pola distribusi produk. Apalagi jika pemerintah ingin menjadikan produk turunan batu bara sebagai pengganti gas.
Merujuk pada UU Minerba, Singgih mengatakan, hanya pemegang PKP2B yang berencana mengajukan IUPK yang bakal meningkatkan nilai tambah. Saat ini terdapat enam pemegang kontrak yang masuk kategori tersebut, yaitu PT Kendilo Coal Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Yaja Agung, dan PT Berau Coal. Keenam perusahaan tersebut berada di Kalimantan.
"Perlu dirancang proses distribusi dan biayanya agar harga terjangkau," katanya.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo