Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Harga beras dalam enam bulan terakhir terus melonjak naik. Saat ini, berdasarkan data Badan Pangan Nasional per 31 Juli 2024, rata-rata harga beras nasional untuk jenis medium menyentuh Rp 15. 540 per liter, naik dari Rp 14.550 pada awal tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) per 31 Juli 2024, harga rata-rata untuk beras premium tercatat Rp 16.350 per liter. Harga tersebut turun tipis dibanding kuartal I, yang tercatat Rp 16.410 per liter naik 3,2 persen dibanding bulan sebelumnya (month-on-month), atau melonjak 21,3 persen dibanding setahun lalu (year-on-year/yoy).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Perumusan Standar Keamanan dan Mutu Pangan pada Badan Pangan Nasional (Bapanas), Yusra Egayanti mengatakan ada beberapa faktor yang bikin harga beras terus melonjak.
Faktor pertama, kata Yusra, persoalan sistem logistik yang membuat harga beras semakin mahal ketika sampai di pasaran. Selain itu, kata dia, faktor lainnya adalah penurunan produksi beras yang dibarengi dengan tingginya permintaan.
Untuk itu, dia mendorong diversifikasi pangan untuk terhindar dari krisis beras. Yusra juga menyoroti mahalnya harga beras di kawasan timur Indonesia.
“Walaupun kenyataan di daerah timur yang makanan pokoknya jagung dan sagu, malah beralih ke beras. Dan itu tugas kita bersama supaya bisa meningkatkan produksi dan diservikasi pangan,” kata Yusra di Jakarta, Rabu, 31 Juli 2024. Saat ini, mengacu data PIHPSN, harga beras premium di Papua mencapai Rp 18.400 per liter.
Yusra mengatakan Indonesia akan menghadapi tantangan lain seperti pelemahan ekonomi yang dipicu kondisi geopolitik dan perubahan iklim. Dia mengatakan, untuk terhindar dari krisis pangan, pemerintah harus lepas dari ketergantungan impor beras.
“Walaupun kita tinggal bilang kalau pangan kurang, kita bisa impor. Tapi situasi saat ini di beberapa negara tentu mengamankan pangannya sendiri. Di situasi ini, tidak bisa dipastikan negara yang untuk mengekspor pangan, dan ini menjadi tantangan bagi kita semua,” kata dia.
Dia menambahkan organisasi pangan dunia atau FAO memprediksi produksi pangan dunia harus digenjot hingga 70 persen pada 2050. Dia mengatakan jumlah itu baru mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan warga dunia yang pada tahun itu diperkirakan berjumlah 9 miliar jiwa.
“Indonesia mau tidak mau adalah bagian dari itu dan tentunya ketahanan pangan dalam negeri harus diupayakan segera,” katanya.