Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) optimistis bisa menarik arus modal yang lebih besar ke Indonesia pada tahun depan. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yakin mampu memenuhi target realisasi investasi pada 2023 sebesar Rp 1.400 triliun, meningkat dari target pada 2022 sebesar Rp 1.200 triliun.
“Modal asing akan dominan, meski selisihnya dari penanaman modal dalam negeri tidak lebih dari 5 persen,” ucapnya kepada awak media di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila merujuk pada catatan BKPM, sudah ada investasi senilai Rp 584,6 triliun yang terealisasi sepanjang semester I 2022. Sebanyak 35,8 persen atau Rp 310,4 triliun di antaranya merupakan penanaman modal asing (PMA). Sedangkan Rp 274,2 triliun merupakan dana dari investor Indonesia.
Arus modal asing ke Indonesia menjadi salah satu yang terderas di Asia Tenggara. Pada 2021, investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) ke Indonesia mencapai US$ 20,1 miliar. Angka ini hanya kalah oleh torehan Singapura—sebesar US$ 99,1 miliar.
Meski begitu, Bahlil menyebutkan potensi FDI Indonesia masih cukup besar karena segmen usahanya berbeda dengan negeri tetangga. “Di Singapura, FDI lebih ke sektor keuangan dan jasa. Kalau yang ke sektor riil, Indonesia lebih besar.”
Di tengah upaya menebar jala promosi, anggaran kerja BKPM justru dipangkas dari Rp 1,3 triliun pada tahun ini menjadi Rp 1,09 triliun pada 2023—berkurang 16,1 persen. Namun hal itu dianggap tak mengusik target. Menurut Bahlil, investor asing masih bisa dirangsang dengan kemudahan perizinan maupun insentif pajak atau tax holiday. “Kami juga tawarkan harga lahan yang lebih murah di kawasan tertentu, misalnya di Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang.”
Tim Kementerian Investasi pun menjajaki potensi dari investor asing yang berniat merelokasi pabrik ke Indonesia. Sayangnya, Bahlil enggan membeberkan pemodal mana saja yang sedang dilobi. Alasan dia, Indonesia dan negara tetangga cenderung saling mengintip informasi soal sasaran penanaman modal. “Yang pasti tahun ini masih ada potensi relokasi pabrik.”
KIT Batang Menjadi Andalan
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia (tengah) mengamati maket miniatur bangunan Kawasan Industri Terpadu Batang di Batang, Jawa Tengah, 14 April 2021. ANTARA/Harviyan Perdana Putra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Utama PT Kawasan Industri Terpadu Batang, Ngurah Wirawan, mengatakan manajemen KIT Batang—kini dipopulerkan dengan nama Grand Batang City—sedang berfokus menggarap area fase pertama seluas total 450 hektare. “Menurut konsultan kami, masa pemasarannya membutuhkan waktu lima tahun, tapi berhasil terjual habis kurang dari dua tahun,” ucap dia, kemarin.
Hingga kini, perusahaan sudah menjalin komitmen investasi dengan 12 investor. Dari jumlah itu, terdapat sembilan entitas asing yang sudah terikat perjanjian pemanfaatan tanah industri (PPTI) di Grand Batang City. “Ada dari Korea Selatan, Taiwan, India, dan Inggris. Total luasan yang saleable (terjual) sekitar 110 hektare, dengan pendapatan investasi sebesar US$ 40 juta.”
Wirawan mengimbuhkan, masih ada potensi investasi hingga US$ 700 juta dari berbagai industri penyewa lahan yang bisa dijajaki ke depan. “Dengan minat tinggi terhadap KIT Batang, kami sedang mempersiapkan pengembangan lahan 400 hektare berikutnya yang sudah diminati 19 investor potensial.”
Bila sudah digarap sepenuhnya, KIT Batang ditargetkan menyerap total 282 ribu tenaga kerja. Kawasan ini kerap ditonjolkan BKPM saat melobi investor, terutama karena beberapa stimulus dalam bidang perizinan dan perpajakan yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2022.
Pada April lalu, Vice President Sales dan Marketing PT Suryacipta Swadaya, Abednego Purnomo, pun memastikan makin banyak calon investor yang dilobi untuk berinvestasi di dua kawasan milik perusahaannya. Hingga pertengahan 2022, masih ada 80 hektare lahan kosong yang tersisa di Suryacipta City, kawasan industri pertama milik Suryacipta Swadaya di Jawa Barat.
“Kami upayakan bisa penuh terisi pada tahun depan,” kata Abednego kepada Tempo. Manajemen pun memancing permodalan ke Subang Smartpolitan, kawasan kedua seluas 2.717 hektare milik Suryacipta Swadaya.
Adapun Kepala Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menilai target yang dibebankan kepada BKPM masih terlalu tinggi. Dia menilai ancaman resesi secara global turut mengikis kemampuan investasi para pelaku usaha. “Selain itu, biaya dana disinyalir naik seiring dengan peningkatan suku bunga acuan bank sentral. Sepertinya makin jarang perusahaan yang jorjoran berinvestasi.”
FAJAR PEBRIANTO | ERLITA NOVITANIA AWALIANDA | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo