DENGAN kebijksanaan moneter yang diperlonggar awal tahun ini,
maka pertambahan jumlah uang beredar nampak lebih ekspansif.
Jumlah uang beredar akhir Juni tercatat Rp 2.269 milyar,
bertambah sekitar 5% selama kwartal kedua. Dengan demikian dalam
semester I jumlahnya naik sekitar 12% dibanding dengan kenaikan
hanya 2,5% semester sebelumnya. Sekalipun demikian inflasi
selama setengah tahun pertama tersebut hanya 7,6%.
Sebab utama dari kenaikan yang cukup besar tersebut adalah
pertambahan kredit bank yang cukup melonjak teruama pada kwartal
kedua. Sampai akhir Juni, jumlah kredit perbankan tercatat Rp
4.294 milyar, naik 5,5% selama kwartal kedua, suatu kenaikan
kwartalan yang paling besar sejak dua tahun terakhir ini. Efek
inflatoir pertambahan kredit bank ini akan lebih terasa
seandainya tidak diimbangi oleh penyedotan uang di beberapa
sektor lain.
Di bidang perdagangan luar negeri, terjadi penyedotan uang
sebesar Rp 61 milyar, menandakan bahwa selama semester I
tersebut Indonesia lebih banyak mengeluarkan devisa dari pada
menerimanya. Situasi ini juga tercermin dari merosotnya cadangan
devisa Indonesia selama periode tersebut, yang akhir Juni
tercatat US$ 2142 juta. Awal tahun ini cadangan devisa Indonesia
masih berjumlah sekitar US$ 2500 juta.
Memang cadangan devisa yang ada sekarang ini belum perlu
mengkhawatirkan, tapi dengan prospek perdagangan luar negeri
yang makin tidak cerah, bukan tak mungkin cadangan devisa
Indonesia akan terus merosot dengan cepat di bulan-bulan
mendatang ini.
Beberapa suara mulai mengusulkan agar pemerintah kini melakukan
tindakan konkrit untuk menghemat devisa. Bekas Menteri
Pertambangan Dr. Sadli pernah dalam suatu wawancara pers bahkan
mengusulkan agar pemerintah membatasi jumlah valuta asing yang
boleh dibawa oleh turis Indonesia ke luar negeri, di samping
juga membatasi impor barang mewah. Sistim devisa Indonesia
memang termasuk golongan paling liberal di dunia. Dengan makin
banyaknya jumlah turis Indonesia ke luar negeri, jelas ini
merupakan salah satu unsur pemborosan dalam pemakaian devisa.
Bulog Dan Pertamina
Faktor lain yang ikut mengurangi efek inflatoir adalah anggaran
pemerintah yang mengalami surplus selama periode tersebut. Pada
kwartal pertama anggaran pemerintah masih mengalami defisit
sebesar Rp 40 milyar, tapi pada kwartal kedua terjadi surplus
sebesar Rp 138 milyar. Defisit itu pada kwartal pertama
nampaknya merupakan pola permanen. Karena mendekati Maret
sebagai akhir tahun anggaran, departemen dan instansi pemerintah
biasanya berlomba menghabiskan sisa anggaran yang belum sempat
terpakai. Sedangkan surplus yang terjadi pada kwartal kedua
karena memang belum terjadi banyak kegiatan di awal tahun
anggaran baru, sedang pajak perseroan final untuk 1977 memang
biasanya diselesaikan dan dibayar pada bulan April.
Yang cukup menyolok dari pertambahan kredit bank selama semester
I tersebut adalah berasal dari Bank Indonesia. Selama kwartal
kedua saja kredit langsung BI naik Rp 90 milyar, tingkat
kenaikannya yang paling besar sejak 1975, ketika BI terpaksa
membantu Pertamina mengatasi krisis keuangannya. Untuk seluruh
1977 saja pertambahan kredit langsung BI ini hanva Rp 15 milyar.
Kenaikan kredit langsung BI ini bahkan melebihi kenaikan kredit
yang diberikan oleh bank-bank komersiil pemerintah lainnya,
yaitu Rp 75 milyar pada periode yang sama.
Faktor utama di belakang pertambahan kredit langsung BI yang
besar ini adalah kredit di sektor pertambangan yang naik Rp 55
milyar. Kemungkinan besar ini adalah kredit untuk Pertamina guna
pembayaran hutang luar negeri jangka pendeknya yang jatuh waktu.
Kenaikan besar lainnya terjadi di sektor kredit perdagangan,
yang tercatat Rp 34 milyar. Mungkin sebagian besar di antaranya
adalah kredit untuk Bulog mtuk pembelian padi di dalam negeri.
Maka selayaknya pula Bulog pagi-pagi sudah mencapai sasaran
pembelian berasnya dari dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini