Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Aturan Devisa Kembali ke Laci

Pemerintah membatalkan penerapan ketentuan penggunaan wajib L/C bagi eksportir. Peluang menambah hasil devisa menyusut.

26 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAYU sebelum berkembang. Ungkapan lawas ini cocok menggambarkan nasib peraturan yang mewajibkan penggunaan letter of credit (L/C) bagi eksportir. Setelah dua tahun tertunda, ketentuan itu mestinya diberlakukan Kamis pekan lalu. Tapi, tiga hari sebelum peraturan tersebut dijalankan, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu malah mencabutnya kembali. ”Pencabutan ini sesuai dengan keputusan rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian pada 17 Juni 2010,” ujarnya di Jakarta pekan lalu.

Menurut Mari, ketentuan penggunaan L/C dikeluarkan untuk mengantisipasi krisis keuangan global pada akhir 2008. Kala itu, Indonesia ikut terkena dampaknya. Cadangan devisa menurun dan perbankan kekeringan likuiditas. Keharusan eksportir menggunakan L/C dirilis sebagai salah satu cara mengamankan sektor riil dan memperlancar perolehan devisa. Tapi kini krisis global sudah berangsur-angsur mereda. Perekonomian Indonesia kian membaik, ekspor pulih, dan cadangan devisa terus meningkat. Alhasil, ujar Mari, peraturan wajib L/C tersebut tidak diperlukan lagi.

Letter of credit alias surat kredit berdokumen merupakan alat pembayaran yang dikeluarkan bank atas permintaan eksportir atau importir dalam transaksi perdagangan internasional. Batalnya penerapan wajib menggunakan LC dalam kegiatan ekspor-impor membuat mantan wakil presiden Jusuf Kalla geleng-geleng kepala. ”Saya heran kenapa tak direalisasi, padahal penting buat negara kita,” ujarnya saat ditemui Tempo di gedung Cyber 2, Kuningan, Jakarta, pekan lalu. Wajar Kalla kaget. Sebab, pria kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan, ini salah satu penggagas kebijakan tersebut dua tahun silam.

l l l

Minggu pagi akhir Agustus 2008. Menteri Koordinator Perekonomian merangkap Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Boediono, serta beberapa pejabat Kementerian Keuangan, kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, dan bank sentral berkumpul di Balai Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Jalan Purnawarman, Kebayoran, Jakarta Selatan. Mereka membahas topik penting: mengantisipasi gejolak krisis finansial di Amerika Serikat.

Gejolak keuangan di Negeri Abang Sam sudah semakin parah. Beberapa lembaga keuangan ternama di negeri adidaya itu sudah tumbang gara-gara krisis subprime mortgage (kredit busuk sektor properti). Lantaran krisis sudah menyebar ke Eropa dan Asia, termasuk Indonesia, dalam pertemuan itu Sri Mulyani meminta kementerian-kementerian mengusulkan cara menghadapi dampak krisis. Kementerian Perekonomian, menurut Deputi Perindustrian dan Perdagangan Kementerian Koordinator Perekonomian Edy Putra Irawady, bertugas mengamankan sektor riil, terutama ekspor. ”Salah satu usulannya mewajibkan penggunaan LC,” kata Edy di Jakarta pekan lalu.

Usul kebijakan itu disampaikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kalla setuju dan membawanya ke rapat kabinet yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Rapat kabinet menyetujui wajib L/C bagi komoditas berbasis sumber daya alam,” ujar Kalla. Gagasan menerapkan wajib L/C, kata Kalla, erat kaitannya dengan rendahnya cadangan devisa Indonesia, yang ketika itu berada pada kisaran US$ 50-60 miliar. Pemerintah prihatin cadangan devisa tersebut lebih banyak diisi oleh uang panas (hot money). ”Besarnya cadangan devisa hanya semu,” katanya.

Singkat cerita, keluarlah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2009 yang mewajibkan eksportir perkebunan dan pertambangan menggunakan L/C. Peraturan ini akan berlaku mulai 5 Januari 2009. Tapi realisasinya membentur tembok. Para eksportir memprotes lantaran ketentuan itu dianggap memberatkan. Selain butuh biaya, eksportir keberatan karena sudah terbiasa menggunakan mekanisme pembayaran non-L/C, seperti transfer uang tunai dan open account. Peraturan wajib menggunakan L/C itu ditunda sampai April 2009.

Alih-alih segera merealisasi peraturan tersebut, pemerintah malah loyo lagi. Tahun lalu, pemerintah menunda ketentuan wajib L/C hingga tiga kali meski peraturannya sudah dilonggarkan. Pada 30 Oktober 2009, Kementerian Perdagangan menerbitkan peraturan nomor 57/2009 yang hanya mewajibkan eksportir kopi, kakao, karet, minyak kelapa sawit, dan produk pertambangan di atas US$ 1 juta menggunakan L/C. Pemerintah berencana merealisasi peraturan ini pada 1 Juli 2010.

Terkatung-katungnya penerapan peraturan wajib menggunakan L/C ini membuat Kalla heran. Pertengahan Juni lalu, dari Australia, mantan Ketua Partai Golkar ini menelepon Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Kalla bertanya mengapa penerapan kebijakan itu terus tertunda. Saat itu, Hatta menjelaskan pemerintah sedang membahasnya. ”Sebagai teman, saya mengingatkan dia (Hatta) karena aturan itu penting buat negara,” kata Kalla. Sayangnya, sampai saat ini, Hatta belum dapat dimintai konfirmasi.

Rupanya, saran Kalla tak ampuh. Beberapa hari setelah Kalla menelepon Hatta, pada 17 Juni, rapat koordinasi kementerian di bidang ekonomi malah memutuskan mencabut peraturan Menteri Perdagangan nomor 57/2009 tadi. Peraturan wajib L/C bagi eksportir resmi batal pada 28 Juni lalu.

Menurut Pejabat Pelaksana Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Muchtar, penggunaan L/C makin terbatas, hanya 10-14 persen dari total transaksi perdagangan internasional. Bahkan tak jarang eksportir dan importir sudah punya perjanjian pembayaran menggunakan non-L/C. ”Alhasil, mewajibkan penggunaan alat pembayaran itu menjadi sulit,” ujarnya. Membaiknya perekonomian Indonesia, kata dia, juga membuat penerapan peraturan wajib L/C tak mendesak lagi.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Karet Indonesia Suharto Honggokusumo sudah menduga peraturan tersebut bakal disimpan kembali di dalam laci pemerintah. Tanda-tandanya, kata dia, sudah terlihat dalam dua kali pertemuan dengan Kementerian Perdagangan tahun lalu. Dalam pertemuan pertama, para anggota Gabungan Pengusaha Karet sudah menyatakan keberatan atas penerapan wajib L/C itu. ”Kementerian memahami keberatan itu,” ujarnya. Dalam pertemuan kedua, kata Suharto, ada indikasi Kementerian Perdagangan akan meninjau kembali dan merevisi peraturan tersebut. ”Ternyata benar. Dan akhirnya malah dibatalkan,” ujarnya.

Tentu saja para eksportir senang dengan pembatalan peraturan wajib menggunakan L/C itu. ”Kami lega. Jika kebijakan ini berlaku, banyak pembeli mengancam akan pindah ke produsen lain,” ujar Suharto. Setali tiga uang dengan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia Priyo Pribadi Sumarmo. ”Kami bisa kembali ke mekanisme biasa,” ujarnya. Penggunaan L/C, kata Priyo, bermanfaat bagi para eksportir baru. Tapi, bagi eksportir lama, peraturan wajib L/C justru menambah. ”L/C kan hanya untuk memastikan ada pembayaran,” katanya.

Sumber Tempo mengungkapkan, mentalnya kewajiban penggunaan L/C bagi eksportir tak lepas dari kencangnya lobi para pengusaha besar yang akan dirugikan dengan kebijakan tersebut. Di samping itu, alat kendali di Bea-Cukai belum siap. ”Perusahaan multinasional asinglah yang paling senang,” ujarnya.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo membantah Bea dan Cukai belum siap dengan alat kendali tersebut. ”Bea-Cukai justru sangat siap,” katanya. Adapun Muchtar berkilah, ”Tak ada lobi dari pengusaha. Sejak awal, pengusaha memang keberatan.” Tapi Suharto tak menampiknya. ”Importir dari Eropa dan Jepang sudah berkirim surat ke kami menyatakan keberatan,” ujarnya.

Kalla menyesalkan pembatalan itu. Padahal manfaatnya sangat bagus buat Indonesia karena pemerintah bisa mengecek dan memastikan realisasi nilai ekspor sebenarnya dari komoditas berbasis sumber daya alam. Kewajiban menggunakan L/C membuat para eksportir nasional menyimpan hasil penjualannya di sini dan tidak memarkir dananya di luar negeri. Ujungnya, cadangan devisa negara bakal bertambah. ”Aturan wajib L/C tak melulu bisa diterapkan saat krisis saja. Dalam kondisi normal juga layak diterapkan,” katanya.

Peraturan itu juga berguna untuk mengetahui kewajiban pajak perusahaan. Praktek transfer pricing (upaya rekayasa alokasi keuntungan di antara beberapa perusahaan dalam satu grup perusahaan multinasional sehingga pajak yang dibayarkan rendah) juga bisa ditekan. Pengamat pajak dari Lumbung Informasi Rakyat Tax Watch, Iwan Piliang, mengatakan tahun lalu kerugian negara akibat praktek curang itu mencapai Rp 1.300 triliun. ”Tak adanya aturan itu membuat hasil bumi kita malah dinikmati negara lain,” ujar Kalla. Bankir dari Bank Mutiara, Rohan Hafas, setuju dengan pendapat Kalla. ”Tidak saja bermanfaat buat bank, tapi juga buat perekonomian,” ujarnya pekan lalu.

Namun, kata Edy, pemerintah akan menerapkan peraturan lain untuk mengawasi ekspor. Menurut Edy, pemerintah akan memperketat surat pemberitahuan ekspor barang. Dalam mekanisme baru, dokumen eksportir harus memuat informasi tambahan, seperti cara pembayaran, harga produk, nilai ekspor, dan bank yang digunakan. Mekanisme baru ini juga memiliki sanksi lebih tegas, termasuk ancaman pidana, karena mengacu pada Undang-Undang Kepabeanan.

Padjar Iswara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus