Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

AS Coret RI dari Daftar Negara Berkembang, Trump Mengincar Cina?

Trump ditengarai melakukan ini untuk mengincar tarif lebih besar dari barang-barang Cina.

24 Februari 2020 | 11.21 WIB

Presiden Joko Widodo berbincang dengan putri Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Ivanka Trump saat menghadiri salah satu sesi dalam KTT G20 di Osaka, Jepang, 29 Juni 2019. Usai menghadiri sesi tersebut, secara berturut-turut Presiden Jokowi akan mengadakan pertemuan bilateral dengan Putra Mahkota Kerajaan Saudi Mohammad bin Salman, Presiden Brazil Jair Bolsonaro, PM Australia Scott Morrison, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Foto/Biro Pers Setpers RI
Perbesar
Presiden Joko Widodo berbincang dengan putri Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Ivanka Trump saat menghadiri salah satu sesi dalam KTT G20 di Osaka, Jepang, 29 Juni 2019. Usai menghadiri sesi tersebut, secara berturut-turut Presiden Jokowi akan mengadakan pertemuan bilateral dengan Putra Mahkota Kerajaan Saudi Mohammad bin Salman, Presiden Brazil Jair Bolsonaro, PM Australia Scott Morrison, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Foto/Biro Pers Setpers RI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan pemerintah AS untuk menghapus sejumlah negara dari daftar negara berkembang yang menerima perlakuan khusus atau special differential treatment (SDT) , termasuk Indonesia, dinilai tidak akan mempersulit posisi kita. Sebab, langkah Presiden AS Donald Trump meninjau ulang daftar negara yang mendapat kelonggaran bea antidumping tidak secara langsung menempatkan Indonesia dalam target sasaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ini akan mempermudah AS untuk mengaplikasikan bea antidumping atau countervailing duties (CVD), sehingga Trump dapat mengenakan tarif kepada lebih banyak barang Cina," kata Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro Senin 24 Februari 2020.

Menurutnya, CVD berbeda dengan Generalized System of Preferences (GSP). CVD adalah bea yang dibebankan pemerintah atau negara pengimpor guna menyeimbangkan harga produk yang sama dari produsen dalam negeri dan harga produk asing berdasarkan subsidi ekspor yang mereka peroleh dari negara asal. "Adapun, fasilitas GSP yang diberikan secara sepihak oleh AS untuk mempromosikan pertumbuhan di negara berkembang belum dicabut," Satria menjelaskan.

Saat ini, ada sekitar sebelas komoditas Indonesia yang sudah terkena CVD antara lain biodiesel, karbon, batang baja, udang beku, Monosodium Glutamate (MSG), serta berbagai jenis polyethlene plastic. Salah satu, komoditas yang baru dikenakan CVD pada tahun lalu adalah menara angin (wind towers).

Sementara itu, terdapat 3.544 produk ekspor Indonesia lainnya yang masih menikmati GSP hingga hari ini. Satria mengungkapkan pasar AS masih sangat penting bagi performa neraca perdagangan Indonesia. Sepanjang 2019, Indonesia menikmati surplus perdagangan. "Surplus ini terbesar jika dibandingkan dengan India dan Uni Eropa," ungkap dia

Sejak 10 Februari 2020, AS resmi mencoret Indonesia dan sejumlah negara lainnya - termasuk Korea Selatan, Thailand, Singapura dan Vietnam, dari daftar negara berkembang (developing and least-developed countries). Dengan kebijakan ini, Indonesia tidak akan lagi berada dalam daftar penerima special differential treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures.

BISNIS 
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus