Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia atau Aftech Ajisatria Suleiman mengatakan acap kali fintech ilegal menagih dengan cara tidak etis. Cara itu, kata dia, yang dianggap sebagai bully seperti mengancam, menggunakan kata-kata kasar, dan hal-hal lainnya.
"Saya sempat ngobrol dengan fintech-fintech ilegal ini. Saya tanya ke mereka, kenapa harus agresif itu?," kata Ajisatria di Gedung Satria Tower, Jakarta, Selasa, 23 Agustus 2019.
Dia mengatakan salah satu hal karena para peminjam di fintech ilegal itu nilainya kecil. Nilai pinjaman konsumen fintech ilegal kecil kisaran Rp 500 ribu, hingga paling besar Rp 2 juta.
Berbeda dengan bank atau di lembaga pinjaman keuangan lainnya yang nilai pinjaman peminjamnya besar. Jika jumlah utang besar, kata dia, lembaga pinjaman ada justifikasi untuk mengirim orang menagih.
Ajisatria juga mengatakan biaya untuk mengirim orang mengetok rumah peminjam dan menagih sudah habis sekitar Rp 200 ribu per orang. Dan, kata dia, itu juga belum tentu dapat duit yang ditagih.
"Jadi satu-satunya cara mereka adalah dengan telefon. Mereka all out mati-matian nelfon dengan segala macam bahasa kekerasan yang kemudian disampaikan," ujarnya.
Hingga 7 Agustus 2019, Otoritas Jasa Keuangan mencatat total jumlah penyelenggara fintech terdaftar dan berizin adalah sebanyak 127 perusahaan.
"OJK mengimbau masyarakat untuk menggunakan jasa penyelenggaran fintech peer to peer lending yang sudah terdaftar/berizin dari OJK," tulis dalam situs resmi OJK, Selasa, 13 Agustus 2019.
Adapun dari jumlah tersebut, terdapat penambahan 15 penyelenggara fintech terdaftar. 15 fintech tersebut, yaitu, qazwa.id, bsalam, onehope, LadangModal, Dhanapala, Restock, Solusiku, pinjamdisini, AdaPundi, Tree+, Assetkita, Edufund, Finanku, Tunasaku, dan Uatas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini