Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Irfan Setiaputra, memastikan jumlah pesawat yang diterbangkan perusahaannya terus ditambah secara bertahap. Maskapai pelat merah ini mengumumkan komitmen kerja sama program restorasi armada dengan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
“Peluang pasar penerbangan Indonesia pasca-pandemi akan semakin terbuka luas,” ucap Irfan di Jakarta, kemarin.
Komitmen yang diteken kedua pihak di Gedung Garuda Sentra Operasi, Cengkareng, Kamis lalu itu menjadi bagian dari strategi peningkatan frekuensi Garuda Indonesia pasca-homologasi penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Pemulihan alat produksi pun urgen bagi perusahaan untuk mengejar pencairan dana penyertaan modal negara (PMN) Rp 7,5 triliun yang sudah direstui Dewan Perwakilan Rakyat.
Jumlah armada perusahaan berkode saham GIAA ini anjlok selama masa pandemi Covid-19, dari total 210 unit pada 2020 menjadi hanya sekitar 140 unit pada pertengahan 2021. Lebih dari 90 persen armada yang tersisa masih difokuskan untuk penerbangan domestik, khususnya layanan penumpang berjadwal serta penerbangan kargo. Adapun rute asing yang dilayani hanya Jakarta-Sydney, Jakarta-Singapura, Jakarta-Amsterdam, serta beberapa kali penerbangan haji.
Calon penumpang mencetak tiket di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. TEMPO/ Hilman Fathurrahman W
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana penambahan armada sempat diumumkan perusahaan pada Juni lalu. Manajemen menyatakan akan menambah alat produksi hingga 70 pesawat sampai akhir 2023. Total jumlah pesawat Garuda Indonesia yang siap servis terus menipis, hingga tersisa 33 unit. “Jadi, ke depannya, (jumlah pesawat) harus kami tambah lagi,” tutur Irfan.
Di tengah banjirnya keluhan konsumen soal tiket pesawat yang mahal, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir menambah jumlah pesawat Garuda Indonesia. Dalam rapat nasional pengendalian inflasi di Istana Negara, Jakarta, Kamis lalu, Presiden Jokowi berharap masih ada kursi murah yang bisa disiapkan ikon maskapai pemerintah tersebut. "Meski tidak mudah, karena harga avtur internasional juga tinggi," ucap dia.
Kenaikan harga tiket pesawat menjadi salah satu kontributor inflasi yang diwaspadai pemerintah. Per Juli 2022, inflasi tahunan atau year on year sudah menyentuh 4,94 persen—tertinggi selama tujuh tahun terakhir. Andil kelompok transportasi terhadap inflasi Juli 2022 mencapai 0,14 persen. Kontribusi kelompok transportasi berada di bawah kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang sebesar 0,31 persen. Dalam kelompok komponen harga yang diatur pemerintah, harga dikerek oleh kenaikan tarif penerbangan, bahan bakar rumah tangga, rokok kretek filter, serta tarif listrik.
Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA), Bayu Sutanto, pesimistis ihwal berbagai upaya meredam lonjakan tarif. Menurut dia, stimulus penerbangan dan pemulihan frekuensi belum akan efektif jika harga avtur belum melandai. Belum lagi jika pemberian insentif pemerintah masih setengah hati.
“Dalam strata sosial dan ekonomi, penumpang pesawat masuk level menengah ke atas. Apa memang layak disubsidi?” ujar Bayu.
Pengamat penerbangan dari CommunicAvia, Gerry Soejatman, menyarankan manajemen Garuda Indonesia tetap berinovasi di segmen penumpang bisnis yang harga tiketnya memang mahal. Untuk mengeruk pendapatan, cara ini lebih efektif daripada ikut mengincar segmen penumpang wisata dan haji yang sudah diisi maskapai berbiaya murah. “Kejar pengguna sesuai kelasnya, dan lebih mengupayakan cost control,” ucap Gerry.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo